Saham KOMPAS100: Rekomendasi Terbaru Usai Rebalancing, Potensi Cuan?

Img AA1JcNmM

MNCDUIT.COM JAKARTA. Bursa Efek Indonesia (BEI) baru saja mengumumkan perubahan komposisi indeks KOMPAS100 yang berlaku mulai 1 Agustus 2025 hingga 30 Januari 2026. Perubahan ini tentu memicu pertanyaan: saham mana yang masuk dan keluar, dan bagaimana dampaknya pada kinerja indeks?

Dalam rebalancing kali ini, sejumlah nama harus rela angkat kaki dari daftar bergengsi KOMPAS100. Mereka adalah PT Berdikari Pondasi Perkasa Tbk (BDKR), PT Global Mediacom Tbk (BMTR), PT Sinergi Inti Andalan Prima Tbk (INET), PT Mark Dynamics Indonesia Tbk (MARK), PT Midi Utama Indonesia Tbk (MIDI), PT Sarana Mitra Luas Tbk (SMIL), PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS), PT Maja Agung Latexindo Tbk (SURI), PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA), PT Ulima Nitra Tbk (UNIQ), dan PT Solusi Sinergi Digital Tbk (WIFI).

Namun, setiap perpisahan selalu membuka pintu bagi kedatangan baru. Kali ini, giliran PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI), PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI), PT Bukalapak.com Tbk (BUKA), PT Bumi Resources Tbk (BUMI), PT Sariguna Primatirta Tbk (CLEO), PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA), PT Bank Panin Tbk (PNBN), PT Samudera Indonesia Tbk (SMDR), PT Sumber Tani Agung Resources Tbk (STAA), PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG), dan PT Transcoal Pacific Tbk (TCPI) untuk unjuk gigi di indeks KOMPAS100.

Lantas, bagaimana kinerja indeks KOMPAS100 selama ini? Tercatat, indeks ini hanya menguat tipis 0,20% sejak awal tahun atau secara year to date (YTD). Angka ini jauh tertinggal dibandingkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang berhasil melesat 7,55% YTD. Mengapa demikian?

Simak Rekomendasi Saham Pilihan untuk Hari Ini (29/7), IHSG Berpotensi Melemah

Rully Arya Wisnubroto, Kepala Riset dan Kepala Ekonom Mirae Asset Sekuritas, menjelaskan bahwa performa KOMPAS100 yang kurang memuaskan disebabkan oleh penggerak utama IHSG yang justru berasal dari saham-saham di luar konstituen KOMPAS100, seperti PT DCI Indonesia Tbk (DCII) dan DSSA.

“Sementara itu, beberapa saham yang lagging turut berkontribusi pada penurunan KOMPAS100, contohnya PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI),” ungkapnya kepada Kontan, Senin (28/7/2025).

Senada dengan Rully, Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus, mengamati bahwa saham-saham konstituen KOMPAS100 cenderung mengalami koreksi sejak awal tahun 2025.

“Mulai dari BBRI, BBCA, BMRI, PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) hingga PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO),” jelasnya.

Ekonom Panin Sekuritas, Felix Darmawan, menambahkan bahwa sektor teknologi dan media menjadi pemberat utama kinerja KOMPAS100.

Saham-saham seperti BMTR, INET, dan WIFI dinilai kurang likuid dan tidak terlalu mendukung kinerja indeks. “Jadi, keluarnya mereka dalam rebalancing ini justru bisa memberikan ruang perbaikan untuk indeks secara keseluruhan,” katanya.

Rully berpendapat bahwa indeks KOMPAS100 justru lebih mencerminkan kondisi ekonomi saat ini. Sementara, kenaikan IHSG lebih didorong oleh growth stock yang cenderung masih bersifat spekulatif.

Ke depan, menurut Rully, sulit untuk memprediksi kinerja indeks KOMPAS100. “Hal ini karena saham-saham penggerak IHSG, seperti DCII dan DSSA, sudah naik terlalu tajam,” paparnya.

Rekomendasi Saham PGUN dan JARR yang Kinerjanya Naik di Semester I 2025

Felix melihat bahwa masuknya saham-saham seperti BUKA, BUMI, CLEO, DSSA, dan SMDR berpotensi meningkatkan prospek KOMPAS100. Terlebih lagi, beberapa di antaranya sedang mengalami momentum pertumbuhan kinerja.

Namun, ia mengingatkan bahwa indeks ini masih rentan terhadap aksi profit taking karena didominasi oleh saham-saham sektor consumer cyclical dan komoditas.

