
MNCDUIT.COM JAKARTA. Prospek Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di paruh kedua tahun 2025 diproyeksikan masih berada di bawah bayang-bayang tekanan. Sejumlah sentimen negatif, baik dari dinamika domestik maupun gejolak global, siap membayangi pergerakan pasar saham nasional.
Dalam waktu dekat, perhatian pelaku pasar akan tertuju pada dua agenda penting yang berlangsung serentak. Pada 17–18 Juni 2025, Bank Indonesia (BI) akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) untuk menetapkan arah suku bunga acuan. Setelah pemangkasan BI rate menjadi 5,50% pada Mei lalu, analis secara umum memprediksi BI akan mempertahankan suku bunga di level tersebut.
Di saat yang bersamaan, bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed), juga akan menyelenggarakan pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC). Sejak Desember 2024, The Fed telah konsisten mempertahankan suku bunga di kisaran 4,25%–4,50%. Keputusan kebijakan moneter mereka berikutnya akan sangat dipengaruhi oleh tingkat inflasi dan kondisi geopolitik global yang terus berkembang.
Intip Rekomendasi Saham Pilihan dari Indeks LQ45 di Semester II-2025
Pengamat pasar modal Universitas Indonesia, Budi Frensidy, secara tegas menyatakan bahwa eskalasi konflik Iran-Israel menjadi hambatan signifikan bagi IHSG untuk menembus level 7.500. Bahkan, jika konflik tersebut berlarut-larut, indeks berpotensi jatuh hingga di bawah 7.000. Realitanya, hingga Jumat (13/6), IHSG telah melemah selama empat hari beruntun, ditutup pada level 7.166,06 atau terkoreksi 0,89% dalam sepekan.
Selain ancaman geopolitik, berakhirnya musim pembagian dividen juga turut berkontribusi pada kerentanan IHSG terhadap koreksi di semester II. Oktavianus Audi, VP Marketing, Strategy, and Planning Kiwoom Sekuritas Indonesia, mengamini bahwa ketegangan geopolitik Iran-Israel memiliki daya picu yang kuat untuk menciptakan turbulensi di pasar saham.
Diproyeksikan Masih Bullish di Semester II, Simak Proyeksi Aset Kripto Berikut!
Konflik bersenjata tersebut berpotensi memicu lonjakan harga komoditas kunci seperti minyak mentah, gas alam cair (LNG), dan emas. Saat ini, produksi minyak Iran mencapai 3,2 juta barel per hari dengan volume ekspor sekitar 1,4–1,6 juta barel per hari, mayoritas menuju China, India, dan Suriah. Jika Selat Hormuz—jalur vital perdagangan minyak global—terganggu, 30% dari volume perdagangan minyak dunia dapat terhambat. Dampaknya juga akan terasa pada harga LNG, mengingat Iran merupakan negara dengan cadangan gas terbesar kedua di dunia.
“Kenaikan harga minyak akan memperkuat tekanan inflasi global dan mendorong investor mengalihkan dana mereka ke aset safe haven. Situasi ini berisiko memicu arus dana keluar (capital outflow) dari pasar saham Indonesia,” papar Audi pada Minggu (15/6). Ia menambahkan bahwa tekanan tersebut, jika konflik berlangsung lama, berpotensi mempengaruhi proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional dan target IHSG.
IHSG Diprediksi Ditutup ke Level 7.609 di Akhir Tahun, Ini Saham yang Bisa Dicermati
Faktor Global Masih Mendominasi
Nafan Aji Gusta, Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, senada bahwa arah pergerakan IHSG dalam jangka pendek dan menengah masih sangat didominasi oleh faktor eksternal, terutama konflik di Timur Tengah. Lonjakan harga komoditas global akibat situasi tersebut dapat memicu inflasi dan berpotensi mengubah sikap The Fed terhadap kebijakan moneternya. “Bisa jadi The Fed akan mengambil sikap dovish, dengan mempertimbangkan tekanan inflasi global yang meningkat,” ujarnya.
Audi juga menilai bahwa ruang bagi BI untuk menurunkan suku bunga semakin terbatas apabila inflasi kembali meningkat dan nilai tukar rupiah melemah akibat ketidakstabilan geopolitik. Berdasarkan data CME FedWatch, The Fed diperkirakan hanya akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 4,00%–4,25%, sehingga hal ini semakin membatasi ruang pelonggaran kebijakan oleh BI.
Untuk proyeksi IHSG akhir 2025, Audi memperkirakan pertumbuhan moderat di kisaran 7.500–7.700. Angka ini dipengaruhi oleh ketidakpastian ekonomi domestik, perlambatan pertumbuhan laba emiten di sektor perbankan, manufaktur, dan energi, serta ekspektasi penurunan suku bunga yang lebih lambat.
Dari sisi analisis teknikal, Nafan memproyeksikan IHSG dapat mencapai 7.609 jika skenario optimistis terwujud. Namun, apabila tekanan eksternal terus berlanjut, IHSG berisiko melemah hingga menyentuh level 6.994.
Prospek Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada paruh kedua tahun 2025 diproyeksikan berada di bawah tekanan sentimen negatif domestik dan global. Perhatian pelaku pasar tertuju pada Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia yang diperkirakan mempertahankan suku bunga, serta pertemuan The Federal Reserve yang keputusannya dipengaruhi inflasi dan geopolitik. Konflik Iran-Israel menjadi hambatan signifikan bagi IHSG untuk menembus level 7.500, bahkan berpotensi jatuh di bawah 7.000 jika berlarut-larut.
Eskalasi konflik geopolitik berpotensi memicu lonjakan harga komoditas seperti minyak dan LNG, meningkatkan inflasi global, dan mendorong arus dana keluar dari pasar saham Indonesia ke aset safe haven. Faktor eksternal, khususnya konflik Timur Tengah, mendominasi pergerakan IHSG dalam jangka pendek dan menengah. Proyeksi IHSG akhir 2025 berkisar antara 7.500–7.700, namun tekanan eksternal berkelanjutan dapat mengakibatkan pelemahan hingga 6.994.