Menko Airlangga Pastikan Burden Sharing BI dan Kemenkeu Dalam Bentuk Tingkat Suku Bunga SBN

Img AA1JczB2

MNCDUIT.COM – Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto memastikan bahwa Burden Sharing atau kesepakatan berbagi beban upaya stabilitas keuangan negara antara Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) hanya dilakukan dalam bentuk pembagian tingkat suku bunga dalam Surat Berharga Nasional (SBN) yang telah diterbitkan.

“Terkait dengan burden sharing nanti BI dengan Menteri Keuangan, tetapi yang di burden sharing-kan itu bukan dalam bentuk issuance (penerbitan SBN-nya), tetapi dalam bentuk tingkat suku bunganya. Jadi sharing di bunga,” kata Airlangga di Kantornya, Senin (8/9).

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) semakin agresif memperkuat dukungan pembiayaan pemerintah melalui pembelian surat berharga negara (SBN). Hingga awal September 2025, nilai pembelian SBN oleh bank sentral telah menembus Rp 200 triliun, sebagian diarahkan untuk program kerakyatan dalam Asta Cita, mulai dari perumahan rakyat hingga koperasi desa.

Gubernur BI Perry Warjiyo melaporkan, pembelian tersebut juga mencakup skema debt switching.

“Kami update dan (sampai) kemarin kami telah membeli SBN sebesar Rp 200 triliun, data terbaru kemarin termasuk untuk debt switching,” ujar Perry dalam rapat virtual bersama DPD, Selasa (2/9).

Balas Serangan, Ukraina Gantian Hantam Infrastruktur Energi Rusia dan Eropa Tengah

Selain membeli SBN, BI memperkuat kerja sama burden sharing dengan pemerintah dalam pembagian beban bunga utang, kebijakan yang pertama kali diterapkan pada masa pandemi Covid-19.

Bank sentral juga menyalurkan insentif likuiditas makroprudensial senilai Rp 384 triliun untuk mendorong kredit perbankan ke sektor prioritas, seperti pertanian, UMKM, perumahan dan ekonomi inklusif.

Namun, ekonom mengingatkan tiga risiko besar yang mengiringi kebijakan ekspansif tersebut. Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M. Rizal Taufikurahman, menilai langkah BI dapat menimbulkan persepsi negatif atas independensi moneter.

“Hal ini dapat menimbulkan persepsi bahwa instrumen moneter tidak lagi independen, sehingga berpotensi menurunkan kepercayaan investor terhadap stabilitas jangka panjang,” ujarnya, Rabu (3/9).

Risiko kedua, pembelian masif SBN memang menekan yield obligasi, tetapi berpotensi mengurangi kedalaman pasar. Investor swasta maupun asing dikhawatirkan menahan diri akibat pasar yang dianggap kurang likuid. “Bahkan, muncul potensi arus modal asing keluar lebih besar karena investor global khawatir pasar tidak likuid,” kata Rizal.

Adapun risiko ketiga, lonjakan likuiditas bisa melonggarkan kebijakan moneter. Tanpa sterilisasi yang seimbang, tekanan inflasi dan pelemahan rupiah dapat terjadi lebih cepat. “Dengan kata lain, kebijakan ini memberi short-term gain berupa ruang fiskal, tapi membawa long-term risk pada kredibilitas moneter, kedalaman pasar dan stabilitas harga,” tegasnya.

You might also like