
MNCDUIT.COM, PEKANBARU – Pemerintah Provinsi Riau secara konsisten memperkuat upaya peningkatan produktivitas padi sebagai pilar utama strategi ketahanan pangan daerah. Langkah ini bersinergi erat dengan peran Bank Indonesia (BI) Perwakilan Riau yang fokus menjaga stabilitas harga dan ketersediaan pasokan komoditas pangan strategis. Kolaborasi hulu–hilir ini menjadi fondasi krusial untuk secara bertahap mengurangi ketergantungan Riau terhadap pasokan beras dari luar daerah.
Wiwik Suryani, selaku Plt Kepala Dinas Pangan, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Riau, mengungkapkan fakta mendesak mengenai produktivitas beras di Riau. Saat ini, daerah tersebut hanya sanggup memenuhi sekitar 22% dari total kebutuhan masyarakatnya yang mencapai tujuh juta jiwa. Akibatnya, sebagian besar pasokan esensial ini masih sangat bergantung pada pengiriman dari provinsi tetangga seperti Sumatra Barat, Jambi, Sumatra Selatan, bahkan hingga Jawa.
“Ini adalah tantangan besar bagi kami agar ke depan Riau tidak terlalu bergantung pada pasokan luar daerah,” tegas Wiwik Suryani dalam wawancara dengan Tim Jelajah Ketahanan Pangan Riau, Kamis (30/10). Pernyataan ini menegaskan komitmen Pemprov Riau untuk mencapai swasembada pangan.
Menjawab tantangan tersebut, Pemerintah Provinsi Riau menggalakkan program nasional Swasembada Pangan. Fokus utamanya adalah peningkatan produktivitas padi melalui perluasan dan optimalisasi lahan sawah yang ada.
Untuk mewujudkan hal ini, Riau mendapatkan alokasi signifikan dalam program Optimalisasi Lahan Sawah (OPLAH) seluas 21.000 hektare pada tahun ini, dengan 19.000 hektare di antaranya telah memasuki tahap pengerjaan fisik bersama TNI. Tak hanya itu, program Cetak Sawah Rakyat (CSR) di Rokan Hilir seluas 500 hektare juga ditargetkan rampung pada tahun yang sama, mempercepat realisasi penambahan lahan produktif.
“Jika berjalan sesuai rencana, lahan-lahan ini akan sepenuhnya menjadi lahan produktif pada tahun depan, dan hasilnya akan langsung dirasakan manfaatnya oleh para petani,” papar Wiwik Suryani dengan optimis.
Meskipun Provinsi Riau memiliki lahan baku sawah sekitar 59.000 hektare, ironisnya baru sekitar 30% yang berfungsi optimal. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Riau memprioritaskan peningkatan Indeks Pertanaman (IP), menargetkan kenaikan dari IP 100 menjadi IP 200, bahkan IP 300 seperti yang telah berhasil diterapkan di Siak. Upaya peningkatan produktivitas ini melibatkan kolaborasi lintas sektor yang masif, mulai dari Dinas PUPR, TNI, BUMDes, perguruan tinggi, hingga kerja sama intensif dengan Bank Indonesia.
Wiwik Suryani juga menekankan bahwa Bank Indonesia turut memainkan peran vital dalam memperkuat kapasitas petani melalui penerapan teknologi smart farming dan upaya modernisasi pertanian di beberapa kabupaten. Dukungan ini diharapkan dapat mendongkrak efisiensi dan hasil panen.
“BI sangat mendukung peningkatan kapasitas petani melalui teknologi pertanian. Kami ingin memperluas penerapannya ke daerah lain,” jelas Wiwik. Sejalan dengan fokus pada sektor produksi, Pemerintah Provinsi Riau juga telah mengajukan permohonan bantuan alat pascapanen modern kepada Kementerian Pertanian. Tujuannya adalah agar gabah yang dihasilkan tidak lagi harus dikirim ke luar daerah hanya untuk proses penggilingan, yang selama ini menjadi salah satu hambatan dalam efisiensi.
Beriringan dengan langkah progresif Pemerintah Provinsi Riau dalam peningkatan produksi padi, Bank Indonesia mengambil peran strategis yang tak kalah penting: menjaga kestabilan harga dan memastikan pasokan pangan di Riau tetap terjaga optimal. Ini adalah dua sisi mata uang dalam menjaga ketahanan pangan.