Pada semester II 2025, sektor energi (BUMI, DSSA, dan TOBA), logistik (SMDR dan TCPI), dan konsumer (CLEO, AADI, dan MIDI) diperkirakan akan menjadi motor penggerak utama KOMPAS100.

“Namun, sektor properti (ASRI) dan bank menengah (PNBN) masih harus membuktikan ketahanannya terhadap tekanan suku bunga tinggi,” ungkapnya.

Secara individual, CLEO dan SMDR menunjukkan pertumbuhan operasional yang solid. CLEO konsisten mencetak pertumbuhan penjualan double digit dan ekspansi pabrik baru, sementara SMDR diuntungkan dari lonjakan volume ekspor dan kenaikan tarif logistik.

DSSA juga menarik karena posisinya sebagai emiten energi terintegrasi berbasis batu bara yang juga merambah ke pembangkit listrik dan energi terbarukan.

“Sementara itu, pergerakan saham BUKA dan BUMI masih volatile, dipengaruhi sentimen jangka pendek pasar dan kinerja yang belum sepenuhnya stabil,” tuturnya.

Nico menuturkan bahwa saham-saham konstituen baru KOMPAS100, seperti AADI, ASRI, BUKA, BUMI, CLEO, DSSA, PNBN, SMDR, STAA, TAPG, dan TCPI, berpotensi mengalami kenaikan.

 
AADI Chart by TradingView

Namun, besarnya kenaikan tersebut bergantung pada kapitalisasi pasar masing-masing. Saham perbankan, misalnya, memiliki market cap besar, tetapi harganya cenderung sulit untuk naik.

Kondisi ini dapat menghambat kebangkitan indeks KOMPAS100. “Saat ini, jika diperhatikan berdasarkan market cap, sektor perbankan masih menjadi pemberat,” tuturnya.

Di semester II 2025, terdapat empat sentimen positif yang berpotensi mendorong kinerja indeks KOMPAS100. Pertama, kesepakatan antara Amerika Serikat (AS) dan Indonesia.

Kedua, potensi penurunan tingkat suku bunga The Fed. Ketiga, pemangkasan tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI).

Terakhir, implementasi sejumlah program pemerintah, seperti Koperasi Merah Putih dan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diharapkan berjalan maksimal pada bulan Agustus 2025.

Sementara itu, sentimen negatif berasal dari meningkatnya tensi geopolitik antara Thailand dan Kamboja, perubahan kesepakatan tarif, dan ketidakpastian kebijakan Trump.

Nico menyarankan investor untuk mencermati sejumlah saham konstituen KOMPAS100, seperti BBCA, BBRI, BMRI, TLKM, PANI, ASII, BBNI, BRIS, ICBP, AMRT, CPIN, INDF, PGEO, BRMS, MBMA, MYOR, ADMR, EXCL, JPFA, RAJA, AUTO, dan ERAA.

IHSG Tembus Rekor Tertinggi, Didorong Saham Konglomerat Tak Likuid

Praktisi pasar modal sekaligus Founder WH-Project, William Hartanto, merekomendasikan beli untuk CLEO dengan target harga Rp 615 – Rp 700 per saham. Ia juga memberikan rekomendasi buy on weakness untuk TAPG dengan target harga Rp 1.390 – Rp 1.450 per saham.

Analis Teknikal Phillip Sekuritas Indonesia, Joshua Marcius, menyebutkan bahwa pergerakan saham CLEO masih tertahan pada neckline pola double top di area resistance Rp 680 per saham.

“Kemudian, pergerakannya tertahan di bawah garis EMA20, sehingga berpotensi melanjutkan penurunan ke level support Rp 550 per saham,” ujarnya. Joshua merekomendasikan wait and see untuk CLEO.

Ringkasan

Bursa Efek Indonesia (BEI) mengumumkan perubahan komposisi indeks KOMPAS100 yang berlaku mulai 1 Agustus 2025. Beberapa saham keluar dari daftar, seperti BDKR dan BMTR, sementara saham baru masuk, termasuk AADI dan ASRI. Kinerja indeks KOMPAS100 tercatat hanya naik tipis 0,20% YTD, tertinggal dari IHSG, disebabkan oleh performa saham penggerak IHSG yang berada di luar konstituen KOMPAS100.

Analis berpendapat masuknya saham-saham baru seperti BUKA, BUMI, dan CLEO berpotensi meningkatkan prospek KOMPAS100. Sektor energi, logistik, dan konsumer diperkirakan akan menjadi motor penggerak utama. Beberapa saham yang direkomendasikan untuk dicermati adalah BBCA, BBRI, dan CLEO, dengan rekomendasi beli untuk CLEO dan buy on weakness untuk TAPG.

You might also like