 
             
						
Bisnis.com, JAKARTA – Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di pasar modal Indonesia diproyeksikan akan meraih momentum penguatan signifikan hingga penutupan tahun 2025. Dorongan utama datang dari fenomena “window dressing“, sebuah aksi para manajer investasi untuk mempercantik portofolio saham mereka di akhir periode. Sejumlah analis optimis bahwa meskipun pasar akan diwarnai fluktuasi sepanjang tahun ini, IHSG akan mengakhiri tahun dengan performa positif.
Cindy Alicia Ramadhania, Retail Research Analyst Sinarmas Sekuritas, mengungkapkan keyakinannya terhadap potensi penguatan IHSG. Ia mengakui bahwa volatilitas pasar masih akan dipengaruhi oleh tensi perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang berlanjut. Namun, Cindy menekankan bahwa momentum window dressing yang biasanya terjadi pada bulan Desember akan menjadi katalis kuat bagi pergerakan indeks.
Menurut Cindy, efektivitas dari window dressing memang sangat bergantung pada kondisi pasar global secara keseluruhan. Meskipun peluang penguatan indeks terbuka lebar, pasar tetap rentan terhadap berbagai sentimen eksternal yang kerap memicu gejolak. Dalam periode ini, saham-saham berkapitalisasi besar atau blue chip diprediksi akan berperan sebagai penopang utama pasar. “Jika kita perhatikan saat ini saham-saham blue chip seperti perbankan besar, sektor konsumer, dan telekomunikasi sudah mengalami kenaikan. Biasanya ketika momen window dressing, ada rotasi dari para fund manager ke saham-saham fundamental,” jelasnya. Ia menambahkan, katalis pasar akan semakin kuat jika didukung oleh kinerja emiten yang positif.
Sejalan dengan pandangan tersebut, Muhammad Wafi, Head of Research KISI Sekuritas, juga memperkirakan tren penguatan IHSG akan berlanjut hingga akhir tahun 2025, meskipun di tengah volatilitas yang tinggi. Wafi menyoroti rebalancing indeks MSCI dan revisi metodologi free float sebagai dua pemicu utama dinamika pasar dalam beberapa waktu terakhir. Ia menyebut arah IHSG masih menunjukkan tren “bullish moderat” yang didorong oleh ekspektasi window dressing dan valuasi saham blue chip yang dinilai sudah relatif murah.
Kendati demikian, Wafi memiliki pandangan yang lebih konservatif mengenai dampak window dressing tahun ini, memperkirakan tidak akan sebesar tahun sebelumnya. Ia melihat dana institusi akan cenderung lebih selektif dan memprioritaskan sektor-sektor defensif. “Window dressing kemungkinan enggak sekuat tahun lalu. Dana investor institusi lebih selektif dan fokus ke sektor defensif kayak banking, consumer, dan energi,” paparnya. Wafi memproyeksikan IHSG berpeluang ditutup pada kisaran 8.300–8.600 pada akhir tahun ini, dengan catatan tekanan eksternal tidak meningkat signifikan dan likuiditas pasar tetap kondusif. Ia menilai saham blue chip tetap menarik karena valuasinya yang tergolong murah, sehingga berpotensi menarik alokasi dana asing.
Sementara itu, saham-saham konglomerasi dinilai menghadapi sentimen yang beragam. “Konglomerasi agak mixed. Dari sisi aset dan diversifikasi usaha masih menarik, tapi bisa ada tekanan dari rencana revisi free float MSCI,” ujar Wafi. Melihat prospek ke tahun 2026, Wafi menilai katalis positif masih dapat berlanjut jika inflasi global terkendali dan Bank Sentral AS (The Fed) melanjutkan kebijakan pemangkasan suku bunga pada akhir tahun ini. Namun, tensi perang tarif AS–China diperkirakan tetap menjadi tantangan serius bagi pasar, termasuk bagi saham konglomerasi yang belakangan bergerak cenderung stagnan. Cindy Alicia juga mengidentifikasi adanya pergeseran dana investor dari saham konglomerasi ke sektor-sektor defensif yang lebih stabil.
Pada akhirnya, Cindy menegaskan bahwa peluang pergerakan IHSG akan sangat dipengaruhi oleh momentum window dressing dan rilis kinerja keuangan terbaru emiten. Di sisi lain, tantangan utama masih berkisar pada kelanjutan perang tarif antara AS dan China yang dapat menciptakan ketidakpastian di pasar global.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diproyeksikan akan menguat signifikan hingga penutupan tahun 2025, didorong oleh fenomena “window dressing” yang dilakukan manajer investasi di akhir periode. Para analis optimis bahwa IHSG akan mengakhiri tahun dengan performa positif, meskipun pasar diwarnai volatilitas akibat tensi perang dagang AS-China. Saham-saham berkapitalisasi besar atau blue chip dari sektor perbankan, konsumer, dan telekomunikasi diprediksi menjadi penopang utama pasar, didukung oleh kinerja emiten yang positif.
Namun, dampak window dressing tahun ini diperkirakan tidak akan sekuat tahun sebelumnya, dengan dana institusi yang lebih selektif dan fokus pada sektor defensif. Valuasi saham blue chip yang relatif murah tetap menarik alokasi dana, meski saham konglomerasi menghadapi sentimen beragam. Tantangan utama pasar masih berkisar pada kelanjutan perang tarif antara AS dan China, meskipun prospek positif untuk tahun 2026 dapat berlanjut jika inflasi global terkendali dan The Fed memangkas suku bunga.