
MNCDUIT.COM JAKARTA. Semester II-2025 diproyeksikan masih akan diselimuti ketidakpastian, terutama yang bersumber dari risiko eksternal. Namun, seiring munculnya sinyal de-eskalasi konflik global dan potensi perubahan arah kebijakan moneter The Fed yang lebih dovish, sebuah celah untuk stabilisasi pasar mulai terbuka. Analisis ini diungkapkan oleh Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, yang menyoroti dinamika krusial bagi pasar keuangan Indonesia.
Josua Pardede menjelaskan bahwa sentimen ketidakpastian global diperkirakan akan berlanjut di paruh kedua tahun ini, meskipun dengan intensitas yang mungkin berkurang. Faktor-faktor dominan seperti ketegangan geopolitik antara Israel dan Iran, potensi penerapan kembali tarif dagang AS (“Trump tariffs”), serta proyeksi pertumbuhan global yang masih lesu, tetap menjadi bayang-bayang yang membayangi prospek investasi. Namun, beberapa perkembangan terkini membawa harapan meredanya tekanan yang signifikan.
Salah satu perkembangan positif adalah de-eskalasi konflik Israel–Iran, menyusul pengumuman kesepakatan gencatan senjata pada 24 Juni 2025. “Meskipun implementasinya belum sepenuhnya tuntas, risiko ekstrem seperti penutupan Selat Hormuz telah berkurang drastis, sehingga mendorong penurunan harga minyak dari puncaknya di atas US$ 77 menjadi sekitar US$ 68 – US$ 70 per barel,” ujar Josua kepada Kontan.co.id pada Rabu (25/6). Penurunan harga minyak ini tentu menjadi angin segar bagi stabilitas ekonomi global.
Di sisi kebijakan moneter global, peluang pemangkasan suku bunga The Fed pada Juli 2025 semakin menguat setelah pernyataan dovish dari Gubernur Bowman. Kebijakan ini berpotensi menenangkan pasar keuangan global dan memperkuat arus modal ke negara-negara berkembang (emerging markets) seperti Indonesia. Kendati demikian, risiko dari tarif dagang AS masih menjadi faktor ketidakpastian utama. Josua menegaskan bahwa potensi tarif ini dapat menekan perdagangan global, memicu stagflasi, dan meningkatkan volatilitas pasar secara keseluruhan.
Dampak terhadap pasar keuangan Indonesia diperkirakan bervariasi, sangat bergantung pada dinamika eksternal dan respons kebijakan domestik. Josua memperkirakan nilai tukar rupiah masih berisiko mengalami tekanan, meskipun intensitasnya dapat berkurang seiring meredanya harga minyak dan potensi pemangkasan suku bunga Fed Funds Rate (FFR). Tren pelemahan rupiah telah terlihat sejak awal Juni, dengan USD/IDR sempat menyentuh Rp 16.500. Namun, jika eskalasi geopolitik mereda dan inflow modal asing membaik, rupiah diperkirakan bisa kembali stabil di kisaran Rp 16.100 – Rp 16.400.
Untuk instrumen Surat Berharga Negara (SBN), yield diperkirakan akan tetap berada di kisaran 6,7%-6,8%. Hal ini disebabkan oleh tekanan global dan pelemahan rupiah yang cenderung mengurangi minat investor asing. Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat terkoreksi akibat sentimen risk-off global. Namun, IHSG menunjukkan rebound signifikan, didorong oleh rilis data retail sales China yang positif dan prospek pemangkasan suku bunga The Fed yang mengembalikan minat pada aset berisiko di Asia. Di sisi lain, neraca berjalan Indonesia berisiko melebar pada tahun 2025, terutama akibat harga minyak yang tinggi dan pelemahan nilai tukar.
Di tengah kondisi yang penuh dinamika ini, Josua merekomendasikan beberapa instrumen yang dinilai tetap prospektif bagi investor. Pertama, obligasi pemerintah jangka pendek–menengah. Dengan ekspektasi pemangkasan suku bunga BI sebesar 25–50 bps di semester II dan potensi capital inflows, obligasi seri FR0087, FR0091, dan FR0101 yang menawarkan yield kompetitif (6,2%–6,5%) dapat menjadi pilihan menarik.
