LQ45 Terjungkal! BBCA, ADRO & Saham Jumbo Lainnya Rontok di 2025

MNCDUIT.COM , JAKARTA — Indeks LQ45, yang menghimpun 45 emiten berkapitalisasi pasar terbesar dan paling likuid di Bursa Efek Indonesia, menunjukkan kinerja yang kurang memuaskan pada semester I/2025. Deretan saham blue chip seperti BBCA, BMRI, dan ADRO justru menjadi penekan utama kinerja indeks.

Berdasarkan data resmi dari Bursa Efek Indonesia (BEI), Indeks LQ45 tercatat melemah 6,78% sepanjang tahun berjalan (year to date/ytd) hingga akhir paruh pertama 2025, menempatkannya di zona merah pada level 770,57. Penurunan signifikan ini menggambarkan tekanan pasar yang membayangi saham-saham unggulan.Img AA1HCt2M

Kinerja lesu indeks tak lepas dari koreksi tajam pada sejumlah saham penyusunnya, terutama dari sektor perbankan. Saham-saham bank raksasa yang menjadi tulang punggung indeks LQ45 kompak melemah sepanjang semester pertama 2025.

Ambil contoh PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), harganya anjlok 10,59% menjadi Rp8.650. Demikian pula PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BBRI) yang merosot 6,13% ke Rp3.830 per lembar, serta PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI) yang kehilangan 11,84% nilainya, berakhir di Rp5.025 per lembar.

Koreksi serupa juga melanda emiten non-bank. Saham PT Adaro Energy Indonesia Tbk. (ADRO) terpangkas signifikan 26,34% menjadi Rp1.790 per lembar. Sementara itu, PT Astra International Tbk. (ASII) terkoreksi 9,18% ke Rp4.450 per lembar, dan PT Unilever Indonesia Tbk. (UNVR) merosot drastis 22,55% hingga mencapai level Rp1.460 per lembar.

Menanggapi kondisi ini, Head of Research Kiwoom Sekuritas, Liza Camelia Suryanata, menjelaskan bahwa saham-saham yang tergabung dalam Indeks LQ45 memang cenderung tertinggal performanya sepanjang paruh pertama 2025. Salah satu pemicu utama adalah maraknya arus keluar dana investor asing atau capital outflow dari emiten-emiten tersebut. “Ketika terjadi arus keluar atau capital outflow, tekanan langsung terasa pada harga saham,” tegas Liza.

Selain itu, Liza menambahkan bahwa valuasi sebagian saham blue chip ini sudah mencapai level premium, membatasi ruang kenaikan harga. Pemulihan signifikan hanya bisa terjadi jika ada katalis kuat seperti penurunan suku bunga atau publikasi kinerja keuangan kuartalan yang melampaui ekspektasi. “Ke depan, saat sentimen global mulai tenang dan dana asing kembali masuk, saham-saham LQ45 punya peluang rebound,” prediksinya.

Senada dengan pandangan tersebut, Community & Retail Equity Analyst Lead PT Indo Premier Sekuritas, Angga Septianus, turut mengemukakan bahwa kelesuan Indeks LQ45 didorong oleh belum pulihnya konstituen saham-saham berkapitalisasi besar. “Lesunya saham-saham dalam indeks LQ45 tentunya karena kondisi perang dagang yang belum stabil terkait tarif pada kuartal I/2025 dan kuartal II/2025 diiringi aksi jual investor asing,” jelas Angga, menggarisbawahi dampak konflik global dan tekanan jual asing.

Meskipun dihantam berbagai tekanan, kedua analis sepakat bahwa Indeks LQ45 masih memiliki peluang pemulihan di masa depan. Liza dan Angga menyoroti beberapa sentimen penting yang patut dicermati. Progres negosiasi tarif antara Amerika Serikat dan China, serta keputusan suku bunga acuan oleh Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed), akan menjadi katalis utama yang berpotensi mendorong kembali masuknya dana asing dan memicu kenaikan harga saham-saham unggulan di Indeks LQ45.

Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.

Ringkasan

Indeks LQ45 menunjukkan kinerja yang kurang memuaskan pada semester I/2025, tercatat melemah 6,78% sepanjang tahun berjalan hingga level 770,57. Penurunan signifikan ini didorong oleh koreksi tajam pada saham-saham blue chip berkapitalisasi besar seperti BBCA, BMRI, BBRI, ADRO, ASII, dan UNVR. Saham-saham jumbo ini menjadi penekan utama kinerja indeks sepanjang paruh pertama tahun ini.

Menurut para analis, kinerja lesu Indeks LQ45 disebabkan oleh maraknya arus keluar dana investor asing dan valuasi sebagian saham yang sudah mencapai level premium. Kondisi perang dagang yang belum stabil juga turut berkontribusi pada tekanan jual. Meskipun demikian, Indeks LQ45 masih memiliki peluang pemulihan di masa depan, dengan sentimen positif dari negosiasi tarif AS-China dan keputusan suku bunga The Fed sebagai katalis utama.

You might also like