MNCDUIT.COM – JAKARTA. Rupiah menunjukkan taringnya di hadapan dolar Amerika Serikat pada perdagangan Selasa (2 Desember). Di pasar spot, rupiah berhasil ditutup menguat 0,23% menjadi Rp 16.625 per dolar AS. Penguatan serupa juga tercermin pada rupiah Jisdor Bank Indonesia (BI), yang naik 0,21% ke level Rp 16.632 per dolar AS.
Kepala Ekonom Bank Central Asia, David Sumual, menjelaskan bahwa penguatan ini didorong oleh efek positif surplus neraca perdagangan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan surplus neraca perdagangan barang Indonesia per Oktober 2025 mencapai US$ 2,39 miliar.
“Sentimen positif ini jelas datang dari neraca perdagangan RI yang masih mencatatkan surplus,” ungkap David kepada KONTAN, Selasa (2/12).
Rupiah Menguat ke Rp 16.625 per Dolar AS, Dipicu Ekspektasi Pemangkasan Bunga The Fed
Menilik pergerakan rupiah ke depan, David memprediksi sejumlah faktor akan memengaruhi. Salah satunya adalah Dollar Index (DXY) yang saat ini cenderung melemah, di tengah sinyal positif dari indikator ekonomi Jerman dan Jepang. Rilis Germany Manufacturing PMI menunjukkan penguatan, sementara Bank of Japan (BoJ) memberikan indikasi *hawkish* terkait potensi kenaikan suku bunga bulan ini.
David memproyeksikan nilai rupiah pada esok hari, 3 Desember 2025, akan bergerak dalam rentang Rp 16.600 – Rp 16.675 per dolar AS.
Pengamat mata uang, Ibrahim Assuaibi, menambahkan bahwa sentimen terhadap rupiah juga dipengaruhi oleh ekspektasi pasar terhadap kebijakan The Federal Reserve. Meningkatnya CME FedWatch Tool menunjukkan keyakinan yang semakin besar terhadap penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin pada Desember, dengan probabilitas mencapai 87,4%.
Isu mengenai Penasihat Ekonomi Nasional Gedung Putih, Kevin Hassett, yang berpotensi menggantikan Jerome Powell sebagai Ketua Fed berikutnya juga turut mewarnai sentimen pasar. Meskipun demikian, Presiden AS Donald Trump pada hari Minggu lalu menyatakan belum akan mengungkapkan pilihannya, namun menegaskan bahwa ia sudah menentukan nama yang akan diajukan.
Sementara itu, data dari Institute for Supply Management (ISM) mengungkap bahwa aktivitas manufaktur pada bulan November masih mengalami kontraksi selama sembilan bulan berturut-turut.
“Data lebih lanjut dari ISM menunjukkan bahwa harga input mengalami peningkatan, dan pasar tenaga kerja masih berada dalam kondisi tingkat pemecatan dan perekrutan yang rendah,” jelas Ibrahim, Selasa (2/12/2025).
Rupiah Ditutup Menguat ke Rp 16.625 Per Dolar AS Hari Ini (2/12), Terkuat di Asia
Lebih lanjut, Ibrahim menyoroti sentimen domestik yang turut memengaruhi pergerakan rupiah, terutama laju inflasi nasional. Data BPS mencatat Indeks Harga Konsumen (IHK) hanya naik 0,17% secara bulanan, lebih rendah dibandingkan 0,28% pada bulan Oktober. Secara tahunan, inflasi melandai ke angka 2,72%, sementara inflasi *year to date* berada di level 2,27%. Inflasi ini terutama didorong oleh komponen inti yang naik 0,17% dan memberikan kontribusi sebesar 0,11% terhadap inflasi nasional.
Untuk perdagangan Rabu (3/12), Ibrahim memproyeksikan rupiah akan bergerak fluktuatif, namun berpotensi ditutup melemah dalam rentang Rp 16.620 – Rp 16.640 per dolar AS.
Rupiah menguat terhadap dolar AS pada perdagangan 2 Desember 2025, ditutup pada Rp 16.625 per dolar AS. Penguatan ini didorong oleh surplus neraca perdagangan Indonesia yang mencapai US$ 2,39 miliar pada Oktober 2025. Sentimen positif ini menjadi faktor utama pendorong penguatan rupiah.
Selain itu, ekspektasi penurunan suku bunga The Fed juga memengaruhi sentimen pasar terhadap rupiah. Namun, data manufaktur AS yang masih kontraksi dan inflasi Indonesia yang terkendali turut mewarnai pergerakan rupiah. Untuk perdagangan 3 Desember 2025, rupiah diproyeksikan bergerak fluktuatif dengan potensi ditutup melemah.