Pajak Kripto 2024: Skema Baru, Potensi Penerimaan Negara Melonjak!

MNCDUIT.COM JAKARTA — Pemerintah terus menggenjot upaya optimalisasi penerimaan negara dari aktivitas perdagangan aset kripto. Langkah strategis ini ditempuh seiring dengan berlakunya skema perpajakan baru melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 50/2025, yang efektif mulai 1 Agustus 2025.

Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan, Yon Arsal, menegaskan bahwa potensi penerimaan pajak dari transaksi kripto sangat besar. Ia menekankan bahwa struktur tarif final yang kini dirancang lebih sederhana dan jelas akan menjadi kunci utama. “Potensi yang bisa kita peroleh sangat besar dengan tarif yang sederhana, misalnya 0,21%. Nanti tinggal dikalikan saja dengan total transaksi kripto di Indonesia,” ujar Yon dalam media briefing di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Kamis (31/7/2025).

Yon mencontohkan, nilai transaksi aset kripto pada tahun lalu mencapai sekitar Rp620 miliar. Meski demikian, ia meyakini bahwa angka tersebut belum sepenuhnya mencerminkan volume transaksi sebenarnya di lapangan. Oleh karena itu, beleid baru ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum yang lebih kuat dalam memungut potensi pajak dari setiap transaksi aset digital.

Tidak hanya itu, Kementerian Keuangan juga akan terus mempererat koordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang kini memiliki peran sebagai pengawas aset kripto. “Jika nanti OJK memperketat pengawasan transaksi yang masuk skema kripto di dalam negeri, maka kita akan mengenakan tarif 0,21%,” jelas Yon, mengindikasikan keselarasan kebijakan fiskal dengan pengawasan sektor.

Dalam skema perpajakan terbaru ini, pemerintah memperkenalkan perlakuan tarif yang berbeda antara pelaku usaha dalam negeri dan luar negeri. Untuk transaksi yang dilakukan melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalam negeri, besar tarif pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 yang dikenakan adalah sebesar 0,21% dari nilai transaksi. Sebaliknya, transaksi yang dilakukan melalui PPMSE luar negeri akan dikenakan tarif PPh Pasal 22 sebesar 1%.

“Kenapa kita kenakan tarif pemungutannya lebih tinggi untuk PPMSE luar negeri? Justru sebenarnya itu masukan dari industri agar industri kripto dalam negeri tumbuh dan berkembang,” kata Yon, menjelaskan kebijakan yang dirancang untuk mendukung ekosistem kripto domestik. Ke depan, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan akan melakukan evaluasi berkala terhadap tarif dan skema pungutan kripto agar tetap relevan dengan dinamika industri yang terus berkembang.

Perbedaan Skema Pajak Kripto antara Ketentuan Lama (PMK-81/2024) dan Aturan Baru (PMK-50/2025):

1. Penjualan Aset Kripto: Tarif Baru Lebih Terarah

Dalam regulasi sebelumnya, transaksi penjualan kripto dikenakan PPh Pasal 22 Final dengan dua skema: 0,1% untuk platform yang terdaftar di Bappebti dan 0,2% bagi yang tidak. Di bawah PMK terbaru, pemerintah menyederhanakan dan menyeragamkan skema pemajakan. Untuk transaksi di dalam negeri, tarif PPh Pasal 22 ditetapkan sebesar 0,21% dan dipungut langsung oleh platform perdagangan dalam negeri yang ditunjuk sebagai PPMSE dalam negeri. Sementara itu, transaksi melalui platform luar negeri dikenakan tarif lebih tinggi, yakni 1%. Pungutan dilakukan oleh PPMSE luar negeri atau disetorkan sendiri oleh pengguna. Kebijakan ini dinilai sebagai langkah strategis untuk mendorong pertumbuhan ekosistem kripto domestik dengan membuat perdagangan luar negeri menjadi relatif lebih mahal.

2. Pembelian Kripto Kini Bebas PPNImg AA1JG4bl

Perubahan mencolok lainnya terlihat pada aspek pembelian. Jika sebelumnya pembeli dikenakan PPN sebesar 0,11% hingga 0,22% tergantung status platform, kini pembelian aset kripto sepenuhnya dibebaskan dari PPN. Hal ini sejalan dengan pendekatan baru pemerintah yang menyetarakan aset kripto dengan surat berharga, sehingga tidak lagi menjadi objek PPN.

3. Jasa Platform Tak Banyak Berubah

Untuk penyedia jasa platform, aturan pajak tetap mengacu pada ketentuan umum. Baik dalam PMK lama maupun baru, jasa platform dikenai PPN sesuai regulasi berlaku dan PPh dengan skema tarif progresif Pasal 17. Tidak ada pemajakan final yang berlaku di sini, memastikan perlakuan yang konsisten.

4. Aktivitas Mining Diperketat

Kegiatan penambangan (mining) kripto turut mengalami penyesuaian signifikan. Tarif PPN dinaikkan dari sebelumnya 1,1% menjadi 2,2%. Selain itu, jika sebelumnya penambangan dikenai PPh final sebesar 0,1%, kini pelaku mining harus membayar PPh sesuai tarif umum Pasal 17, tergantung penghasilan yang diperoleh. Ini mencerminkan pendekatan fiskal yang lebih komprehensif terhadap aktivitas penambangan sebagai usaha komersial.

5. Perluasan Peran Pemungut Pajak bagi Platform Luar Negeri

Penunjukan platform luar negeri sebagai pemungut pajak juga disesuaikan. Bila sebelumnya mereka hanya ditetapkan sebagai pemungut PPN, kini mereka juga akan ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 sesuai dengan keputusan Direktur Jenderal Pajak. Penunjukan ini akan mempertimbangkan kriteria administratif dan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen), memperkuat mekanisme pengawasan dan pemungutan pajak secara menyeluruh.

Ringkasan

Pemerintah akan memberlakukan skema perpajakan baru atas aktivitas perdagangan aset kripto melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 50/2025 yang efektif mulai 1 Agustus 2025. Kebijakan ini bertujuan mengoptimalkan penerimaan negara dengan potensi besar melalui struktur tarif final yang lebih sederhana. Untuk transaksi melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalam negeri, tarif PPh Pasal 22 ditetapkan sebesar 0,21%, sementara PPMSE luar negeri dikenakan tarif 1%, guna mendukung pertumbuhan industri kripto domestik. Pemerintah juga terus berkoordinasi dengan OJK yang kini mengawasi aset kripto.

Dalam skema baru ini, penjualan kripto dikenakan PPh Pasal 22 final dengan tarif terarah, sedangkan pembelian aset kripto kini sepenuhnya dibebaskan dari PPN. Namun, aktivitas penambangan (mining) kripto mengalami penyesuaian signifikan dengan kenaikan tarif PPN menjadi 2,2% dan pengenaan PPh sesuai tarif umum Pasal 17. Selain itu, peran platform luar negeri diperluas sebagai pemungut PPh Pasal 22 di samping PPN, memperkuat mekanisme pengawasan dan pemungutan pajak secara menyeluruh.

You might also like