Perang Israel-Iran Memanas: IHSG Terancam Rontok Parah!

Img AA1Fv3q4

Langkah agresif Amerika Serikat (AS) telah secara signifikan memperburuk eskalasi ketegangan antara Israel dan Iran, memicu sentimen kekhawatiran yang kini mendominasi arah pasar keuangan global. Kondisi geopolitik yang memanas ini menjadi perhatian utama para pelaku pasar.

Potensi konflik berkepanjangan ini diperkirakan akan merembet ke berbagai sektor pasar, termasuk pasar saham. Analis pasar modal, Hans Kwee, mengamati bahwa aksi jual signifikan di bursa efek dipicu oleh permintaan Presiden AS Donald Trump agar Iran menyerah, yang kemudian ditolak mentah-mentah oleh Ayatollah Ali Khamenei.

Dalam suasana penuh ketidakpastian ini, Hans Kwee menjelaskan, investor secara alami cenderung menghindar dari risiko dan beralih ke aset safe haven, seperti emas dan obligasi pemerintah AS, yang dianggap lebih aman dari gejolak pasar.

Keterlibatan langsung AS dalam konflik Israel-Iran ini, menurut Hans Kwee, secara drastis meningkatkan risiko ketidakpastian pasar global. Agresi tersebut mengisyaratkan potensi konflik yang lebih luas dan berkepanjangan, yang telah mendorong harga minyak mentah naik ke kisaran USD 75-85 per barel.

Ia menambahkan, jika terjadi gangguan pasokan di Selat Hormuz yang strategis, harga minyak berpotensi melonjak tajam hingga USD 120-130 per barel.

Situasi geopolitik yang memanas ini turut memengaruhi dinamika kebijakan moneter global. The Federal Reserve (The Fed) sendiri masih mempertahankan suku bunga acuannya, meskipun dot plot mereka mengindikasikan adanya perpecahan pandangan di antara para anggota, dengan mayoritas memperkirakan tidak akan ada pemotongan suku bunga sepanjang tahun ini.

Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Trisakti tersebut menggarisbawahi bahwa peluang tersisa untuk pemotongan suku bunga sangat bergantung pada perkembangan inflasi yang dipengaruhi oleh tarif baru dan ketegangan geopolitik.

Di tengah guncangan pasar keuangan global, Hans Kwee memproyeksikan bahwa Bank Indonesia (BI) kemungkinan besar akan mempertahankan suku bunga acuannya hingga akhir tahun ini.

Keputusan ini didasari oleh kecenderungan BI untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan nilai tukar Rupiah, khususnya dalam menghadapi tekanan potensi arus modal keluar yang dipicu oleh eskalasi konflik Timur Tengah.

Beralih ke pasar saham domestik, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatat pelemahan signifikan sebesar 1,74 persen, atau turun 120 poin, menuju level 6.787,14 pada perdagangan bursa Senin (23/6). Pelemahan ini terlihat jelas dari 553 saham yang merosot, sementara 272 saham stagnan, dan hanya 135 saham yang menguat.

Hans Kwee memperkirakan bahwa IHSG masih berpotensi melemah dalam jangka pendek, dengan level support di kisaran 6.907 hingga 6.832 dan level resistance di 6.994 hingga 7.115.

Pada pekan ini, perhatian pasar juga akan tertuju pada rilis data inflasi AS, yang diukur melalui indeks Personal Consumption Expenditures (PCE). Indikator kunci ini sangat dicermati oleh The Fed sebagai penentu utama arah kebijakan suku bunga mereka di masa mendatang.

Ringkasan

Ketegangan geopolitik antara Israel dan Iran yang memanas akibat langkah agresif AS telah memicu kekhawatiran signifikan di pasar keuangan global. Analis Hans Kwee mengamati bahwa investor cenderung beralih ke aset safe haven seperti emas dan obligasi pemerintah AS untuk menghindari risiko. Konflik ini juga telah mendorong kenaikan harga minyak mentah, dengan potensi lonjakan tajam jika terjadi gangguan pasokan di Selat Hormuz.

Dampak dari situasi ini terlihat pada pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 1,74% pada perdagangan Senin (23/6), dan IHSG diperkirakan masih berpotensi melemah dalam jangka pendek. Sementara itu, The Federal Reserve (The Fed) dan Bank Indonesia (BI) kemungkinan besar akan mempertahankan suku bunga acuannya hingga akhir tahun ini di tengah ketidakpastian pasar. Perhatian pasar pekan ini juga akan tertuju pada rilis data inflasi Personal Consumption Expenditures (PCE) AS.

You might also like