Obligasi Pemerintah 2026: Peluang Investasi atau Risiko Tersembunyi?

Img AAY1Xrg

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Prospek pasar obligasi pemerintah di tahun 2026 diproyeksikan akan menunjukkan penguatan, meskipun dengan ruang pertumbuhan yang cenderung terbatas. Penilaian ini disampaikan oleh Global Market Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, yang melihat adanya faktor-faktor pembatas signifikan.

Menurut Myrdal, keterbatasan ruang penguatan pasar surat utang negara (SUN) tersebut utamanya disebabkan oleh estimasi penurunan suku bunga Bank Indonesia (BI rate) yang kemungkinan tidak akan terlalu agresif pada tahun depan. Ia memperkirakan, BI rate hanya akan turun sekitar 50 basis poin pada tahun 2026. Angka ini jauh lebih konservatif dibandingkan estimasi penurunan suku bunga tahun ini yang berada di kisaran 125 hingga 150 basis poin.

Myrdal juga menyoroti potensi risiko jika imbal hasil (yield) obligasi domestik mengalami penurunan terlalu dalam. Hal ini dapat memicu arus keluar investor asing yang agresif dan meningkatkan potensi aksi ambil untung (profit taking) yang signifikan. “Dari sisi permintaan lokal sebenarnya masih bagus, tapi kalau tidak ada pendukung dari asing ya repot juga,” kata Myrdal kepada Kontan, Jumat (7/11), menegaskan pentingnya peran investor global dalam menjaga stabilitas pasar.

Lebih lanjut, ia mengamati kebijakan pemerintah yang tidak terlalu agresif dalam menambah utang melalui penerbitan surat utang negara (SUN). Kementerian Keuangan di bawah kepemimpinan Menteri Purbaya dinilai tidak terlalu mengandalkan pembiayaan dari utang. Indikasinya terlihat dari target lelang SUN konvensional yang hanya sekitar Rp 23 triliun, lebih rendah dari era sebelumnya yang mencapai Rp 27 triliun hingga Rp 30 triliun. Demikian pula, target untuk surat berharga syariah negara (SBSN) juga diturunkan menjadi sekitar Rp 7 triliun dari sebelumnya Rp 9 triliun.

Dari sisi imbal hasil, Myrdal memproyeksikan yield SUN tahun depan akan bergerak dalam rentang 5,9% hingga 6,7%. “Asumsi APBN kan sekitar 6,7%, itu batas atasnya. Untuk batas bawahnya kalau ada penurunan suku bunga BI paling ke 5,9% untuk yield SUN,” tambahnya. Ia juga mengingatkan bahwa meskipun The Fed berpotensi menurunkan suku bunga acuan, yield US Treasury masih bertahan di sekitar 4%, sehingga daya tarik yield domestik perlu tetap dijaga agar kompetitif.

Khusus untuk awal tahun depan, Myrdal memproyeksikan yield SUN masih akan berada di rentang 5,9% hingga 6,2%. Proyeksi ini didukung oleh adanya kebijakan front loading activities di mana pemerintah cenderung agresif menerbitkan surat utang di awal tahun. “Apalagi awal tahun depan ada agenda besar seperti Lebaran dan itu pemerintah butuh cash untuk membayar gaji, Tunjangan Hari Raya, maupun program pemerintah di awal tahun,” jelas Myrdal, menguraikan kebutuhan likuiditas pemerintah.

Dihubungi secara terpisah, Kepala Ekonom BCA, David Sumual, turut memberikan pandangannya. Ia menilai peningkatan net issuance berpotensi menjadi faktor risiko bagi pasar Surat Berharga Negara (SBN) pada tahun depan. Meskipun demikian, David memperkirakan yield SBN akan cenderung stabil, didukung oleh prospek penurunan suku bunga Bank Indonesia maupun suku bunga global yang dapat mendorong minat investor asing untuk kembali ke pasar domestik.

David juga menjelaskan bahwa peningkatan supply SBN yang lebih tinggi di tahun 2026 akan menetralkan efek penurunan suku bunga acuan terhadap yield SBN. “Mempertimbangkan faktor pendorong dan penahan tersebut, yield SBN kemungkinan bertahan di rentang 6,1%-6,5% di awal tahun depan,” jelas David kepada Kontan, Jumat (7/11).

Lebih lanjut, David menilai obligasi rupiah masih menjadi instrumen investasi yang menarik, meskipun kekhawatiran terhadap postur fiskal pemerintah di jangka menengah panjang saat ini sedikit menekan minat investor asing. “Dengan demikian, persepsi atas manajemen fiskal pemerintah menjadi faktor X yang dapat membantu penurunan suku bunga acuan dalam menjaga stabilitas yield SBN di tengah kenaikan net issuance,” tutur David, menekankan pentingnya kepercayaan investor terhadap kebijakan fiskal.

Strategi Investasi

Terkait strategi investasi di pasar obligasi pemerintah, Myrdal menilai investor dapat fokus pada obligasi bertenor pendek dan seri benchmark yang likuid. Ia menyarankan investor untuk memanfaatkan momentum untuk trading. “Kalau dari sisi strategi, investor harus ambil momentum bila ingin trading di mana melakukan aksi buy on weakness, misalkan yield tenor 10 tahun sudah menyentuh level 6,5% ke atas investor bisa melakukan aksi beli. Nanti ketika penurunan suku bunga terjadi mereka baru jual, lalu ketika ada momentum melemah lagi investor bisa masuk lagi,” terangnya, menawarkan panduan praktis.

Myrdal menyimpulkan, meskipun ruang gerak pasar obligasi cenderung terbatas, prospeknya tetap menarik sejalan dengan proyeksi perbaikan ekonomi nasional tahun depan. “Pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 5,1%, dan seharusnya ini menjadi pijakan bagi investor dalam menilai prospek ekonomi domestik dan prospek investasi di SUN,” pungkas Myrdal, memberikan optimisme jangka panjang bagi para investor.

Ringkasan

Prospek pasar obligasi pemerintah di tahun 2026 diproyeksikan akan menguat, namun dengan ruang pertumbuhan yang terbatas. Global Market Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, mengindikasikan keterbatasan ini disebabkan oleh estimasi penurunan suku bunga Bank Indonesia yang tidak terlalu agresif, hanya sekitar 50 basis poin. Ia juga menyoroti risiko arus keluar investor asing jika imbal hasil obligasi domestik turun terlalu dalam, mengingat pemerintah tidak terlalu agresif dalam menambah utang.

Myrdal memproyeksikan imbal hasil SUN tahun depan akan bergerak di rentang 5,9% hingga 6,7%. Sementara itu, Kepala Ekonom BCA David Sumual memperkirakan imbal hasil SBN cenderung stabil di 6,1%-6,5% pada awal tahun, didukung penurunan suku bunga namun dinetralkan oleh peningkatan suplai SBN. David menilai obligasi rupiah tetap menarik, meskipun kekhawatiran postur fiskal dapat menekan minat asing, dan menyarankan investor memanfaatkan momentum trading.

You might also like