MNCDUIT.COM – JAKARTA. Ketegangan yang memanas antara Iran dan Israel kembali menyeret pasar energi ke dalam pusaran kekhawatiran, memicu lonjakan ketidakpastian geopolitik yang signifikan. Kondisi ini diproyeksikan dapat mendorong harga minyak mentah global untuk meroket, berpotensi mencapai level US$ 80 per barel.
Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), menjelaskan dinamika ini. Menurutnya, setiap kali konflik geopolitik berkobar, terutama yang melibatkan pemain kunci dalam pasokan energi global seperti Iran, lonjakan harga minyak adalah konsekuensi yang hampir tak terhindarkan. “Konflik semacam ini memang berpotensi besar menyulut kenaikan harga minyak, terutama karena adanya disrupsi pada sisi suplai,” terang Faisal kepada Kontan.co.id pada Senin (23/6).
Ia menambahkan bahwa jika ketegangan ini berlanjut menjadi eskalasi lebih parah, semisal penutupan Selat Hormuz—jalur pelayaran minyak vital—maka proyeksi kenaikan harga minyak akan semakin melambung. Faisal mencatat bahwa pasar sudah menunjukkan respons. Harga minyak global saat ini telah bergerak naik dari level sekitar US$ 60 per barel, bahkan sempat menembus angka US$ 76 per barel. “Potensinya menurut saya bisa terus naik sampai US$ 80 per barel,” tegas Faisal.
Kendati demikian, Faisal menekankan bahwa kemungkinan penutupan Selat Hormuz secara penuh mungkin tidak akan sebesar yang diperkirakan. Ia mengingatkan bahwa sejarah konflik di Timur Tengah menunjukkan ancaman semacam itu tidak selalu terwujud sepenuhnya.
Konflik Iran dan Israel Picu Lonjakan Harga Minyak dan Ancaman Inflasi Global
Menyambung kekhawatiran tersebut, David Ernest Sumual, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), turut menyoroti dampak langsung yang mungkin timbul pada harga minyak di pasar global. “Adanya kekhawatiran akan blokade Selat Hormuz oleh Iran, dapat memicu premi risiko yang signifikan, berkisar US$ 20 hingga US$ 30 per barel,” ungkap David kepada Kontan.co.id pada Senin (23/6).
Kondisi ini mengindikasikan bahwa pasar global perlu segera menyusun strategi konsolidasi dan penyesuaian terhadap berbagai indikator ekonomi, seandainya tren kenaikan harga minyak terus berlanjut. Lebih lanjut, David memaparkan bahwa mata uang negara-negara berkembang sangat rentan mengalami pelemahan signifikan akibat risiko yang ditimbulkan oleh ketegangan geopolitik ini. Dengan demikian, jelas bahwa ketidakpastian geopolitik semacam ini memiliki potensi dampak yang sangat luas, tidak hanya pada harga energi, melainkan juga pada stabilitas ekonomi global dan fluktuasi nilai tukar mata uang, termasuk nilai tukar rupiah yang krusial.
Ketegangan yang memanas antara Iran dan Israel kembali memicu kekhawatiran geopolitik, yang diproyeksikan dapat mendorong harga minyak mentah global mencapai US$80 per barel. Mohammad Faisal dari CORE menjelaskan bahwa konflik semacam ini berpotensi menyulut kenaikan harga minyak akibat disrupsi pasokan, terutama jika terjadi penutupan Selat Hormuz, jalur pelayaran minyak vital.
David Ernest Sumual dari BCA menambahkan bahwa kekhawatiran akan blokade Selat Hormuz dapat memicu premi risiko yang signifikan pada harga minyak. Kenaikan harga minyak ini menuntut penyesuaian pasar global dan dapat menyebabkan pelemahan signifikan pada mata uang negara-negara berkembang, menunjukkan dampak luas ketidakpastian geopolitik pada stabilitas ekonomi global.