
MNCDUIT.COM, JAKARTA — Gejolak hebat melanda pasar modal Indonesia, menyeret Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terperosok tajam hingga meninggalkan level psikologis 8.000 pada penutupan pekan ini. Anjloknya IHSG ini tak lepas dari fenomena bergugurannya saham-saham emiten konglomerat Tanah Air.
Mengutip data resmi Bursa Efek Indonesia (BEI), indeks komposit itu ditutup terkoreksi signifikan sebesar 2,57% ke level 7.915,65 pada perdagangan Jumat (17/10/2025). Potret pasar pada hari itu memperlihatkan dominasi aksi jual, dengan hanya 116 saham yang mampu menguat, sementara 598 saham harus terjungkal, dan 94 saham sisanya stagnan.
Secara lebih mendalam, merosotnya IHSG ini memang sangat dipengaruhi oleh kinerja jeblok saham-saham konglomerat. Terutama, deretan saham yang terafiliasi dengan konglomerat terkemuka seperti Prajogo Pangestu, yang secara kompak mencatatkan penurunan signifikan dan mendominasi daftar top losers.
Penurunan tersebut terlihat jelas pada emiten-emiten besar. Di antaranya, saham PT Barito Pacific Tbk. (BRPT) yang ambles 7,12%, diikuti PT Chandra Daya Investasi Tbk. (CDIA) merosot 8,72%, PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk. (CUAN) yang turun 9,66%, PT Petrosea Tbk. (PTRO) melemah 5%, dan PT Barito Renewables Energy Tbk. (BREN) terkoreksi 5,1%.
Tak hanya itu, saham PT Solusi Sinergi Digital Tbk. (WIFI), emiten yang berafiliasi dengan Hashim Djojohadikusumo, turut menjadi korban dengan penurunan drastis sebesar 14,51%. Senada, saham dari Grup Lippo, yaitu PT Multipolar Technology Tbk. (MLPT), juga tak luput dari tekanan jual hingga terkontraksi 15%.
Menanggapi fenomena ini, Analis Reliance Sekuritas Indonesia, Arifin, menjelaskan bahwa mayoritas saham konglomerat memang telah mencatatkan lonjakan harga yang impresif, bahkan lebih dari 30% secara year-to-date (YtD). Menurutnya, kenaikan harga yang terlalu agresif dalam waktu singkat inilah yang membuka ruang lebar bagi terjadinya koreksi saham.
: : Ramalan Nasib IHSG Saat Saham Konglomerat BRPT, WIFI Cs Berguguran
Arifin menegaskan, “Logika dasarnya sederhana. Ketika saham naik terlalu cepat, maka kemungkinan besar turunnya juga akan cepat apabila tidak disertai kondisi fundamental yang kuat,” seperti dikutip pada Sabtu (18/10/2025).
Meski demikian, Arifin turut meluruskan bahwa ini bukan berarti seluruh saham konglomerat tersebut tidak memiliki fundamental yang solid. Ia hanya menekankan bahwa pergerakan harga yang sangat agresif dalam kurun waktu singkat membuat pasar saham menjadi lebih rentan dan sensitif terhadap tekanan jual.
: : Mayoritas Saham Emiten Konglomerat Jeblok Pekan Ini dari JARR, WIFI, PGUN, hingga BRPT
Dalam pandangannya, Arifin menilai bahwa pelemahan harga saham saat ini hanyalah bersifat sementara. Ia justru melihatnya sebagai momentum emas bagi para investor untuk melakukan akumulasi pada saham-saham berfundamental kuat, mengingat prospek pasar saham Indonesia secara umum masih sangat positif.
“Kalaupun ada penurunan harga, ini adalah kesempatan yang baik untuk membeli beberapa saham yang bagus secara fundamental,” pungkasnya, memberikan optimisme di tengah koreksi.
Di sisi lain, Head of Research Kiwoom Sekuritas, Liza Camelia Suryanata, menambahkan dimensi lain pada tekanan IHSG. Menurutnya, hal ini juga tidak terlepas dari meningkatnya kekhawatiran terhadap potensi krisis kredit di Amerika Serikat (AS), dipicu oleh lonjakan kasus gagal bayar pada sejumlah korporasi besar seperti First Brands, Tricolor Holdings, dan Zions Bancorporation.
Sentimen negatif global ini lantas meluas, menyeret pasar saham Asia dan Eropa untuk ikut terkoreksi serempak. Namun, dampak terparah justru dirasakan oleh indeks komposit Tanah Air, yang menurut Liza, disebabkan oleh likuiditas pasar domestik yang dinilai relatif dangkal dan lebih rentan terhadap guncangan.
“Kekhawatiran akan efek domino di sektor keuangan global telah mendorong para investor untuk beramai-ramai melepas aset-aset berisiko. Lonjakan harga emas hingga mencapai US$4.300 menjadi indikator kuat bahwa pasar ekuitas dunia sedang memasuki fase guncangan yang serius,” ungkap Liza.
Selain faktor eksternal tersebut, Kiwoom Sekuritas juga mencatat adanya rumor yang beredar di pasar domestik. Rumor ini menyebutkan adanya kebijakan pemerintah yang ingin melihat “IHSG yang sesungguhnya”, sebuah indeks tanpa intervensi atau dukungan dari saham-saham berkapitalisasi besar (big caps).
Kabar tersebut sontak memicu aksi jual pada sejumlah big caps di pasar saham, termasuk di antaranya BREN, CDIA, DSSA, DCII, TPIA, BRPT, dan CUAN. Dampaknya, tekanan jual semakin membesar, secara gamblang memperlihatkan ‘wajah riil’ pasar ketika faktor penopang sementara dilepas.
“Pelemahan hari ini justru memperlihatkan ‘wajah riil’ pasar ketika faktor support system sementara dilepas,” tutup Liza, menegaskan kembali pentingnya fundamental pasar.
Disclaimer: Artikel ini disajikan sebagai informasi dan tidak bertujuan untuk mengajak pembaca membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab pribadi pembaca. Redaksi tidak bertanggung jawab atas kerugian atau keuntungan yang mungkin timbul dari keputusan investasi yang diambil.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok signifikan sebesar 2,57% ke level 7.915,65 pada penutupan pekan ini, meninggalkan level psikologis 8.000. Penurunan ini didominasi oleh koreksi tajam saham-saham emiten konglomerat seperti PT Barito Pacific Tbk. (BRPT) dan PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk. (CUAN) milik Prajogo Pangestu, serta PT Solusi Sinergi Digital Tbk. (WIFI) dari Hashim Djojohadikusumo. Analis Reliance Sekuritas, Arifin, menyebut lonjakan harga yang terlalu agresif secara year-to-date tanpa fundamental kuat menjadi penyebab utama koreksi ini.
Selain itu, tekanan terhadap IHSG juga dipengaruhi oleh kekhawatiran krisis kredit di Amerika Serikat yang memicu sentimen negatif global, demikian menurut Liza Camelia Suryanata dari Kiwoom Sekuritas. Pasar domestik yang likuiditasnya dangkal dinilai lebih rentan terhadap guncangan eksternal ini. Liza juga mencatat adanya rumor kebijakan pemerintah yang ingin melihat “IHSG sesungguhnya” tanpa intervensi saham berkapitalisasi besar, memicu aksi jual pada big caps. Meski demikian, Arifin melihat pelemahan ini sebagai momentum baik bagi investor untuk akumulasi saham berfundamental kuat.