Petani Indonesia vs Jepang-Korsel: Kenapa Teknologi Tak Bisa Ditiru?

Penerapan smart agriculture di Jepang dan Korea Selatan telah menunjukkan potensi besar dalam meningkatkan sektor pertanian. Namun, Indonesia tidak dapat serta merta mengadopsi model serupa. Demikian pandangan Profesor Lilik Sutiarso dari Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem Universitas Gadjah Mada (UGM), yang menegaskan bahwa situasi pertanian Indonesia “tidak apple to apple” dengan negara-negara tersebut. Penjelasan ini disampaikannya dalam ImpactX 2025 Conference di Jakarta, Kamis (18/9), menekankan perlunya pendekatan yang lebih kontekstual.

Indonesia, dengan ribuan pulau dan struktur tanah yang sangat beragam, memiliki kompleksitas geografi dan agro-ekologi yang jauh berbeda dari Jepang, Korea Selatan, atau bahkan Thailand yang memiliki kurang dari sepuluh jenis agro-sistem. Perbedaan mendasar inilah yang menuntut kehati-hatian dalam mengembangkan teknologi pertanian. Menurut Lilik, para akademisi memiliki kontribusi krusial untuk menciptakan solusi yang sesuai dengan kebutuhan lokal, bukan sekadar meniru tanpa adaptasi.

Salah satu area krusial adalah transformasi digital pertanian, khususnya melalui sistem traceability pangan. Lilik menilai ini sebagai kebutuhan mutlak agar konsumen dapat memperoleh informasi lengkap mengenai asal-usul dan kualitas produk yang mereka konsumsi. Masyarakat modern tidak hanya mencari harga atau tanggal kedaluwarsa, tetapi menuntut transparansi penuh “dari lahan ke meja makan,” sebuah indikator perubahan perilaku konsumen yang perlu direspon oleh industri pertanian.

Tantangan produktivitas petani di Indonesia juga menjadi sorotan. Kulaku Indonesia, sebuah usaha di sektor perdagangan kelapa, mengungkapkan bahwa krisis pada tahun 2024 menyoroti rendahnya hasil panen petani kelapa, yang hanya mampu mencapai 100 hingga 200 buah per hektare, padahal potensinya bisa mencapai 1.000 buah. Mustopa Patapa, CEO Kulaku, menyebut rendahnya akses terhadap mekanisasi dan pengetahuan sebagai penyebab utama. Menjawab masalah ini, Kulaku kini mengoperasikan pusat dukungan petani yang menyediakan ekskavator, skema pembiayaan fleksibel, dan pelatihan untuk meningkatkan produktivitas secara signifikan.

Sementara itu, startup KORA yang fokus pada produksi jagung, menyoroti pentingnya teknologi pascapanen untuk menekan kerugian dan meningkatkan nilai tambah. Dengan fasilitas pengeringan canggih yang dilengkapi sensor dan teknologi AI, KORA mampu membeli jagung dari petani dengan harga lebih tinggi sekaligus memenuhi standar kualitas industri pakan yang ketat. CEO KORA, Dian Prayogi, menjelaskan bahwa pendekatan ini memungkinkan petani dan perantara memperoleh margin hingga 24% lebih banyak, sementara industri mendapatkan pasokan berkualitas lebih baik, menciptakan ekosistem rantai pasok pangan yang lebih efisien dan menguntungkan.

Secara keseluruhan, ImpactX 2025 Conference menggarisbawahi bahwa perwujudan ekonomi hijau di sektor pertanian hanya dapat dicapai melalui kolaborasi erat antara petani, industri, akademisi, dan pemerintah. Adaptasi inovasi pertanian, pembiayaan yang inovatif, serta perlindungan nilai sosial budaya diidentifikasi sebagai pilar utama untuk memastikan keberlanjutan pertanian Indonesia, menjadikannya tidak hanya produktif, tetapi juga tangguh dan berdaya saing di masa depan.

Ringkasan

Profesor Lilik Sutiarso dari UGM menjelaskan bahwa Indonesia tidak dapat langsung mengadopsi model pertanian cerdas Jepang atau Korea Selatan karena kompleksitas geografi dan agro-ekologi yang jauh berbeda. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan teknologi pertanian yang kontekstual dan disesuaikan dengan kebutuhan lokal, bukan sekadar peniruan tanpa adaptasi. Selain itu, transformasi digital, terutama melalui sistem ketertelusuran pangan, dinilai krusial untuk memenuhi tuntutan konsumen akan transparansi informasi produk dari lahan ke meja makan.

Tantangan produktivitas petani, seperti rendahnya hasil panen kelapa, diatasi melalui akses terhadap mekanisasi dan pelatihan yang disediakan oleh Kulaku Indonesia. Sementara itu, startup KORA memanfaatkan teknologi pascapanen canggih dengan sensor dan AI untuk meningkatkan nilai tambah jagung dan mengurangi kerugian. Untuk mewujudkan ekonomi hijau di sektor pertanian, kolaborasi erat antara petani, industri, akademisi, dan pemerintah sangatlah penting, didukung oleh inovasi adaptif dan pembiayaan untuk keberlanjutan pertanian Indonesia.

You might also like