JAKARTA, MNCDUIT.COM – Bank Indonesia (BI) memberikan tanggapan atas kritik yang dilontarkan Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, terkait penerbitan instrumen keuangan baru, yaitu Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Tanggapan ini disampaikan langsung oleh Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, dalam acara Financial Forum di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, pada hari Rabu, 3 Desember 2025.
Forum tersebut dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, termasuk Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar, Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Ketua Komisi XI DPR, Misbakhun. Kehadiran para pemangku kebijakan ini menunjukkan betapa pentingnya isu yang dibahas terkait stabilitas keuangan negara.
Dalam forum tersebut, Menteri Keuangan Purbaya kembali mengkritisi kebijakan SRBI. Sebelumnya, kritik serupa juga disampaikannya dalam rapat dengan Komisi XI DPR. Purbaya menyoroti aliran dana investor yang cenderung beralih ke SRBI, meskipun pemerintah telah menginjeksi dana sebesar Rp200 triliun ke sistem keuangan melalui Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) dan Bank Jakarta. Dana tersebut merupakan kas pemerintah yang ditempatkan di BI oleh Purbaya pada bulan September 2025 lalu.
: Kebijakan Moneter Semakin Longgar, Instrumen SRBI Masih Relevan?
Purbaya menyoroti pertumbuhan uang beredar (M0) yang sempat melonjak hingga 13% pada September 2025. Pertumbuhan ini, menurutnya, dipicu oleh keputusannya memindahkan kas pemerintah dari BI ke Himbara. Namun, ironisnya, pertumbuhan uang beredar justru melambat menjadi 7% pada Oktober 2025. Sebagai respons, ia kembali menginjeksi dana sebesar Rp76 triliun ke Bank Mandiri, BRI, BNI, dan Bank Jakarta.
“Saya dengar katanya di perbankan agak ketat lagi sedikit sekarang, karena saya lihat yield obligasi saya [SBN pemerintah] naik lagi dari 5,9% ke 6,3% sekarang,” ungkapnya dalam acara di BEI Jakarta. Kenaikan yield obligasi pemerintah ini menjadi perhatian serius.
: Bank Indonesia Akan Terbitkan Rupiah Digital, SRBI versi Digital
Sebagai Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Purbaya mempertanyakan penyebab perlambatan pertumbuhan uang beredar. Ia menduga bahwa penyerapan dana yang signifikan ke SRBI, surat utang yang diterbitkan BI, menjadi salah satu faktor pemicunya.
“Di BI itu ada penyerapan uang lebih di SRBI mungkin untuk menjaga nilai tukar, ya? Saya enggak tahu, tetapi yang jelas ada penyerapan uang lebih di sana yang menekan itu [pertumbuhan base money] ke bawah,” jelasnya, mengindikasikan kekhawatirannya terhadap dampak SRBI pada likuiditas pasar.
Menanggapi kritik tersebut, Deputi Gubernur BI Destry Damayanti menjelaskan bahwa bank sentral menggunakan bauran kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas, sementara kebijakan makroprudensial difokuskan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Penjelasan ini memberikan gambaran komprehensif mengenai strategi BI dalam mengelola perekonomian.
Destry menegaskan bahwa kebijakan moneter BI tidak hanya bersifat kontraksi, tetapi juga ekspansif. Salah satu bentuk ekspansi tersebut adalah pembelian Surat Berharga Negara (SBN) pemerintah senilai Rp290 triliun sejak awal tahun 2025.
“Mungkin saya juga mengimbangi dengan yang pak Menteri Keuangan sampaikan tadi, bahwa BI tidak hanya kontraksi, tetapi BI juga ada ekspansinya. Yaitu kami membeli SBN sepanjang 2025 sudah sekitar Rp290 triliun,” terangnya, menunjukkan upaya BI dalam menyeimbangkan kebijakan.
Selain pembelian SBN, BI juga menyediakan fasilitas FX swap dan repo untuk perbankan, dengan nilai akumulasi masing-masing mencapai lebih dari Rp1.000 triliun. Hal ini menunjukkan komitmen BI dalam menjaga likuiditas dan stabilitas pasar keuangan.
Terkait SRBI, Destry menjelaskan bahwa langkah kontraksi yang diambil bank sentral bertujuan untuk manajemen likuiditas dan menjaga stabilitas. SRBI berfungsi sebagai pemicu untuk menarik kembali aliran modal investor (inflow) saat terjadi aliran modal asing keluar (outflow) secara besar-besaran.
Lebih lanjut, Destry menjelaskan bahwa mekanisme penarikan modal asing dilakukan dengan menaikkan suku bunga SRBI. Langkah ini diambil setelah suku bunga SRBI mengalami penurunan signifikan mengikuti penurunan BI rate sebesar 125 basis poin (bps) pada tahun ini.
“SRBI itu turunnya dalam sekali, jadi suku bunga turun 125 basis poin, SRBI turun sampai 200 basis poin. Kami coba normalisasi rate-nya SRBI, naik sedikit memang dibanding tiga minggu yang lalu, tetapi kami lihat ada inflow yang mulai masuk. Masuk ke SRBI dan masuk ke SBN,” pungkasnya, mengakhiri penjelasannya dengan optimisme terkait efektivitas SRBI dalam menarik investasi dan menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah.
Bank Indonesia (BI) menanggapi kritik Menteri Keuangan terkait Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dalam acara Financial Forum di BEI. Menteri Keuangan menyoroti potensi penyerapan dana ke SRBI yang dapat mempengaruhi pertumbuhan uang beredar, meskipun pemerintah telah menginjeksi dana ke sistem keuangan. Ia mempertanyakan perlambatan pertumbuhan uang beredar dan menduga SRBI menjadi salah satu faktornya.
Deputi Gubernur BI, Destry Damayanti, menjelaskan bahwa BI menggunakan bauran kebijakan moneter, termasuk pembelian SBN senilai Rp290 triliun dan fasilitas FX swap/repo. Terkait SRBI, ia menyatakan bahwa instrumen ini berfungsi untuk manajemen likuiditas dan menarik kembali modal investor saat terjadi outflow, dengan menyesuaikan suku bunga SRBI untuk menstabilkan nilai tukar Rupiah.