Saham Perbankan: Dampak Suntikan Dana 200T & Penurunan BI Rate?

MNCDUIT.COM JAKARTA. Kebijakan pemerintah yang mengalihkan dana mengendap sebesar Rp 200 triliun dari Bank Indonesia (BI) ke bank-bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) diperkirakan akan memberikan dampak signifikan pada kinerja saham di sektor perbankan. Sentimen positif ini diperkuat dengan keputusan Bank Indonesia (BI) yang kembali menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate menjadi 4,75%.

Seperti diketahui, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa baru-baru ini menyalurkan dana negara senilai Rp 200 triliun yang sebelumnya tersimpan di BI, kepada PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN), dan PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS). Langkah ini diambil sebagai upaya memperkuat likuiditas perbankan dan memacu pertumbuhan kredit. Namun, Himbara dilarang menggunakan dana suntikan ini untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) maupun Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).Img AA1LcnXw

IHSG Cetak Rekor Tembus 8.000, Saham Big Banks Bervariasi Rabu (17/9)

Kombinasi antara penyaluran dana negara sebesar Rp 200 triliun dan penurunan suku bunga acuan menjadi katalis positif bagi pergerakan saham-saham Himbara. Bagaimana dampaknya?

Terpantau, saham BBRI menunjukkan kinerja impresif dengan melonjak 8,76% dalam sepekan terakhir, mencapai level Rp 4.220 per saham pada hari Rabu (17/9/2025). Saham BMRI juga mengalami pertumbuhan sebesar 2,50% dalam periode yang sama, berada di level Rp 4.510 per saham. Kenaikan signifikan juga terlihat pada saham BBNI yang melesat 8,54% menjadi Rp 4.450 per saham. Sementara itu, saham BBTN mengalami kenaikan sebesar 9,02% menjadi Rp 1.390 per saham, dan saham BRIS melonjak 6% ke level Rp 2.650 per saham dalam sepekan terakhir.

Managing Director Research & Digital Production Samuel Sekuritas Indonesia, Harry Su, menjelaskan bahwa penyaluran dana Rp 200 triliun ke emiten-emiten Himbara berpotensi meningkatkan likuiditas secara keseluruhan. Dampaknya, *loan to deposit ratio* (LDR) bank diperkirakan turun dari 93,5% menjadi 89,6%. Kondisi ini memberikan ruang bagi perbankan untuk menyalurkan kredit dalam jumlah yang lebih besar.

“Akan tetapi, perlu diingat bahwa jika kredit disalurkan ke sektor-sektor yang berisiko tinggi, potensi *non-performing loan* (NPL) bisa meningkat, yang pada akhirnya akan menekan kualitas aset dan margin bank,” ujar Harry pada hari Rabu (17/9/2025).

BCA Catat Laba Rp 39,06 Triliun Hingga Agustus 2025, Beban Pencadangan Naik 106%

Bank Indonesia (BI) telah menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 4,75% berdasarkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang baru saja dilaksanakan. Secara teoritis, kebijakan ini akan memberikan keuntungan bagi emiten-emiten bank karena dapat menurunkan *cost of fund* mereka. Namun, di sisi lain, *net interest margin* (NIM) bank juga berpotensi mengalami tekanan jika suku bunga kredit harus diturunkan dengan cepat. Oleh karena itu, emiten bank perlu lebih berhati-hati dan selektif dalam menyalurkan kredit untuk menghindari risiko kenaikan NPL.

Analis Maybank Sekuritas, Faid Asad, menambahkan bahwa emiten Himbara berpotensi menjadi pihak yang paling cepat merasakan dampak positif dari penyaluran dana Rp 200 triliun, yang terjadi bersamaan dengan momentum pemangkasan suku bunga acuan BI. Namun, pada akhirnya, seluruh industri perbankan akan merasakan dampak dari berkurangnya kompetisi pendanaan, yang diharapkan dapat mengurangi biaya pendanaan bagi para pelaku usaha.

Menurut Faid, jika emiten Himbara tidak dapat sepenuhnya menyalurkan dana negara sebesar Rp 200 triliun, mereka dapat mengurangi porsi dana mahal yang selama ini digunakan dengan tambahan likuiditas tersebut, sehingga berpotensi memperbaiki margin mereka.

“Menurut pandangan kami, kebijakan ini merupakan langkah positif bagi sektor perbankan. Akan tetapi, jika terjadi pelemahan nilai tukar rupiah, investor asing cenderung akan melakukan aksi jual,” tukasnya pada hari Rabu (17/9/2025).

Senada dengan Faid, Harry juga berpendapat bahwa prospek saham bank pada dasarnya cukup menjanjikan, terutama karena didukung oleh peningkatan likuiditas dan tren penurunan suku bunga acuan BI.

Meskipun demikian, perlu diingat bahwa masih ada beberapa risiko yang perlu diwaspadai, seperti potensi penurunan kualitas aset, perlambatan pertumbuhan kredit, hingga tekanan jual dari investor asing yang sering terjadi pada saham-saham perbankan.

 
BBCA Chart by TradingView
 

Melihat kondisi ini, Harry lebih memilih saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) karena kualitas asetnya yang baik, *franchise Current Account Savings Account* (CASA) yang tinggi, serta *Return of Equity* (ROE) yang tertinggi di sektor perbankan, yaitu sebesar 25,2%.

Ia merekomendasikan untuk membeli saham BBCA dengan target harga Rp 10.000 per saham.

Selain itu, Harry juga merekomendasikan untuk membeli saham BMRI, BBRI, dan BBNI dengan target harga masing-masing Rp 5.200 per saham, Rp 4.000 per saham, dan Rp 4.500 per saham.

Di sisi lain, Faid merekomendasikan untuk membeli saham BBRI dengan target harga di level Rp 4.900 per saham. Menurutnya, BBRI diperkirakan akan menjadi emiten Himbara yang paling merasakan dampak positif dari kebijakan penyaluran dana Rp 200 triliun dari pemerintah.

Ringkasan

Kebijakan pemerintah mengalihkan dana Rp 200 triliun dari Bank Indonesia (BI) ke bank-bank Himbara (BBRI, BMRI, BBNI, BBTN, BRIS) dan penurunan suku bunga acuan BI menjadi 4,75% menjadi katalis positif bagi sektor perbankan. Dana ini bertujuan memperkuat likuiditas dan memacu pertumbuhan kredit, meskipun tidak boleh digunakan untuk membeli SBN atau SRBI. Kedua kebijakan ini langsung mendorong kenaikan signifikan pada saham-saham Himbara, dengan beberapa di antaranya melonjak lebih dari 8% dalam sepekan.

Menurut analis, suntikan dana tersebut berpotensi meningkatkan likuiditas dan menurunkan *loan to deposit ratio* (LDR) bank, membuka ruang untuk penyaluran kredit yang lebih besar. Penurunan suku bunga acuan juga dapat mengurangi *cost of fund* bank, meskipun berisiko menekan *net interest margin* (NIM) jika suku bunga kredit cepat turun. Potensi risiko meliputi peningkatan *non-performing loan* (NPL) jika kredit disalurkan ke sektor berisiko tinggi dan tekanan jual dari investor asing apabila nilai tukar rupiah melemah.

You might also like