
MNCDUIT.COM JAKARTA. Di tengah euforia pasar, penguatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dinilai masih menyimpan kerentanan, bahkan cenderung bersifat semu. Pada akhir perdagangan Rabu (3/8), IHSG berhasil ditutup menguat 1,08% atau melonjak 84,27 poin, mencapai level 7.885,86.
Namun, di balik kenaikan impresif tersebut, lonjakan pada indeks komposit ini ternyata didominasi oleh pergerakan saham-saham berkapitalisasi pasar besar (big caps), sementara ratusan saham lainnya justru terperosok. Fenomena ini terlihat jelas ketika IHSG untuk pertama kalinya menyentuh level 8.000 pada 15 Agustus 2025.
Pada hari bersejarah itu, saham PT DCI Indonesia Tbk (DCII) mendadak menguat 6,91%. Mengingat posisi DCII sebagai saham dengan market cap terbesar ketiga di Bursa Efek Indonesia (BEI), kenaikannya secara signifikan mendongkrak performa IHSG.
Prediksi IHSG dan Rekomendasi Saham untuk Kamis (4/9/2025)
Kenaikan signifikan DCII ini memberikan kontribusi sebesar 20,05 poin terhadap IHSG. Tak hanya itu, saham-saham seperti PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dan PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA) turut menyumbangkan masing-masing 9,89 poin dan 2,30 poin. Kombinasi kenaikan DCII dan beberapa saham big caps lainnya inilah yang berhasil mengerek IHSG mencapai level tertingginya. Ironisnya, pada saat IHSG berada di puncak tersebut, tercatat ada 451 saham yang melemah atau setara dengan 47,17% dari total saham yang diperdagangkan. Sementara itu, 261 saham ditutup datar dan hanya 244 saham, atau 25,52%, yang berhasil menguat.
Pengamat Pasar Modal & Founder Republik Investor, Hendra Wardana, menegaskan bahwa pergerakan IHSG dalam beberapa hari terakhir sangat terkonsentrasi pada segelintir saham dengan kapitalisasi atau market cap jumbo. Kondisi ini menyoroti kurangnya partisipasi luas dari berbagai sektor.
IHSG Naik 1,08%: Saham Big Banks Kompak Menguat, Kecuali BBCA Rabu (3/9/2025)
Hendra menambahkan, tren ini telah terlihat sepanjang tahun. Saham-saham bank raksasa dengan bobot signifikan seperti PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) justru kerap menjadi pemberat laju IHSG. Sebaliknya, saham-saham fenomenal seperti DCII dan DSSA, bersama BREN, acap kali menjadi motor penggerak utama, bahkan pendorong krusial saat IHSG menembus rekor tertinggi sepanjang sejarah. “Jika faktor pendorong dari saham big caps tersebut dikeluarkan, potret IHSG menjadi jauh berbeda. Indeks sejatinya masih tertekan oleh lemahnya sektor perbankan, konsumer, dan properti,” jelas Hendra kepada Kontan, Selasa (2/9).
Secara sentimen, pasar saham Indonesia juga masih menghadapi tekanan dari pergerakan nilai tukar rupiah yang bertahan di kisaran Rp 16.000 hingga Rp 16.400 per dolar Amerika Serikat (AS), ketidakpastian politik, serta potensi perlambatan konsumsi domestik. “Artinya, kekuatan IHSG saat ini belum bersifat menyeluruh, melainkan sangat bergantung pada reli beberapa saham kapitalisasi jumbo,” imbuhnya.
IHSG Naik 0,83% ke 7.866 di Sesi I Rabu (3/9), Top Gainers LQ45: INCO, PGAS, SMGR
Hendra mencermati secara teknikal, kemampuan IHSG untuk mempertahankan posisinya di atas level 7.500 akan sangat ditentukan oleh keberlanjutan reli saham-saham big caps tersebut. Apabila aksi ambil untung (profit taking) mulai marak terjadi pada saham-saham fenomenal seperti DCII, DSSA, atau BREN, indeks berpotensi kembali menguji area support krusial di 7.400–7.500. Sebaliknya, bila sektor perbankan dan konsumer mulai menunjukkan pergerakan positif dan ikut menguat, barulah IHSG akan memiliki tenaga yang lebih berimbang dan berkelanjutan. “Angka indeks memang impresif, tetapi belum sepenuhnya mencerminkan kondisi riil pasar saham Indonesia. Tanpa dukungan luas dari berbagai sektor, reli IHSG masih rapuh dan sangat ditentukan oleh segelintir saham fenomenal,” tegas Hendra, mengingatkan para investor akan fondasi pasar yang belum kokoh.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) baru-baru ini mencatat penguatan yang signifikan, bahkan sempat menyentuh level 8.000. Namun, kenaikan ini dinilai rentan dan bersifat semu, lantaran didominasi oleh pergerakan saham-saham berkapitalisasi pasar besar (big caps) seperti DCII, BBRI, dan DSSA. Terbukti, pada saat IHSG mencapai puncaknya, ratusan saham lain justru melemah, menunjukkan kurangnya partisipasi luas dari berbagai sektor.
Pengamat pasar modal menegaskan bahwa pergerakan IHSG sangat terkonsentrasi pada segelintir saham jumbo, sementara sektor perbankan, konsumer, dan properti masih tertekan. Selain itu, pasar saham Indonesia juga menghadapi tekanan dari nilai tukar rupiah, ketidakpastian politik, dan potensi perlambatan konsumsi domestik. Oleh karena itu, kekuatan IHSG saat ini belum bersifat menyeluruh dan keberlanjutannya sangat bergantung pada reli beberapa saham fenomenal tersebut.