
MNCDUIT.COM – JAKARTA. Ketegangan geopolitik kembali memanas, berpusat pada potensi masuknya Amerika Serikat (AS) ke dalam konflik Iran-Israel. Perkembangan ini diproyeksikan akan memberikan tekanan signifikan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah di pasar domestik.
Pada penutupan perdagangan Jumat (20/6) lalu, rupiah menunjukkan pergerakan yang bervariasi. Berdasarkan data JISDOR BI, rupiah melemah tipis 0,13% secara harian, mencapai level Rp 16.399. Namun, di sisi lain, Bloomberg mencatat apresiasi tipis rupiah spot sebesar 0,06% dari perdagangan sebelumnya, diperdagangkan pada level Rp 16.396.
Menanggapi fluktuasi ini, Pengamat Mata Uang dan Komoditas, Ibrahim Assuaibi, menjelaskan bahwa penguatan rupiah spot pada Jumat (20/6) lalu sejalan dengan pelemahan dolar AS. Pelemahan dolar AS tersebut dipicu oleh komentar agresif Ketua The Fed, Jerome Powell, terkait suku bunga acuan. “Powell tidak berkomitmen pada pemangkasan suku bunga di masa mendatang dan bahkan memangkas prospek pemangkasan suku bunga bank sentral untuk tahun 2026,” papar Ibrahim.
Efek Serangan AS ke Iran: Harga Minyak Terancam Naik dan Rupiah Tertekan
Sebelumnya, sentimen pasar sempat tertahan setelah Gedung Putih membantah keterlibatan AS dalam konflik Iran-Israel. Penyangkalan ini turut membantu menahan sentimen risk-off yang berpotensi membebani aset berisiko seperti rupiah.
Namun, situasi berubah drastis pada Minggu (22/6) hari ini ketika Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa pihaknya telah melancarkan serangan bom terhadap tiga wilayah nuklir Iran. Ibrahim memperingatkan bahwa langkah ini akan semakin memperkeruh ketegangan di Timur Tengah dan berpotensi memicu keterlibatan negara-negara besar lainnya, termasuk Rusia, China, dan Korea Utara.
Senada dengan pandangan tersebut, Analis Doo Financial Futures, Lukman Leong, menyoroti bahwa pengeboman oleh AS ini akan secara otomatis memicu sentimen risk-off dari pasar domestik, mengingat posisi Indonesia sebagai negara emerging market. Situasi ini cenderung membuat investor menarik dananya dari aset berisiko.
Lukman menambahkan, tidak ada sentimen khusus yang akan menjadi fokus pasar dalam waktu dekat. Perhatian utama justru akan tertuju pada kelanjutan situasi di Iran pasca-serangan yang dilancarkan oleh Trump. “Untuk jangka pendek, rupiah diperkirakan masih akan tertekan dan belum bisa menguat,” jelas Lukman kepada Kontan, Minggu (20/6).
Tekanan Belum Berkurang, Rupiah Diprediksi Sulit Menguat dalam Jangka Pendek
Selain perkembangan geopolitik, pasar juga akan memantau sentimen lain ke depannya, yakni terkait perkembangan kebijakan tarif Trump, mengingat batas waktu penundaan makin mendekati awal Juli.
Untuk perdagangan Senin (23/6) mendatang, Lukman Leong memprediksi rupiah akan bergerak dalam rentang Rp 16.350 – Rp 16.500 dengan kecenderungan melemah. Sementara itu, Ibrahim Assuaibi memproyeksikan pergerakan rupiah akan berada dalam kisaran yang sedikit lebih sempit, yakni Rp 16.350 – Rp 16.400.
Ketegangan geopolitik diproyeksikan akan memberikan tekanan signifikan terhadap rupiah setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan serangan bom terhadap tiga wilayah nuklir Iran pada Minggu (22/6). Langkah ini diperkirakan akan semakin memperkeruh ketegangan di Timur Tengah dan berpotensi memicu keterlibatan negara besar lainnya. Analis menyoroti bahwa serangan ini secara otomatis akan memicu sentimen *risk-off* dari pasar domestik, mengingat posisi Indonesia sebagai negara *emerging market*.
Pada penutupan perdagangan Jumat (20/6), rupiah menunjukkan pergerakan bervariasi, melemah tipis menurut JISDOR BI namun menguat tipis di Bloomberg seiring pelemahan dolar AS. Namun, dengan perkembangan terbaru, rupiah diperkirakan akan tetap tertekan dan sulit menguat dalam jangka pendek. Untuk perdagangan Senin (23/6), para analis memprediksi rupiah akan bergerak dalam rentang Rp 16.350 – Rp 16.500 dengan kecenderungan melemah.