
Euforia yang melambungkan harga saham emiten produsen rokok ternyata bak kembang api, gemerlap sesaat sebelum akhirnya padam. Pada perdagangan Selasa (9/9), saham-saham perusahaan rokok kembali terperosok tajam, menegaskan banyaknya tantangan yang membayangi industri tersebut.
Terpantau, saham PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) anjlok 10,32% ke level Rp 565 per saham pada penutupan. Tak jauh berbeda, harga saham PT Gudang Garam Tbk (GGRM) merosot 10,10% ke Rp 8.900 per saham. Sementara itu, emiten rokok lainnya, PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) turut merasakan tekanan dengan penurunan 12,43% ke level Rp 810 per saham.
Penurunan drastis ini kontras dengan lonjakan signifikan yang terjadi hanya sehari sebelumnya, pada Senin (8/9). Kala itu, harga saham HMSP, GGRM, dan WIIM kompak melonjak masing-masing sebesar 17,76%, 12,5%, dan 16,35%, memicu spekulasi positif di kalangan investor.
Menurut Investment Analyst Infovesta Utama, Ekky Topan, kenaikan harga saham emiten rokok pada awal pekan ini lebih bersifat spekulatif. Lonjakan tersebut merupakan respons reaktif pasar terhadap isu perombakan kabinet (reshuffle), khususnya pergantian posisi Menteri Keuangan dari Sri Mulyani. Selama menjabat, Sri Mulyani dikenal agresif dalam menerapkan kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT), sehingga spekulasi pergantian menteri memicu harapan akan kebijakan yang lebih moderat.
Oleh karena itu, wajar jika euforia sempat menyelimuti pasar, mendorong lonjakan harga saham rokok pada hari Senin. Analis Pilarmas Investindo Sekuritas, Arinda Izzaty, juga menjelaskan bahwa pelaku pasar sempat menafsirkan pergantian Menteri Keuangan sebagai peluang kebijakan cukai yang lebih moderat, memicu reli jangka pendek. Namun, euforia itu berumur pendek dan penurunan tajam pada hari Selasa mengindikasikan bahwa kenaikan sebelumnya hanyalah relief rally atau permainan sentimen jangka pendek.
Investor mulai menyadari bahwa perubahan pucuk pimpinan di Kementerian Keuangan tidak secara otomatis berarti perubahan kebijakan fiskal, sebab keputusan tarif cukai umumnya telah ditetapkan dalam APBN dan melibatkan koordinasi lintas kementerian/lembaga. Ketiadaan kepastian arah kebijakan fiskal dari Menteri Keuangan yang baru juga menjadi pemicu koreksi yang sangat wajar, seperti yang disampaikan Ekky Topan. Selain itu, sentimen negatif pasar juga diperparah oleh isu mengenai ancaman efisiensi hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri rokok.
Dengan demikian, koreksi harga saham rokok yang terjadi saat ini merupakan bentuk normalisasi ekspektasi setelah lonjakan yang terlalu cepat dan didasari spekulasi. Dari sisi fundamental, emiten-emiten rokok masih berhadapan dengan tembok tantangan yang kokoh. Penjualan dan laba bersih mereka terus mengalami tekanan signifikan akibat tingginya beban cukai yang harus ditanggung, ditambah lagi dengan melemahnya daya beli masyarakat.
Di tengah kondisi ini, emiten rokok juga harus bersaing ketat dengan peredaran rokok ilegal yang dijual dengan harga jauh lebih murah dan diminati konsumen yang mencari alternatif ekonomis. Ekky Topan menegaskan, selama penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal belum menunjukkan ketegasan, prospek sektor ini akan terus terbebani dan rentan terhadap tekanan kinerja.
