
Kuasa hukum Nadiem Makarim, Hotman Paris Hutapea, membantah tudingan bahwa kliennya menerima aliran dana terkait proyek pengadaan laptop Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Bantahan ini muncul setelah Kejaksaan Agung menetapkan Nadiem Makarim sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi program digitalisasi pendidikan tahun 2019-2022.
“Tidak ada sepeser pun uang yang masuk dari siapa pun kepada Nadiem terkait jual beli laptop,” tegas Hotman, Jumat (5/8).
Hotman menyamakan penetapan tersangka Nadiem dengan kasus yang menimpa Tom Lembong terkait impor gula, di mana keduanya dituduh terlibat meskipun tidak menerima aliran dana. Ia juga menanggapi pernyataan Kejagung mengenai pertemuan Nadiem dengan Google Indonesia yang disebut menyepakati penggunaan Chromebook dalam proyek pengadaan alat TIK.
Menurut Hotman, pertemuan tersebut adalah hal yang wajar. Ia menekankan bahwa Nadiem tidak pernah menyetujui penggunaan Chromebook secara spesifik. “Pak Nadiem tidak pernah menyepakati. Yang jual laptop itu kan vendor, bukan Google. Google hanya sistemnya saja dari Google. Kalau laptopnya dari vendor. Vendornya perusahaan Indonesia,” jelasnya.
Duduk Perkara Nadiem Makarim Jadi Tersangka Dugaan Korupsi Chromebook
Penetapan Nadiem Makarim sebagai tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook pada Kamis (5/9) lalu, tentu mengundang perhatian publik. Kasus ini bermula dari pengadaan laptop di Kemendikbudristek pada tahun 2019-2022.
Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung, Nurcahyo Jungkung Madyo, menjelaskan bahwa pada tahun 2020, Nadiem Makarim, yang saat itu menjabat sebagai Mendikbudristek, bertemu dengan perwakilan Google Indonesia untuk membahas program “Google for Education” yang menggunakan Chromebook.
Dari beberapa pertemuan tersebut, disepakati bahwa produk Google, yaitu Chrome OS dan Chrome Devices Management (CDM), akan digunakan dalam proyek pengadaan alat TIK.
Untuk merealisasikan kesepakatan tersebut, pada 6 Mei 2020, Nadiem mengundang jajarannya, termasuk Dirjen Paud Dikdasmen (H), Kepala Badan Litbang Kemendikbudristek (T), serta Staf Khusus Menteri JT (Jurist Tan) dan FH (Fiona Handayani), dalam rapat tertutup melalui Zoom. Nurcahyo menyebutkan bahwa peserta rapat diwajibkan menggunakan headset.
“(Rapat) yang membahas pengadaan alat TIK menggunakan chromebook sebagaimana perintah dari NAM (Nadiem Makarim), sedangkan saat itu pengadaan alat TIK belum dimulai,” ungkap Nurcahyo.
Lebih lanjut, pada awal tahun 2020, Nadiem Makarim merespons surat dari Google terkait partisipasi dalam pengadaan alat TIK di Kemendikbudristek. Padahal, surat yang sama sebelumnya tidak direspon oleh Menteri Pendidikan sebelumnya, Muhadjir Effendy.
“(Muhadjir Effendy) tidak merespons karena uji coba pengadaan Chromebook tahun 2019 telah gagal dan tidak bisa dipakai untuk Sekolah Garis Terluar (SGT) atau daerah terluar, tertinggal, terdepan (3T),” lanjut Nurcahyo.
Atas perintah Nadiem, tersangka SW (Sri Wahyuningsih) selaku Direktur PAUD dan tersangka MUL (Mulyatsyah) selaku Direktur SMP Direktorat PAUD Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek Tahun 2020-2021, membuat petunjuk teknis dan pelaksanaan yang spesifikasinya mengarah pada Chrome OS.
“Selanjutnya, tim teknis membuat kajian review teknis yang dijadikan spesifikasi teknis dengan menyebut Chrome OS,” imbuh Nurcahyo.
Puncaknya, pada Februari 2021, Nadiem Makarim menerbitkan Permendikbud Nomor 5 Tahun 2021 tentang Petunjuk Operasional Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Reguler Bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2021, yang dalam lampirannya secara spesifik mengunci spesifikasi Chrome OS.
Akibat pengadaan alat TIK tersebut, kerugian negara diperkirakan mencapai Rp1,98 triliun dan saat ini masih dalam penghitungan lebih lanjut oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).