MNCDUIT.COM, JAKARTA – Kombinasi strategis antara kebijakan moneter dan fiskal yang digulirkan pemerintah belakangan ini, secara luas diakui telah menjadi motor penggerak utama Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang tahun berjalan 2025. Berkat dorongan ini, IHSG berhasil menempati posisi sebagai indeks dengan penguatan tertinggi kedua di kawasan Asia Tenggara.
Menurut data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG sempat mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah pada perdagangan hari Jumat (24/10/2025) di level 8.351,059. Namun, tak lama berselang, indeks kebanggaan Tanah Air ini ditutup melemah tipis ke level 8.271,722, terkoreksi 0,03%.
Meskipun demikian, kinerja IHSG tetap menorehkan capaian luar biasa. Sepanjang tahun berjalan 2025, IHSG telah menguat impresif sebesar 16,83% YtD, hanya kalah oleh indeks Vietnam VN-Index yang melesat 32,50% YtD. Angka ini menegaskan resiliensi dan daya tarik pasar modal Indonesia.
Baca Juga: OCBC Sekuritas Pasang Target Bullish IHSG Menuju 9.400 pada 2026
Liza Camelia, Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas, menyoroti bahwa penguatan IHSG yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir ditopang kuat oleh sinergi kebijakan fiskal dan moneter domestik. Salah satu faktor penting adalah keputusan Bank Indonesia (BI) untuk mempertahankan suku bunga acuan.
“Di sisi fiskal, injeksi konsumsi melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT) Nataru secara signifikan mendorong belanja ritel. Efek dominonya adalah penguatan risk appetite domestic dan akumulasi local bid yang tebal pada saham-saham berkapitalisasi besar,” ungkap Liza pada Jumat (24/10/2025).
Baca Juga: Ruang Penurunan Suku Bunga Mulai Terbatas, Bank Waspadai Tekanan Rupiah Jelang Akhir Tahun
Selain faktor domestik, meredanya tensi dagang global pasca rencana pertemuan antara Donald Trump dan Xi Jinping dinilai turut memicu minat pasar terhadap aset berisiko. Indikasi kuat dari sentimen positif ini terlihat dari aksi beli bersih investor asing (net buy) yang mencapai Rp1,15 triliun pada perdagangan hari itu.
Merespons kondisi pasar yang dinamis ini, Kiwoom Sekuritas pun merevisi target IHSG mereka. Semula, Kiwoom menargetkan IHSG akan berada di level 7.800–8.000 hingga akhir tahun. Namun, dengan mempertimbangkan berbagai katalis positif, kini Kiwoom optimistis menargetkan IHSG pada level 7.950–8.150 di penghujung tahun 2025.
Baca Juga: Deretan Katalis dan Saham Layak Ditimbang Setelah BI Tahan Suku Bunga Acuan
Meskipun IHSG sudah melaju melampaui level 8.150, Liza tetap mengingatkan akan potensi ketidakpastian yang bisa muncul dari kinerja perusahaan pada kuartal III dan IV/2025. Selain itu, belum berakhirnya shutdown pemerintah Amerika Serikat dan ekspektasi pemangkasan suku bunga lanjutan juga menjadi sumber ketidakpastian yang patut diwaspadai pasar di sisa tahun 2025.
Lebih lanjut, kendati pasar saham Tanah Air tengah menunjukkan pertumbuhan berkat suntikan berbagai katalis pemerintah, Liza menekankan bahwa pembuktian kinerja yang sesungguhnya baru akan terlihat pada akhir tahun. Hal ini juga berlaku untuk sektor perbankan, di mana masuknya investor asing ke saham-saham perbankan lebih banyak disebabkan oleh valuasi yang masih terbilang murah.
“Namun, pembuktian kinerja pertumbuhan kredit akan dikonfirmasi akhir tahun. Apakah kredit yang dikucurkan Pak Purbaya benar bisa terserap pasar?” pungkas Liza, menyoroti pentingnya validasi data di lapangan.
Senada dengan pandangan tersebut, Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia Fakhrul Fulvian turut menilai bahwa beragam kebijakan ekonomi nasional telah menciptakan optimisme yang kuat terhadap prospek pasar modal Tanah Air.
“Pasar mulai menilai bahwa periode terburuk telah berlalu seiring dengan sinyal kebijakan baru dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang dinilai mampu memulihkan momentum pertumbuhan ekonomi,” ujar Fakhrul saat dihubungi pada Jumat (24/10/2025).
Meskipun demikian, Fakhrul mewanti-wanti ihwal potensi perubahan sentimen global, terutama menjelang rapat The Fed mengenai arah suku bunga ke depan. Menurutnya, ekspektasi pasar terhadap penurunan suku bunga The Fed akan menjadi faktor kunci yang berpotensi memicu gejolak pada nilai tukar Rupiah dan pasar modal dalam jangka pendek.
“Walaupun arah pelonggaran moneter global cenderung mendukung arus modal ke emerging markets, perubahan persepsi terhadap kecepatan dan konsistensi langkah The Fed dapat menimbulkan short-term volatility pada Rupiah maupun aset berisiko,” jelas Fakhrul, menggarisbawahi perlunya kehati-hatian investor.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatatkan penguatan impresif sebesar 16,83% sepanjang tahun berjalan 2025, menjadikannya indeks dengan penguatan tertinggi kedua di Asia Tenggara. Capaian ini didorong oleh kombinasi strategis kebijakan moneter dan fiskal domestik, termasuk keputusan Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan dan injeksi konsumsi melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT) Nataru. Sinergi ini meningkatkan minat risiko domestik dan akumulasi bid lokal pada saham-saham berkapitalisasi besar, didukung oleh meredanya tensi dagang global yang memicu aksi beli bersih investor asing.
Meskipun demikian, para analis mengingatkan akan potensi ketidakpastian di sisa tahun 2025. Kiwoom Sekuritas merevisi target IHSG ke 7.950–8.150 namun tetap mewaspadai kinerja perusahaan kuartal III dan IV, serta isu seperti shutdown pemerintah Amerika Serikat. Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas juga menekankan bahwa ekspektasi pasar terhadap penurunan suku bunga The Fed dan perubahan sentimen global dapat memicu volatilitas pada Rupiah dan pasar modal dalam jangka pendek.