Menghadapi berbagai tekanan ini, efisiensi operasional menjadi prioritas utama bagi para emiten rokok. Tak hanya itu, beberapa perusahaan mulai melirik strategi diversifikasi produk. Sebagai contoh, HMSP telah memperluas portofolio rokoknya ke berbagai segmen pasar, sementara WIIM berupaya memperkuat posisinya di segmen rokok low tier dengan harga yang lebih terjangkau. Namun, sejalan dengan pandangan Ekky, perubahan kinerja emiten rokok secara signifikan baru akan terlihat jika pemerintah mengambil tindakan nyata dan tegas dalam memberantas rokok ilegal.
Arinda Izzaty berpendapat, risiko penurunan kinerja emiten rokok masih sangat terbuka lebar untuk sisa tahun ini. Emiten besar seperti HMSP dan GGRM, berkat skala produksi dan distribusi yang luas, diperkirakan memiliki prospek kinerja yang relatif lebih defensif. Meskipun demikian, risiko terbesar bagi keduanya adalah pada aspek margin profitabilitas yang sangat rawan tertekan. Sementara itu, emiten kecil dan menengah seperti WIIM, diproyeksikan akan menghadapi tekanan yang lebih berat.
Arinda menambahkan, inovasi produk menjadi kunci bagi emiten rokok, misalnya dengan merilis produk alternatif seperti rokok elektrik atau tembakau pemanas untuk mempertahankan pangsa pasar. Selain itu, emiten juga dapat mencontoh langkah Grup Djarum yang aktif melakukan diversifikasi ke berbagai sektor bisnis lain sebagai solusi jangka panjang, guna mengurangi ketergantungan pada bisnis rokok yang regulasinya semakin ketat.
Melihat dinamika pasar ini, para analis memberikan rekomendasi bervariasi. Arinda merekomendasikan beli saham HMSP dengan target harga Rp 660 per saham. Sementara itu, Ekky menyarankan trading buy untuk HMSP, terutama jika harga mampu bertahan di area support sekitar Rp 550-560 per saham, dengan potensi rebound jangka pendek ke kisaran Rp 600-620 per saham. Saham WIIM juga dinilai layak dipertimbangkan oleh investor karena valuasinya yang relatif wajar, dengan target jangka menengah hingga Rp 1.000 per saham.
Di sisi lain, Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, menyarankan investor untuk wait and see saham-saham emiten rokok. Ini mengingat fluktuasi harga yang cukup tajam dalam jangka pendek. Nafan menjelaskan, terjadi panic selling karena secara teknikal saham-saham tersebut sudah overbought, sehingga euforia yang tercipta memang hanya bersifat sesaat.
Saham-saham emiten rokok seperti PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), PT Gudang Garam Tbk (GGRM), dan PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) anjlok tajam pada Selasa (9/9) setelah sempat melonjak spekulatif sehari sebelumnya. Kenaikan awal dipicu isu perombakan kabinet dan harapan akan kebijakan cukai yang lebih moderat, menggantikan Menteri Keuangan yang dikenal agresif. Namun, euforia tersebut berumur pendek karena investor menyadari bahwa perubahan pucuk pimpinan tidak otomatis mengubah kebijakan fiskal, ditambah ketidakpastian arah kebijakan. Penurunan ini mengindikasikan bahwa lonjakan sebelumnya hanyalah *relief rally* sentimen jangka pendek.
Secara fundamental, emiten rokok masih menghadapi tekanan berat akibat beban cukai tinggi, daya beli masyarakat yang lemah, serta persaingan ketat dengan rokok ilegal. Untuk mengatasi tantangan ini, perusahaan melakukan efisiensi operasional dan diversifikasi produk, termasuk rokok elektrik atau perluasan segmen pasar. Analis memperkirakan risiko penurunan kinerja masih terbuka, meskipun emiten besar mungkin lebih defensif, dan perubahan signifikan memerlukan penegakan hukum terhadap rokok ilegal. Rekomendasi analis bervariasi, dari beli hingga *wait and see*, mengingat fluktuasi tajam dan kondisi fundamental yang menantang.