MNCDUIT.COM JAKARTA. Industri nikel kembali menghadapi tantangan seiring dengan tren penurunan harga komoditas nikel dalam beberapa waktu terakhir. Kondisi ini tentu menjadi perhatian bagi emiten-emiten produsen nikel.
Menurut data dari Trading Economics, harga bijih nikel dunia berada di level US$ 14.502 per ton pada Kamis (20/11) pukul 18.45 WIB. Angka ini menunjukkan penurunan sebesar 0,94% dibandingkan hari sebelumnya. Dalam sebulan terakhir, harga nikel telah terkikis 4,70%, dan sejak awal tahun, penurunannya mencapai 5,26% secara year to date (ytd).
Penurunan harga nikel ini turut memengaruhi kinerja saham sejumlah emiten nikel di Bursa Efek Indonesia. Tercatat, harga saham PT Vale Indonesia Tbk (INCO) merosot 10,77% ke level Rp 3.810 per saham hingga Kamis (20/11/2025). Selain INCO, saham PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) juga mengalami penurunan signifikan sebesar 20,41% ke level Rp 975 per saham.
Saham PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA) turut melemah 2,59% ke level Rp 565 per saham dalam sebulan terakhir. Begitu pula dengan saham PT Central Omega Resources Tbk (DKFT) yang melemah 10,49% ke level Rp 725 per saham. Sementara itu, saham PT PAM Mineral Tbk (NICL) terkoreksi 0,47% ke level Rp 1.060 per saham.
Timah (TINS) Optimistis Penuhi Target Produksi Tahun Ini, Simak Rekomendasi Sahamnya
Analis Fundamental BRI Danareksa Sekuritas, Abida Massi Armand, menjelaskan bahwa koreksi harga nikel yang terjadi saat ini merupakan imbas dari kelebihan pasokan (oversupply) di pasar global. Lonjakan produksi nikel kelas II, seperti NPI dan feronikel dari Indonesia, menjadi penyebab utama kondisi ini. Indonesia kini menyumbang lebih dari 60% dari total produksi nikel dunia.
“Kelebihan pasokan ini diperparah oleh lemahnya permintaan global, terutama dari industri baja nirkarat di China, yang tidak sejalan dengan laju produksi di Indonesia,” ungkap Abida pada Kamis (20/11/2025).
Kondisi ini menciptakan sentimen negatif yang berpotensi mengganggu kinerja emiten, terutama yang masih berfokus pada produk tradisional seperti nikel matte atau feronikel. Penurunan harga nikel juga dapat menghambat kelangsungan ekspansi hilirisasi, terutama bagi proyek smelter yang membutuhkan investasi besar.
Prospek kinerja emiten produsen nikel pada tahun 2026 diperkirakan masih akan menantang, mengingat pasokan nikel global diperkirakan masih akan surplus sekitar 0,26 juta ton. Meskipun demikian, beberapa analis memprediksi adanya normalisasi harga nikel pada sisa tahun 2025 seiring dengan pemulihan permintaan dari China.
“Namun, pemulihan harga yang signifikan diperkirakan akan terbatas selama surplus pasokan dari Indonesia terus mendominasi pasar global,” imbuh Abida.
Di sisi lain, percepatan adopsi kendaraan listrik global menjadi sentimen positif utama yang berpotensi mengangkat kinerja emiten nikel. Pertumbuhan konsumsi baterai kendaraan listrik akan menjadi katalis jangka panjang yang kuat, meningkatkan permintaan untuk nikel kelas I seperti MHP dan nikel sulfat, serta menjamin pasar bagi produk hilirisasi Indonesia.
Secara umum, emiten nikel perlu memperkuat strategi efisiensi biaya operasional dan mempertahankan status sebagai produsen berbiaya rendah dengan menekan cash cost secara intensif. Selain itu, diversifikasi produk ke produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi juga menjadi kunci.
Hadapi Tekanan Margin, Begini Proyeksi Kinerja XLSmart Telecom (EXCL) ke Depan
Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, menambahkan bahwa nikel tetap memegang peranan penting sebagai mineral strategis yang banyak digunakan dalam industri kendaraan listrik dan baja nirkarat. Oleh karena itu, emiten-emiten produsen nikel memiliki prospek fundamental yang menjanjikan dalam jangka panjang.
Nafan berharap proyek-proyek hilirisasi emiten nikel tetap berjalan, terlepas dari fluktuasi harga komoditas di pasar global. Kemampuan emiten dalam menghasilkan produk bernilai tambah akan menjadi faktor krusial dalam mencapai pertumbuhan kinerja jangka panjang.
“Ketika harga nikel mengalami pemulihan, emiten yang telah melakukan ekspansi bisnis ke hilirisasi akan mendapatkan manfaat besar dari peningkatan average selling price (ASP),” ungkap Nafan, Kamis (20/11/2025).
Dari sekian banyak emiten produsen nikel, Nafan merekomendasikan akumulasi beli saham MBMA dengan target harga Rp 760 per saham.
Sementara itu, Abida merekomendasikan beli saham NCKL dengan target harga di kisaran Rp 1.300 per saham, dengan pertimbangan kinerja labanya yang tetap tumbuh di tengah krisis dan fokusnya pada produk intermediate baterai.
Selain itu, saham INCO juga disarankan untuk dibeli dengan target harga Rp 4.700 per saham, mengingat peluang masuk pada valuasi yang lebih menarik dan potensi kenaikan harga saham yang signifikan berkat kemajuan proyek smelter.
Harga nikel dunia mengalami penurunan signifikan yang mempengaruhi kinerja saham emiten nikel di Bursa Efek Indonesia, seperti INCO, NCKL, MBMA, DKFT, dan NICL. Penurunan ini disebabkan oleh kelebihan pasokan global akibat lonjakan produksi nikel kelas II dari Indonesia, yang tidak diimbangi dengan permintaan global yang kuat, terutama dari industri baja nirkarat di China.
Meskipun menghadapi tantangan jangka pendek, nikel tetap menjadi mineral strategis penting bagi industri kendaraan listrik dan baja nirkarat. Analis merekomendasikan akumulasi beli saham MBMA dan NCKL, serta beli saham INCO, dengan mempertimbangkan potensi pertumbuhan hilirisasi dan valuasi yang menarik. Emiten diharapkan fokus pada efisiensi biaya dan diversifikasi produk untuk menghadapi fluktuasi harga dan meningkatkan nilai tambah.