Kepala Kantor Perwakilan BI Provinsi Riau, Panji Achmad, menegaskan bahwa penguatan ketahanan pangan memiliki korelasi yang sangat erat dengan upaya pengendalian inflasi, khususnya pada kelompok volatile food yang rentan terhadap gejolak harga.
“Upaya menjaga ketahanan pangan selalu berkaitan erat dengan menjaga stabilitas harga. Oleh karena itu, BI Riau, bersama seluruh mitra terkait, terus memperkuat program dalam kerangka Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP),” jelas Panji, menggarisbawahi urgensi kolaborasi.
Dalam implementasinya, dua instrumen utama yang diandalkan untuk pengendalian harga adalah Gerakan Pangan Murah (GPM) dan penyaluran beras SPHP Bulog, yang diselenggarakan secara masif di berbagai kabupaten/kota. GPM berperan krusial dalam menstabilkan harga saat terjadi lonjakan permintaan, sementara SPHP memastikan ketersediaan pasokan beras yang mencukupi dengan harga yang tetap terjangkau bagi masyarakat.
Lebih lanjut, peran Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) semakin menunjukkan sentralitasnya. Panji menjelaskan bahwa TPID tidak hanya mengemban tugas mengendalikan harga, tetapi juga bertanggung jawab untuk memastikan terbentuknya ekosistem pertanian yang produktif dan tangguh di Riau.
“Pendampingan dan evaluasi berkelanjutan oleh TPID memastikan bahwa program-program yang dijalankan bukan sekadar menekan inflasi sesaat, melainkan juga berupaya membangun fondasi sistem pertanian berkelanjutan yang kokoh di masa depan,” urai Panji.
Khusus dalam konteks Riau, implementasi strategi 4K menjadi pedoman utama dalam menjaga stabilitas pangan: yakni Ketersediaan pasokan, Keterjangkauan harga, Kelancaran distribusi, dan Komunikasi yang efektif. Dua aspek pertama, yaitu ketersediaan dan keterjangkauan, menjadi sangat krusial. Hal ini mengingat produktivitas padi Riau yang masih jauh dari target kecukupan, membuatnya sangat sensitif dan rentan terhadap gangguan pasokan dari luar daerah.
“Implementasi program GPM dan SPHP secara konsisten terbukti telah berkontribusi signifikan terhadap capaian stabilitas inflasi di Riau,” tutup Panji, menegaskan keberhasilan strategi tersebut.
Secara keseluruhan, kolaborasi kuat antara Pemerintah Provinsi Riau dan Bank Indonesia telah menciptakan alur kerja hulu-hilir yang saling menguatkan. Sinergi strategis ini merupakan kunci untuk mencapai target ambisius kenaikan produktivitas padi sebesar 8-10% pada tahun depan, sekaligus membangun dan memperkuat ketahanan pangan Riau dalam jangka panjang. Dengan dukungan lintas instansi yang terpadu, adopsi teknologi pertanian modern, serta koordinasi kebijakan yang semakin solid, transformasi sektor pangan di Riau kini mulai menunjukkan arah yang lebih kuat, mandiri, dan berkelanjutan.
Pemerintah Provinsi Riau dan Bank Indonesia (BI) bersinergi secara konsisten untuk meningkatkan produktivitas padi demi ketahanan pangan daerah dan mengurangi ketergantungan pada pasokan beras dari luar. Saat ini, Riau hanya mampu memenuhi sekitar 22% dari total kebutuhan berasnya. Untuk mengatasi tantangan ini, Pemprov menggalakkan program Optimalisasi Lahan Sawah (OPLAH) seluas 21.000 hektare dan Cetak Sawah Rakyat (CSR) 500 hektare, serta menargetkan peningkatan Indeks Pertanaman dari IP 100 menjadi IP 200 atau 300.
Bank Indonesia, di sisi lain, berperan vital dalam menjaga stabilitas harga dan ketersediaan pasokan pangan melalui Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP), termasuk Gerakan Pangan Murah (GPM) dan penyaluran beras SPHP Bulog. BI juga mendukung modernisasi pertanian dan penguatan kapasitas petani dengan teknologi. Kolaborasi hulu-hilir antara Pemprov Riau dan BI ini diharapkan dapat mencapai target kenaikan produktivitas padi sebesar 8-10% dan membangun fondasi ketahanan pangan Riau yang lebih mandiri dan berkelanjutan.