Kedua, emas tetap menjadi pilihan strategis sebagai lindung nilai (hedge) terhadap risiko geopolitik dan inflasi. Harga emas telah menunjukkan kenaikan 1,37% sejak serangan Israel ke Iran. “Selama ketidakpastian belum sepenuhnya usai, emas tetap menjadi instrumen defensif utama,” tegasnya, menegaskan perannya dalam diversifikasi portofolio.
Ketiga, di pasar saham, sektor consumer staples dan energi dinilai mampu menunjukkan resiliensi. Josua menjelaskan bahwa konsumsi domestik cenderung stabil, dan emiten energi dapat diuntungkan dari harga minyak yang tinggi, asalkan tidak terlalu ekstrem. Keempat, SBN Ritel dan Surat Berharga Valas BI (SVBI/SUVBI) juga patut dipertimbangkan. Di tengah risiko pelemahan rupiah, instrumen ini menawarkan imbal hasil menarik bagi investor ritel, sekaligus berkontribusi pada stabilitas pasar domestik.
Josua Pardede menyarankan investor untuk mengadopsi strategi “defensif-dinamis”, yang berarti diversifikasi aset berdasarkan horizon waktu dan sensitivitas risiko. Untuk jangka pendek (0–6 bulan), fokus utama harus pada instrumen pasar uang, obligasi tenor pendek, dan emas, mengingat kondisi pasar yang masih bergejolak dan pentingnya likuiditas. Lalu, untuk jangka menengah (6–12 bulan), investor disarankan untuk selektif masuk ke SBN tenor menengah–panjang saat yield tinggi, sembari menanti sinyal yang lebih kuat terkait suku bunga BI dan arus masuk modal.
Bagi investasi jangka panjang, Josua merekomendasikan akumulasi saham-saham dengan fundamental kuat yang terdampak sementara akibat sentimen pasar. Sektor-sektor defensif seperti telekomunikasi dan konsumer menjadi pilihan utama dalam skenario ini. Selain itu, Josua juga menekankan pentingnya melindungi portofolio dari risiko nilai tukar. Ia menyarankan penggunaan instrumen lindung nilai (hedging) bagi mereka yang memiliki eksposur valas signifikan, atau mempertimbangkan alokasi sebagian ke aset berbasis dolar seperti US Treasury ETF atau instrumen DHE valas.
Langkah strategis lainnya adalah mencermati respons fiskal dan moneter pemerintah dan Bank Indonesia. BI kemungkinan akan terus mempertahankan kebijakan “triple intervention” (spot, DNDF, SBN) untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Sementara itu, pemerintah dipandang cenderung tidak akan menaikkan harga Pertalite hingga harga minyak mencapai US$ 100 per barel, memberikan waktu bagi pasar untuk menyesuaikan diri. Terakhir, Josua menyarankan investor untuk menggunakan momentum koreksi harga. Apabila terjadi koreksi tajam yang disebabkan oleh sentimen (bukan fundamental yang buruk), hal ini dapat menjadi entry point yang baik untuk akumulasi aset strategis. Dengan tetap waspada terhadap tekanan inflasi dan nilai tukar, investor disarankan untuk menjaga likuiditas, memilih aset defensif, serta mulai menyiapkan strategi akumulasi jika volatilitas mereda, demikian Josua menyimpulkan.
Paruh kedua tahun 2025 diproyeksikan masih diselimuti ketidakpastian global, namun sinyal de-eskalasi konflik dan potensi kebijakan moneter The Fed yang lebih dovish membuka celah bagi stabilisasi pasar keuangan. Perkembangan positif seperti gencatan senjata Israel-Iran menurunkan harga minyak, sementara peluang pemangkasan suku bunga The Fed pada Juli 2025 berpotensi menenangkan pasar global dan memperkuat arus modal ke negara berkembang. Meskipun demikian, risiko tarif dagang AS dan tekanan pada nilai tukar rupiah masih membayangi, meskipun IHSG menunjukkan rebound.
Dalam kondisi dinamis ini, Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, merekomendasikan investasi pada obligasi pemerintah jangka pendek-menengah, emas sebagai lindung nilai, serta saham sektor konsumer dan energi. SBN Ritel dan Surat Berharga Valas BI juga menjadi pilihan menarik. Investor disarankan mengadopsi strategi “defensif-dinamis” dengan diversifikasi aset berdasarkan horizon waktu, menjaga likuiditas, dan memanfaatkan koreksi harga sebagai titik masuk untuk akumulasi aset strategis.