MNCDUIT.COM – JAKARTA. Sebagian besar mata uang Asia menunjukkan taringnya terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dalam perdagangan hari Selasa (25/11). Data Bloomberg menunjukkan, pada pukul 19.20 WIB, yen Jepang (JPY) memimpin dengan kenaikan 0,28% menjadi 156,45 per dolar AS. Diikuti oleh won Korea (KRW) yang melonjak 0,66% ke 1.466,31 per dolar AS, dolar Singapura (SGD) yang naik tipis 0,18% ke 1,30 per dolar AS, dan yuan China (CNY) yang menguat 0,22% ke 7,08 per dolar AS. Rupiah (IDR) pun tak ketinggalan, terapresiasi sebesar 0,25% ke level 16.657 per dolar AS.
Josua Pardede, Kepala Ekonom Permata Bank, menjelaskan bahwa penguatan mata uang Asia ini didorong oleh dua faktor utama. Pertama, melemahnya tekanan terhadap dolar AS. Kedua, sentimen risiko global yang membaik, memberikan angin segar bagi pasar keuangan Asia.
Lebih lanjut, Josua menyoroti bahwa penurunan imbal hasil obligasi pemerintah AS menjadi pemicu pelemahan dolar. Hal ini dipicu oleh sinyal dari pejabat The Fed yang masih membuka peluang pemangkasan suku bunga di akhir tahun. “Sinyal penurunan suku bunga dari pejabat bank sentral Amerika Serikat dalam beberapa hari terakhir mengurangi ekspektasi pasar terhadap seberapa besar ruang pengetatan tambahan,” ungkap Josua kepada Kontan, Selasa (25/11/2025).
Mata Uang Asia Kompak Menguat, Terdorong Ekspektasi Pemangkasan Suku Bunga The Fed
Selain sentimen global, faktor domestik juga turut menyumbang penguatan masing-masing mata uang Asia. Yen dan won, misalnya, mengalami rebound setelah sebelumnya tertekan. Hal ini didukung oleh sinyal intervensi dari otoritas Jepang dan prospek ekspor teknologi Korea yang tetap menjanjikan. Sementara itu, yuan menunjukkan stabilitas berkat intervensi otoritas Tiongkok yang menjaga nilai tengah harian dan memberikan dukungan tambahan ke sektor properti.
Dolar Singapura pun tak mau ketinggalan. Apresiasi mata uang ini didorong oleh kerangka kebijakan moneter yang fleksibel, yang masih memungkinkan penguatan nilai tukar. Di sisi lain, inflasi inti yang sedikit meningkat mengurangi peluang pelonggaran moneter.
Rupiah sendiri berhasil menguat setelah Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menahan suku bunga acuan. Langkah ini sekaligus menegaskan komitmen BI dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Menjelang akhir tahun, Josua memprediksi pergerakan nilai tukar mata uang Asia akan sangat dipengaruhi oleh tiga faktor kunci. Pertama, keputusan The Fed dalam pertemuan FOMC Desember. Kedua, perkembangan geopolitik global, termasuk perang di Ukraina dan tensi antara AS dan China. Ketiga, kebijakan bank sentral di Asia yang mulai mengarah pada potensi penurunan suku bunga pada tahun depan.
Josua menambahkan, jika data ekonomi AS menunjukkan pelemahan, yang kemudian membuka peluang pemangkasan suku bunga lebih cepat, maka dolar AS berpotensi melemah. Kondisi ini akan memberikan ruang bagi mata uang Asia untuk terapresiasi.
Rebalancing MSCI Berlaku Efektif Mulai Selasa (25/11), Cek Rekomendasi Sahamnya
Ke depan, prospek mata uang Asia diperkirakan akan lebih stabil, dengan kecenderungan menguat secara bertahap jika pasar semakin yakin terhadap siklus penurunan suku bunga AS pada tahun 2026. Yen diperkirakan memiliki potensi penguatan dalam jangka menengah, meskipun ruangnya terbatas dalam waktu dekat. Won akan tetap sensitif terhadap siklus teknologi, sementara dolar Singapura diperkirakan akan stabil. Rupiah masih relatif rentan terhadap tekanan akibat defisit transaksi berjalan dan selisih imbal hasil yang menipis. Terakhir, yuan diperkirakan akan bergerak dalam rentang yang dikelola ketat oleh otoritas moneter Tiongkok.
Untuk proyeksi nilai tukar hingga akhir tahun, Josua memaparkan kisaran sebagai berikut:
Mata uang Asia mayoritas menguat terhadap dolar AS, dipimpin oleh Yen Jepang dan diikuti oleh Won Korea, Dolar Singapura, Yuan China, dan Rupiah. Penguatan ini didorong oleh melemahnya tekanan terhadap dolar AS dan membaiknya sentimen risiko global. Pelemahan dolar AS dipicu oleh penurunan imbal hasil obligasi pemerintah AS, menyusul sinyal dari pejabat The Fed yang membuka peluang pemangkasan suku bunga.
Selain sentimen global, faktor domestik juga berperan dalam penguatan mata uang masing-masing negara. Bank Indonesia (BI) menahan suku bunga acuan yang menegaskan komitmen BI dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Ke depan, pergerakan nilai tukar mata uang Asia akan dipengaruhi oleh keputusan The Fed, perkembangan geopolitik global, dan kebijakan bank sentral di Asia yang mengarah pada potensi penurunan suku bunga tahun depan.