Serangan AS ke Iran: Wall Street Panik? Peluang atau Ancaman?

Img AA1GUvcn

MNCDUIT.COM – NEW YORK. Pasar keuangan global kembali terselimuti ketidakpastian. Serangan militer Amerika Serikat terhadap Iran pada akhir pekan lalu sontak membangkitkan kekhawatiran dan memicu antisipasi aksi jual (selloff) besar di bursa saham pada hari Senin (23/6). Eskalasi konflik di Timur Tengah ini diperkirakan akan menjadi ujian berat bagi sentimen investor dalam menghadapi dinamika geopolitik yang tak terduga.

Dalam pidato nasionalnya, Presiden AS Donald Trump dengan tegas menyebut serangan itu sebagai “sukses militer yang spektakuler,” mengklaim bahwa fasilitas pengayaan nuklir Iran telah berhasil dihancurkan. Ia bahkan memperingatkan potensi serangan lanjutan jika Teheran menolak untuk mencari solusi damai. Di sisi lain, Iran langsung bereaksi keras, menyatakan kesiapan untuk membela diri dengan segala cara. Teheran mengancam akan menimbulkan “konsekuensi abadi” dan memperluas serangan terhadap Israel, menandakan bahwa ketegangan ini berpotensi berlarut-larut.

Menanggapi situasi ini, Steve Sosnick, Kepala Strategi Pasar di Interactive Brokers, Connecticut, pesimis terhadap pergerakan pasar. “Sulit membayangkan pasar saham tidak bereaksi negatif,” katanya. Ia menambahkan bahwa skala dampak akan sangat bergantung pada respons Iran dan seberapa jauh harga minyak akan melonjak. Kekhawatiran utama memang tertuju pada komoditas vital ini, mengingat konflik Israel-Iran sebelumnya telah memicu kenaikan signifikan pada harga minyak, menimbulkan kewaspadaan di pasar global.

Meskipun pasar saham menunjukkan stabilitas relatif, ancaman lonjakan harga minyak akibat konflik ini berpotensi besar memicu inflasi. Kenaikan inflasi ini, pada gilirannya, dikhawatirkan akan mengganggu proyeksi Federal Reserve (The Fed) terkait penurunan suku bunga. Pekan lalu, The Fed memang mempertahankan suku bunga acuannya, namun mengisyaratkan kemungkinan penurunan di akhir tahun ini. Namun, laju penurunan tersebut diprediksi akan lebih lambat dari perkiraan semula, sebagian besar karena tekanan inflasi yang timbul dari tarif serta potensi lonjakan harga energi akibat eskalasi konflik di Timur Tengah.

Sonu Varghese, Analis Makro Global di Carson Group, menekankan bahwa inti permasalahannya adalah sejauh mana harga minyak akan memicu inflasi—dan bagaimana hal tersebut akan memengaruhi kebijakan moneter serta durasi The Fed mempertahankan suku bunga yang restriktif. Sementara itu, bursa saham global menunjukkan sinyal kehati-hatian. Indeks S&P 500, misalnya, masih terpaut sekitar 2,7% dari rekor tertingginya pada Februari lalu. Meskipun sempat bangkit dari aksi jual di awal April, indeks ini belum berhasil menembus level puncak baru selama 27 sesi perdagangan terakhir.

Situasi ketidakpastian ini secara alami diperkirakan akan mendorong lonjakan permintaan terhadap aset aman (safe haven), seperti dolar AS dan obligasi pemerintah (Treasuries), seiring investor mencari perlindungan dari volatilitas pasar.

Namun, di tengah gelombang kekhawatiran, tidak semua pelaku pasar terpaku pada pandangan pesimis. Mark Malek, CIO Siebert Financial, justru melihat potensi sentimen positif bagi pasar saham. Ia berpendapat bahwa serangan ini dapat dianggap sebagai “sekali pukul” dan bukan indikasi konflik berkepanjangan, terutama mengingat investor sebelumnya telah mempersiapkan diri menghadapi dua minggu ketidakpastian.

Selain dinamika geopolitik, fokus investor juga akan tertuju pada sejumlah rilis data ekonomi AS sepanjang pekan ini. Jadwal penting mencakup data aktivitas bisnis dan penjualan rumah pada Senin, indeks kepercayaan konsumen pada Selasa, serta indeks harga PCE pada Jumat. Sebelumnya, kepercayaan konsumen AS sempat anjlok akibat kekhawatiran terhadap inflasi dan potensi resesi yang dipicu oleh tarif perdagangan.

Meski demikian, Mark Hackett, Kepala Strategi Pasar di Nationwide, yang berkomentar sebelum serangan AS ke Iran, memperkirakan adanya perbaikan sentimen konsumen. Ini didasari oleh meredanya ketegangan dagang dengan Tiongkok dan inflasi yang relatif terkendali. Namun, dampak penuh dari ketegangan geopolitik terbaru terhadap data-data ekonomi ini masih akan menjadi perhatian utama pasar di tengah ketidakpastian yang berlanjut.

Ringkasan

Serangan militer Amerika Serikat terhadap Iran memicu ketidakpastian di pasar keuangan global dan kekhawatiran akan aksi jual. Presiden Trump menyatakan serangan itu sukses, sementara Iran bereaksi keras dengan ancaman konsekuensi yang luas. Para analis pasar memperkirakan reaksi negatif, sangat bergantung pada respons Iran dan potensi lonjakan harga minyak yang dapat memicu inflasi.

Kenaikan harga minyak menjadi kekhawatiran utama karena dapat mengganggu proyeksi Federal Reserve terkait penurunan suku bunga, berpotensi memperlambat pelonggaran kebijakan moneter. Situasi ini meningkatkan permintaan aset aman seperti dolar AS dan obligasi pemerintah. Meskipun demikian, ada pandangan optimis yang menganggap serangan ini sebagai kejadian tunggal, sementara perhatian juga tertuju pada rilis data ekonomi AS.

You might also like