Rojali Rohana: Asal Usul Istilah & Penyebabnya, Simak!

Img AA1JiDaG

Istilah rojali dan rohana kini semakin santer terdengar, terutama di tengah penurunan daya beli masyarakat, khususnya di kalangan menengah ke bawah. Fenomena ini menjadi perbincangan hangat seiring munculnya berbagai konten satir dan komentar publik yang secara akurat mencerminkan pola konsumsi masyarakat yang kini beradaptasi dengan kondisi ekonomi yang penuh tantangan.

Dua istilah unik ini bahkan disebut-sebut sebagai penyebab di balik paradoks menurunnya pendapatan pusat perbelanjaan meskipun jumlah pengunjung terus mengalami peningkatan. Lantas, apa sebenarnya makna di balik istilah rojali dan rohana yang sedang viral ini?

Apa Itu Istilah Rojali dan Rohana?
Ilustrasi, Istilah Rohana dan Rojali (Freepik)

Rojali dan rohana adalah akronim kreatif yang kini menjadi bagian dari percakapan sehari-hari. Rojali merupakan singkatan dari “rombongan jarang beli”, sedangkan rohana adalah kepanjangan dari “rombongan hanya nanya”. Keduanya secara spesifik merujuk pada perilaku pengunjung mal atau pusat perbelanjaan.

Perilaku rojali dan rohana tidak hanya mudah diamati di keramaian mal, bahkan mungkin tanpa sadar kita sendiri termasuk dalam kategori ini. Hal ini terjadi karena semakin banyak orang yang berkunjung ke pusat perbelanjaan namun pulang dengan tangan kosong, tanpa melakukan transaksi pembelian berarti.

Apa Penyebab Rojali dan Rohana?

Kehadiran fenomena rojali dan rohana yang semakin meluas ini, seperti yang dikutip dari laman Katadata.com, sejalan dengan data kenaikan jumlah kunjungan ke mal dan pusat perbelanjaan. Ironisnya, tren peningkatan kunjungan ini justru tidak berbanding lurus dengan omzet yang berhasil diraih oleh para pelaku usaha ritel.

Fenomena ini utamanya disebabkan oleh kunjungan para rojali dan rohana yang mayoritas berasal dari kalangan kelas menengah, baik menengah ke bawah maupun menengah ke atas. Meskipun demikian, terdapat perbedaan mendasar di balik motivasi kunjungan kedua kelompok ini.

Menurut Alphonzus, fenomena rojali sebenarnya sudah berlangsung cukup lama, namun dampaknya kian terasa signifikan sejak momen Ramadan dan Idulfitri 2024. Periode yang seharusnya menjadi puncak penjualan ritel ini justru mencatatkan hasil di bawah target yang diharapkan.

Alphonzus menjelaskan bahwa penurunan pendapatan ritel tidak semata-mata diakibatkan oleh melemahnya daya beli masyarakat, tetapi juga diperparah oleh pengetatan anggaran pemerintah serta faktor-faktor eksternal lainnya. Kondisi ini semakin menantang mengingat sektor ritel biasanya memasuki masa sepi atau low season setelah Idulfitri.

Meskipun kunjungan ke mal mengalami kenaikan, Alphonzus menambahkan bahwa peningkatannya tidak terlalu signifikan. Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menargetkan pertumbuhan kunjungan sebesar 20% hingga 30% pada tahun ini, namun realisasinya tercatat kurang dari 10%. “Ini menunjukkan adanya perubahan pola belanja masyarakat,” ungkap Alphonzus.

Ia mengidentifikasi bahwa kelompok kelas menengah atas kini cenderung lebih berhati-hati dalam berbelanja dan lebih memilih untuk menempatkan dananya pada investasi. Keputusan ini didorong oleh ketidakpastian ekonomi global, pelemahan nilai rupiah, dan kenaikan harga emas. Di sisi lain, kelas menengah bawah tetap datang ke mal meskipun daya beli mereka terus tertekan. “Daya belinya berkurang, uang yang dipegang semakin sedikit, tapi mereka tetap datang ke pusat perbelanjaan,” ujarnya.

Ciri-Ciri Rojali dan Rohana

Melansir laman Antara, istilah rojali dan rohana merujuk pada sekelompok orang yang datang ke pusat perbelanjaan dalam jumlah besar, namun tujuan utamanya hanya berjalan-jalan, melihat-lihat, berfoto, atau menikmati fasilitas tanpa ada niat melakukan transaksi pembelian. Perilaku ini telah menjadi ciri khas yang mudah dikenali.

Berikut adalah beberapa ciri umum pengunjung yang masuk kategori Rojali:

  • Datang bersama teman atau keluarga dalam jumlah banyak, sering kali bergerombol.
  • Menghabiskan waktu yang cukup lama di area publik seperti food court, lorong mal, atau spot foto yang menarik.
  • Tidak melakukan pembelian, hanya bertanya-tanya atau melihat-lihat barang tanpa ada tindak lanjut.
  • Menggunakan fasilitas gratis yang tersedia seperti Wi-Fi, pendingin ruangan, atau tester produk.
  • Sering kali merekam konten untuk media sosial tanpa berinteraksi serius dengan tenant atau melakukan pembelian.

Fenomena ini secara signifikan memengaruhi omzet para pedagang dan pelaku usaha di pusat perbelanjaan. Meskipun jumlah pengunjung terlihat tinggi dan mal tampak ramai, angka penjualan tidak selalu sebanding karena banyaknya pengunjung yang sekadar hadir tanpa berbelanja.

Sementara itu, rohana sering kali muncul sebagai “pasangan” dari rojali. Meskipun belum ada makna resmi yang disepakati secara luas, istilah ini telah banyak digunakan oleh warganet dengan beberapa penafsiran kreatif yang beredar di media sosial. Beberapa dugaan arti Rohana antara lain:

  • Rombongan hanya nanya-nanya.
  • Rombongan hanya narsis (berfoto-foto).
  • Rombongan hanya nongkrong saja.

Demikianlah ulasan mendalam mengenai fenomena rojali dan rohana, istilah yang kini ramai diperbincangkan sebagai cerminan perubahan perilaku konsumen di tengah dinamika ekonomi.

Ringkasan

Istilah “rojali” dan “rohana” kini santer terdengar, menggambarkan fenomena pengunjung pusat perbelanjaan yang tidak melakukan pembelian. “Rojali” merupakan akronim dari “rombongan jarang beli”, sedangkan “rohana” adalah “rombongan hanya nanya” atau sekadar narsis dan nongkrong. Kedua istilah ini merujuk pada perilaku pengunjung mal yang datang untuk berjalan-jalan atau menikmati fasilitas tanpa melakukan transaksi berarti. Fenomena ini menjadi penyebab di balik paradoks menurunnya pendapatan ritel meski jumlah pengunjung pusat perbelanjaan terus meningkat.

Fenomena rojali dan rohana disebabkan oleh berbagai faktor, utamanya penurunan daya beli masyarakat, pengetatan anggaran pemerintah, dan ketidakpastian ekonomi global. Kelas menengah atas kini lebih berhati-hati dalam berbelanja, sementara kelas menengah bawah tetap mengunjungi mal meskipun daya beli mereka tertekan. Ciri-ciri perilaku ini meliputi datang berkelompok, menghabiskan waktu lama di area publik, serta hanya melihat-lihat atau berfoto tanpa adanya niat membeli, yang secara signifikan memengaruhi omzet para pedagang.

You might also like