
MNCDUIT.COM , JAKARTA — Tren penawaran saham perdana atau Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan perlambatan signifikan pada semester I/2025 jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Fenomena ini dipengaruhi oleh sejumlah tantangan, baik dari dinamika global maupun dari sisi regulasi di pasar modal domestik.
Berdasarkan data resmi BEI, hanya 14 emiten baru yang berhasil melantai di Bursa sepanjang Januari hingga Juni 2025. Angka ini masih jauh dari target BEI untuk mencatat 66 perusahaan baru sepanjang tahun ini. Meskipun demikian, total dana segar yang berhasil dihimpun melalui IPO mencapai Rp7,01 triliun.
Jumlah perusahaan yang melakukan IPO pada paruh pertama 2025 memang relatif lebih rendah dibandingkan semester I/2024, di mana tercatat ada 25 emiten yang melepas saham perdananya ke publik. Namun, secara nilai, raupan dana IPO pada semester I/2025 justru mengalami peningkatan yang mencolok, mengingat pada semester I/2024, dana yang terkumpul dari IPO hanya mencapai Rp3,95 triliun. Saat ini, BEI masih memiliki pipeline IPO yang berisi 20 calon emiten.
Associate Director Pilarmas Investindo, Maximilianus Nicodemus, menjelaskan bahwa penurunan kuantitas IPO ini tidak lepas dari seleksi yang semakin ketat oleh regulator, yakni Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan BEI. Ia menilai, kondisi ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, di mana proses seleksi IPO cenderung lebih longgar. Nicodemus berharap, meskipun jumlah emiten baru sedikit, kualitasnya akan meningkat. Hal ini, menurutnya, berpotensi besar untuk memikat minat pelaku pasar modal dan investor untuk berinvestasi.
“Apabila saham yang melantai di Bursa memiliki fundamental kuat dan prospek yang menarik, tentu akan membuat pelaku pasar dan investor juga masuk berinvestasi,” ujar Nicodemus kepada Bisnis pada Selasa (1/7/2025), menggarisbawahi pentingnya aspek kualitas.
Di sisi lain, minimnya kuantitas perusahaan yang melakukan IPO juga diakibatkan oleh situasi dan kondisi global yang penuh ketidakpastian. Banyak perusahaan cenderung menahan diri untuk ekspansi melalui IPO dan memilih strategi wait and see. Nicodemus memproyeksikan, pada paruh kedua 2025, tantangan global akan mereda, yang diharapkan mendorong perusahaan untuk kembali berekspansi, termasuk mempertimbangkan opsi meraup dana melalui IPO. Proyeksi penurunan suku bunga acuan global pada paruh kedua 2025 juga diperkirakan akan menjadi katalisator bagi lahirnya aksi IPO.
Senada, VP Marketing, Strategy, and Planning Kiwoom Sekuritas Indonesia, Oktavianus Audi, menilai bahwa minimnya aksi IPO pada paruh pertama 2025 terjadi di tengah kondisi pasar yang menantang. Terdapat sentimen likuiditas yang terbatas, seiring dengan kebijakan Federal Reserve (The Fed) yang belum menurunkan suku bunga acuannya, memicu capital outflow. Sentimen negatif ini diperburuk oleh berbagai data baik dari dalam maupun luar negeri, seperti deflasi bulanan, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang berada di bawah 5% pada kuartal I/2025, hingga depresiasi rupiah yang terus berlanjut. Selain itu, tensi geopolitik di Timur Tengah dan kebijakan tarif yang diterapkan Amerika Serikat cenderung membuat investor bersikap hati-hati dan lebih selektif dalam memilih sektor investasi.
Untuk paruh kedua 2025, Audi memperkirakan gairah IPO mungkin saja meningkat. Namun, ia memprediksi bahwa IPO berskala besar masih akan didominasi oleh konglomerasi, bukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pertimbangannya, pasca-terbentuknya sovereign wealth fund (SWF) Danantara, pengelolaan aset BUMN kini diambil alih, sehingga pada tahun ini Danantara akan lebih berfokus pada restrukturisasi BUMN.
Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia, Budi Frensidy, menambahkan bahwa sepinya aksi IPO pada 2025 didorong oleh kondisi pasar yang sedang tidak dalam fase bullish. Meskipun demikian, ia menyoroti fakta bahwa meskipun jumlah IPO berkurang, nilai raupan dana justru meningkat, yang menandakan kehadiran emiten-emiten besar dan berkualitas. Budi Frensidy meyakini bahwa tren jumlah IPO yang sepi ini akan terus berlanjut pada paruh kedua 2025, didorong oleh seleksi ketat yang pada akhirnya mendorong lahirnya emiten-emiten yang lebih berkualitas.
“Saya pikir semester II/2025 ini masih tidak berbeda dengan semester I/2025 yaitu sekitar belasan saja [jumlah IPO]. Yang penting dikejar adalah kualitas emiten baru, bukan kuantitas seperti tahun lalu,” tegas Budi kepada Bisnis pada Selasa (1/7/2025), menekankan pergeseran fokus dari jumlah ke mutu dalam lanskap IPO di Indonesia.
Penawaran saham perdana (IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada semester I/2025 menunjukkan perlambatan signifikan dengan hanya 14 emiten baru yang melantai. Jumlah ini jauh dari target tahunan BEI, meskipun total dana yang berhasil dihimpun mencapai Rp7,01 triliun, lebih tinggi dibandingkan Rp3,95 triliun dari 25 emiten pada periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan kuantitas IPO ini utamanya disebabkan oleh seleksi yang semakin ketat oleh regulator, yaitu OJK dan BEI, yang kini mengutamakan kualitas emiten.
Selain seleksi ketat, minimnya aksi IPO juga dipengaruhi oleh kondisi global yang penuh ketidakpastian, seperti kebijakan suku bunga Federal Reserve dan sentimen likuiditas terbatas di pasar. Faktor lain meliputi kondisi pasar yang tidak dalam fase bullish, data domestik yang menantang, serta tensi geopolitik yang membuat investor berhati-hati. Meskipun gairah IPO diperkirakan bisa meningkat di paruh kedua 2025 seiring meredanya tantangan global, fokus pada kualitas emiten akan tetap berlanjut, dengan IPO berskala besar kemungkinan didominasi oleh konglomerasi.