
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Sektor pertambangan batubara tengah dihadapkan pada ketidakpastian signifikan akibat merosotnya permintaan di pasar global. Meskipun demikian, peluang investasi pada saham-saham batubara masih terbuka lebar bagi para investor yang cermat.
Belakangan ini, volume ekspor batubara Indonesia menunjukkan perlambatan yang mencolok. Sepanjang Januari hingga April 2025, realisasi volume ekspor batubara nasional hanya mencapai 160 juta ton, angka ini lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang berada di kisaran 171 juta ton. Penurunan ini sebagian besar dipicu oleh lesunya permintaan dari negara-negara konsumen utama seperti China dan India.
Dikutip dari Reuters pada Rabu (11/6) lalu, impor batubara China diperkirakan dapat turun hingga 100 juta ton pada tahun 2025. Proyeksi ini berpotensi memberikan tekanan lebih lanjut pada patokan harga batubara yang kini telah diperdagangkan pada level terendah dalam beberapa tahun terakhir. Selain itu, India juga secara aktif mengurangi impor batubara seiring dengan upaya masif mereka untuk menggenjot produksi listrik dari energi terbarukan, khususnya melalui pembangkit listrik tenaga surya.
Secara historis, harga batubara telah mengalami koreksi cukup dalam setidaknya dalam satu tahun terakhir. Data dari Trading Economics menunjukkan bahwa meskipun dalam sebulan terakhir harga batubara sempat tumbuh 6,31%, secara year-on-year (yoy) harga batubara masih terkoreksi 22,12%, berada di level US$ 105,25 per ton.
Ekspor Batubara Indonesia Terus Turun, Ini yang Bakal Dilakukan Kementerian ESDM
Meskipun diwarnai banyak sentimen negatif, Head of Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, Liza Camelia Suryanata, menilai ada kemungkinan saham batubara berpeluang rebound dan memasuki fase bullish. Menurut Liza, pergerakan harga batubara global menunjukkan siklus yang sangat khas. Fase bearish yang berlangsung selama 2-3 tahun seringkali diikuti oleh fase bullish dengan durasi serupa.
Pola ini pernah terjadi pada rentang tahun 2011-2015, di mana harga batubara tertekan secara berturut-turut dalam kisaran -8% hingga -29%. Setelah itu, pasar batubara pulih signifikan dengan penguatan harga sebesar 75% pada 2016, 14% pada 2017, dan 1% pada 2018. Saat ini, pasar sedang berada dalam fase pelemahan baru, dengan koreksi harga batubara sebesar 64% pada 2023 dan 14% pada 2024. Bahkan, secara year to date (ytd), harga batubara selama tahun 2025 berjalan telah anjlok 15,97%.
“Bukan tidak mungkin 2025 menjadi akhir fase bottoming dengan peluang masuk awal fase akumulasi untuk siklus komoditas berikutnya,” ungkap Liza dalam riset yang diterima Kontan, Kamis (12/6). Ia menambahkan bahwa fase pembalikan arah harga batubara baru dapat terjadi jika didukung oleh faktor-faktor makro. Contohnya adalah dinamika konflik geopolitik yang bisa memicu kenaikan biaya produksi dan mendorong pertumbuhan harga energi seperti batubara, serta pelemahan dolar AS yang secara historis juga mendukung kenaikan harga komoditas.
Di sisi lain, tantangan yang dapat menghambat kenaikan harga batubara, termasuk kinerja emiten di sektor tersebut, adalah risiko resesi global. Sentimen ini berpotensi menekan permintaan batubara di pasar global. “Percepatan transisi ke energi hijau juga dapat menggeser permintaan batubara,” imbuh Liza.
Mitrabara Adiperdana (MBAP) Buka Peluang Bisnis di Sektor Non Batubara
Senada, Investment Analyst Infovesta Utama, Ekky Topan, menilai harga batubara memang sudah cukup bottoming di tengah perlambatan permintaan global, sehingga peluang bagi saham batubara untuk kembali bullish terbuka cukup besar. Salah satu faktor pendukungnya adalah isu perang tarif AS-China yang mereda, membuka kemungkinan China kembali meningkatkan impor batubara. Ketegangan geopolitik global, termasuk konflik Iran-Israel, juga diperkirakan akan mendorong harga komoditas energi seperti batubara.
“Konsumsi batubara domestik juga berpeluang meningkat seiring dengan pemulihan ekonomi dan akselerasi proyek hilirisasi yang tentu membutuhkan energi besar,” kata Ekky, Jumat (13/6). Ia menambahkan, emiten dengan struktur biaya rendah, kepemilikan kontrak ekspor batubara jangka panjang, dan cadangan batubara besar berpeluang meraih kinerja optimal ketika sektor komoditas ini berbalik bullish. Contohnya terlihat pada PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) dan PT Bumi Resources Tbk (BUMI).
Selain itu, emiten batubara yang memiliki jalur distribusi kuat di pasar domestik seperti PT Bukit Asam Tbk (PTBA) juga dapat diuntungkan ketika harga batubara kembali menanjak. Potensi peningkatan profitabilitas juga bisa diraih oleh emiten yang mulai aktif melakukan diversifikasi bisnis, seperti PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), PT Indika Energy Tbk (INDY), PT Harum Energy Tbk (HRUM), dan PT United Tractors Tbk (UNTR).
“Karena transisi energi hijau dan regulasi karbon berpotensi menekan kinerja pada masa depan, maka banyak emiten batubara yang mulai diversifikasi,” tutur Ekky.
Prospek Batubara Indonesia Tertekan Pelemahan Harga dan Penurunan Impor China
Ekky menyebutkan saham ITMG dan saham UNTR cukup menarik untuk dikoleksi oleh investor karena harganya sudah cukup murah dan belum beranjak naik. Target harga jangka panjang ITMG dipatok di level Rp 26.000 per saham, sedangkan UNTR di level Rp 26.550 per saham.
Sementara itu, Liza menyatakan bahwa jika pola historis pergerakan harga batubara benar-benar terulang, maka tahun 2025 menjadi momen penting untuk mulai menata portofolio berbasis komoditas. Ini bukan untuk mengejar momentum jangka pendek, melainkan untuk mengambil posisi jangka menengah hingga panjang. Beberapa saham batubara yang perlu dicermati oleh Liza antara lain PTBA, ITMG, dan HRUM.
Sektor batubara menghadapi ketidakpastian signifikan akibat penurunan permintaan global dan volume ekspor yang lebih rendah, khususnya dari China dan India, menyebabkan harga batubara berada di level terendahnya dalam beberapa tahun. Meskipun demikian, analis melihat peluang bagi saham batubara untuk bangkit dan memasuki fase _bullish_, merujuk pada siklus harga historis di mana periode _bearish_ diikuti oleh _bullish_. Pemulihan ini dapat didukung oleh faktor makro seperti dinamika geopolitik dan pelemahan dolar AS.
Penyebab potensial _rebound_ meliputi meredanya ketegangan dagang AS-China serta peningkatan konsumsi batubara domestik untuk pemulihan ekonomi dan proyek hilirisasi. Namun, tantangan seperti risiko resesi global dan transisi energi hijau masih ada. Untuk investasi jangka menengah hingga panjang, saham pilihan mencakup ITMG, UNTR, PTBA, dan HRUM, terutama bagi emiten dengan fundamental kuat atau diversifikasi bisnis.