Harga Minyak Naik! Perundingan AS-China Jadi Pemicu?

Harga minyak mentah global berhasil bangkit kembali (rebound) setelah sempat menyentuh level terendah dalam lima bulan terakhir pada sesi sebelumnya. Kenaikan ini dipicu oleh harapan investor akan potensi perundingan antara Amerika Serikat (AS) dan China, yang diharapkan mampu meredakan ketegangan perdagangan antara dua negara adidaya ekonomi sekaligus konsumen minyak terbesar di dunia.

Pada Senin (13/10/2025) pukul 14.00 WIB, harga minyak mentah jenis Brent untuk kontrak pengiriman Desember 2025 terpantau naik signifikan 92 sen, atau 1,47%, mencapai US$ 63,65 per barel. Pemulihan ini terjadi setelah pada Jumat (10/10/2025), Brent ditutup melemah tajam 3,82% dan menyentuh level terendah sejak 7 Mei.

Senada dengan Brent, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) juga menunjukkan penguatan. WTI tercatat naik 89 sen, atau 1,51%, ke level US$ 59,79 per barel, setelah pada Jumat (10/10/2025) anjlok 4,24% dan mencapai titik terendah sejak 7 Mei.

Harga Minyak Menguat pada Awal Pekan, Tersulut Ketegangan AS-China

Meskipun demikian, aktivitas perdagangan untuk harga WTI diperkirakan akan stabil pada hari Selasa, mengingat Senin merupakan hari libur nasional di beberapa wilayah AS. Analis energi DBS, Suvro Sarkar, menjelaskan bahwa penurunan harga minyak yang terjadi minggu lalu sebagian besar dipicu oleh dua faktor utama: “gencatan senjata di Gaza dan kembalinya volatilitas perdagangan AS-China menjelang batas waktu gencatan senjata perdagangan 10 November.”

Sarkar menambahkan, aksi jual di pasar kini tampak terbatas karena adanya kesediaan dari kedua belah pihak, AS dan China, untuk bernegosiasi. Ia menegaskan, prospek jangka pendek pasar minyak akan sangat bergantung pada hasil akhir dari perundingan perdagangan tersebut.

Ketegangan perdagangan antara AS dan China sendiri memanas pekan lalu, setelah China mengumumkan perluasan kendali ekspor terhadap material tanah jarang, yang sangat vital bagi industri teknologi. Sebagai tanggapan, Presiden AS Donald Trump pada Jumat menyatakan niatnya untuk memberlakukan tarif 100% terhadap ekspor China ke AS. Ancaman ini juga mencakup kendali ekspor baru terhadap “semua perangkat lunak penting” yang akan diberlakukan paling lambat 1 November.

Namun, pada Minggu, Trump memberikan sinyal yang lebih meredakan melalui unggahan di platform Truth Social-nya, dengan menyatakan: “Jangan khawatir tentang China, semuanya akan baik-baik saja!” Pernyataan inilah yang menyulut kembali harapan di pasar. Sinyal positif ini muncul menjelang pertemuan potensial antara Presiden Trump dan mitranya dari China, Xi Jinping. Pertemuan tersebut diperkirakan akan berlangsung di sela-sela forum Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Korea Selatan, yang menurut Perwakilan Dagang AS, Jamison Greer, masih dapat terwujud akhir bulan ini. Perkembangan ini terjadi di tengah laporan bahwa ekspor tanah jarang China telah mengalami penurunan signifikan sebesar 31% pada September 2025, mengindikasikan dampak awal dari pembatasan ekspor yang diterapkan.

Analis Goldman Sachs, dalam catatannya, memberikan pandangan optimis terhadap situasi ini. Mereka menilai, “Skenario yang paling mungkin adalah kedua belah pihak akan menarik kembali kebijakan yang paling agresif, dan perundingan akan mengarah pada perpanjangan lebih lanjut – dan mungkin tanpa batas waktu – dari jeda eskalasi tarif yang telah disepakati pada bulan Mei.” Meski demikian, Goldman Sachs juga mengingatkan akan adanya risiko. “Masih ada kemungkinan meningkatnya ketegangan perdagangan yang dapat memicu tarif yang lebih tinggi atau pembatasan ekspor yang lebih serius, setidaknya untuk sementara,” tambah para analis tersebut, menunjukkan prospek yang tetap perlu diwaspadai. Sejarah menunjukkan, harga minyak pernah anjlok secara signifikan pada Maret dan April lalu, tepat di tengah puncak ketegangan perdagangan antara AS dan China, menggarisbawahi sensitivitas pasar terhadap hubungan bilateral ini.

Di sisi lain, fundamental permintaan juga menunjukkan dukungan. Impor minyak mentah China pada September tercatat naik 3,9% dari tahun sebelumnya, mencapai 11,5 juta barel per hari, demikian data bea cukai. Peningkatan ini didorong oleh operasional kilang pada tingkat utilisasi tertinggi sepanjang tahun dan berlanjutnya upaya penimbunan cadangan.

Dari kawasan Timur Tengah, sebuah perkembangan positif juga terjadi. Kelompok militan Palestina Hamas pada Senin membebaskan tujuh sandera Israel pertama yang masih hidup. Menurut seorang pejabat yang terlibat dalam operasi tersebut, ini adalah fase awal dari perjanjian gencatan senjata yang ditengahi oleh Presiden Trump, dengan tujuan mengakhiri konflik yang berkepanjangan di Gaza. Perkembangan ini turut berkontribusi dalam meredakan premi risiko geopolitik di pasar minyak.

Ringkasan

Harga minyak mentah global berhasil bangkit kembali pada Senin (13/10/2025) setelah sempat menyentuh level terendah dalam lima bulan terakhir. Kenaikan ini dipicu oleh harapan investor terhadap perundingan potensial antara Amerika Serikat dan China untuk meredakan ketegangan perdagangan. Minyak Brent naik 1,47% menjadi US$ 63,65 per barel, sementara WTI menguat 1,51% ke US$ 59,79 per barel. Sinyal meredanya ketegangan muncul dari pernyataan Presiden Trump menjelang pertemuan dengan Presiden Xi Jinping di APEC.

Analis menunjukkan bahwa kesediaan kedua belah pihak untuk bernegosiasi membatasi penurunan harga, meskipun prospek jangka pendek masih bergantung pada hasil perundingan tersebut. Dukungan tambahan datang dari fundamental permintaan, seperti peningkatan impor minyak mentah China sebesar 3,9% pada September. Selain itu, perkembangan positif di Timur Tengah, yakni pembebasan sandera oleh Hamas sebagai bagian dari gencatan senjata Gaza, turut meredakan premi risiko geopolitik di pasar minyak.

You might also like