IHSG Koreksi Setelah Rekor: Peluang Investasi Hingga 2025?

MNCDUIT.COM – JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat mencetak rekor tertinggi sepanjang masa (all time high/ATH) pada awal minggu ini, menjadi sorotan para investor.

Pada hari Senin, 17 November 2025, IHSG menutup perdagangan di level 8.416, sebuah pencapaian baru yang membanggakan. Namun, euforia tersebut tidak berlangsung lama. Pada hari Selasa, 18 November 2025, IHSG mengalami koreksi dan ditutup turun 0,65% ke level 8.361 di akhir sesi perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI).Img AA1PgTRz

Menanggapi pergerakan pasar ini, Analis BRI Danareksa Sekuritas, Reza Diofanda, berpendapat bahwa setelah menorehkan rekor, potensi penguatan IHSG masih terbuka lebar. Ia melihat beberapa faktor yang menjadi pendorong optimisme ini.

Menurutnya, semaraknya aksi korporasi dari berbagai emiten, data ekonomi domestik yang semakin solid, serta kebijakan pemerintah yang terus mendukung pertumbuhan ekonomi, menjadi sentimen positif yang signifikan. “Selain itu, kami melihat adanya indikasi kembalinya investor asing ke pasar saham Indonesia, yang memberikan dorongan tambahan bagi indeks,” ungkapnya kepada Kontan, Selasa (18/11/2025).

IHSG Terkoreksi 0,65% ke 8.361, Top Losers LQ45 AADI, INCO dan BRPT, Selasa (18/11)

Kendati demikian, Reza juga mengingatkan bahwa IHSG berpotensi mengalami koreksi sehat dalam jangka pendek. Hal ini wajar terjadi sebagai akibat dari aksi ambil untung (profit taking) setelah mengalami reli yang cukup panjang.

Dari sudut pandang teknikal, selama IHSG mampu bertahan di atas level psikologis 8.300, tren kenaikan masih akan terjaga. Dengan kondisi ini, IHSG diproyeksikan akan bergerak dalam rentang 8.300–8.500 hingga akhir tahun 2025. “Dengan kecenderungan melanjutkan penguatan secara bertahap, asalkan tidak muncul sentimen negatif baru yang signifikan,” jelasnya.

Walaupun prospek IHSG secara umum masih positif, Reza menekankan pentingnya bagi investor untuk tetap mewaspadai beberapa sentimen yang berpotensi mempengaruhi pergerakan pasar.

Pertama, eskalasi ketegangan geopolitik global, terutama konflik terbaru antara Jepang dan China, dapat memicu volatilitas di pasar regional. Kedua, risiko dari kebijakan hawkish The Fed yang kembali menunda penurunan suku bunga. Sikap ini berpotensi menekan likuiditas global dan membuat investor lebih berhati-hati terhadap aset berisiko di negara-negara berkembang.

Ketiga, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga menjadi perhatian. Penguatan indeks dolar AS dapat memicu arus keluar modal asing dalam jangka pendek dan memberikan tekanan pada sektor-sektor yang sensitif terhadap fluktuasi nilai tukar.

Saham Big Banks Ditutup Beragam, BBNI Menguat Paling Tajam Selasa (18/11)

“Jika ketiga sentimen ini terjadi secara bersamaan, IHSG berpotensi mengalami pergerakan yang lebih fluktuatif, meskipun tren jangka menengahnya masih cenderung menguat,” paparnya.

Untuk saat ini, Reza menilai bahwa sektor perbankan masih menjadi sektor yang paling menarik untuk dicermati. Selain likuiditas yang terjaga dan pertumbuhan kredit yang terus meningkat, sektor ini juga didukung oleh berbagai program pemerintah serta tingkat suku bunga yang relatif rendah, sehingga margin keuntungan perbankan tetap terjaga dengan baik.

Di sisi lain, peningkatan daya beli masyarakat juga turut memperkuat prospek sektor konsumer dan telekomunikasi. Terutama bagi emiten-emiten dengan basis pelanggan yang besar dan pendapatan yang stabil.

Selanjutnya, sektor komoditas, khususnya emas dan CPO (Crude Palm Oil), juga layak untuk diperhatikan. Sepanjang tahun ini, beberapa emiten di kedua sektor tersebut telah mencatatkan peningkatan kinerja keuangan, baik dari sisi pendapatan maupun laba, seiring dengan kenaikan harga komoditas global dan efisiensi operasional yang dilakukan oleh perusahaan.

Selain itu, sejumlah emiten konglomerasi juga menarik untuk dilirik, terutama yang memiliki potensi untuk menerapkan strategi index play, termasuk peluang untuk masuk ke dalam indeks global seperti MSCI dan FTSE.

Kinerja Saham Big Banks Menguat pada Penutupan Bursa Senin (17/11)

“Aksi korporasi semacam ini biasanya menjadi katalis positif karena dapat menarik aliran dana asing dan meningkatkan likuiditas saham emiten terkait,” jelasnya.

Reza menyarankan agar investor memilih emiten dengan fundamental yang solid dan memiliki katalis kinerja yang jelas.

Di sektor perbankan, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) menjadi salah satu pilihan utama dengan prospek pertumbuhan kredit yang kuat dan valuasi yang masih menarik. Target harga untuk saham BBNI berada di kisaran Rp 4.550 – Rp 4.600 per saham.

Untuk sektor konsumer, PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) juga patut dicermati seiring dengan perbaikan daya beli masyarakat dan stabilnya permintaan produk kebutuhan sehari-hari. Target harga saham UNVR berada di kisaran Rp 2.700 – Rp 2.750 per saham.

Di sektor komoditas, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) juga menarik di tengah tren penguatan harga emas global serta potensi peningkatan volume produksi. Target harga saham ANTM berada pada rentang Rp 3.200 – Rp 3.400 per saham.

Selain itu, sebagai alternatif di sektor energi dan pertambangan jasa, PT Darma Henwa Tbk (DEWA) memiliki prospek pemulihan operasional dengan target harga Rp 450 – Rp 460 per saham.

Ringkasan

IHSG sempat mencetak rekor tertinggi sepanjang masa pada 17 November 2025 di level 8.416, namun mengalami koreksi pada hari berikutnya dan ditutup di level 8.361. Analis BRI Danareksa Sekuritas berpendapat bahwa potensi penguatan IHSG masih terbuka lebar didorong oleh aksi korporasi emiten, data ekonomi domestik yang solid, kebijakan pemerintah yang mendukung, dan indikasi kembalinya investor asing.

Meskipun demikian, IHSG berpotensi mengalami koreksi sehat jangka pendek akibat profit taking. Investor perlu mewaspadai eskalasi geopolitik, kebijakan hawkish The Fed, dan pelemahan nilai tukar rupiah. Sektor perbankan, konsumer, telekomunikasi, dan komoditas (emas dan CPO) dinilai menarik, dengan rekomendasi saham seperti BBNI, UNVR, ANTM, dan DEWA.

You might also like