
MNCDUIT.COM JAKARTA. Kinerja emiten investasi diproyeksikan masih menghadapi tantangan di semester II 2025. Gelombang ketidakpastian global yang berkelanjutan diperkirakan akan terus memicu fluktuasi pasar, sehingga menekan prospek investasi.
Kondisi ini tercermin dari pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang belum menunjukkan kekuatan signifikan, turut membebani performa portofolio investasi sejumlah emiten. PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG), misalnya, mencatatkan kerugian neto atas investasinya pada saham dan efek lainnya sebesar Rp 6,85 triliun per kuartal I 2025. Angka ini meningkat drastis dari kerugian Rp 2,3 triliun pada periode yang sama tahun 2024.
Akibatnya, SRTG membukukan rugi bersih sebesar Rp 6,07 triliun per akhir Maret 2025, naik dari kerugian bersih Rp 2,57 triliun di tahun sebelumnya. Meski demikian, berkat pencapaian laba bersih Rp 3,29 triliun pada buku tahun 2024, SRTG masih mampu membagikan dividen. Perseroan akan mendistribusikan dividen sebesar Rp 200 miliar, atau setara dengan Rp 14,75 per saham, dari laba buku tahun 2024.
Sementara itu, PT Provident Investasi Bersama Tbk (PALM) mengambil keputusan berbeda terkait pembagian dividen. PALM memilih untuk absen membagikan dividen dari buku tahun 2024, menyusul kerugian bersih atas investasi yang mencapai Rp 1,63 triliun. Kerugian neto atas investasi pada saham dan efek ekuitas lainnya juga memburuk menjadi Rp 1,3 triliun per kuartal I 2025, dari sebelumnya Rp 1,08 triliun di kuartal I 2024. Alhasil, rugi periode berjalan PALM mencapai Rp 1,43 triliun per akhir Maret 2025, naik dari Rp 1,18 triliun pada periode yang sama tahun lalu.
Direktur Investasi dan Portofolio PALM, Ellen Kartika, menjelaskan bahwa kerugian neto atas investasi yang tercatat dalam laporan keuangan merupakan kerugian yang belum terealisasi (unrealized loss). “Hal itu lebih mencerminkan volatilitas pasar dalam periode tertentu, bukan penurunan nilai fundamental atas aset investasi yang dimiliki,” ujarnya dalam Public Expose PALM, Rabu (25/6).
Selain PALM dan SRTG, sejumlah emiten besar lain juga memiliki portofolio investasi di perusahaan terbuka. PT Astra International Tbk (ASII), per kuartal I 2025, mencatatkan rugi Rp 456 miliar dari penyesuaian nilai wajar investasinya di PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) dan PT Medialoka Hermina Tbk (HEAL). Di sisi lain, PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) justru gencar mengakumulasi portofolio, khususnya pada saham anak usahanya. Terbaru, EMTK menyerok 668,20 juta saham PT Surya Citra Media Tbk (SCMA), yang mewakili 0,90% dari total saham yang dikeluarkan dan disetor SCMA. Pembelian ini terjadi dalam beberapa kali transaksi antara 12-25 Juni 2025, seperti disampaikan Sekretaris Perusahaan EMTK, Titi Maria Rusli, dalam keterbukaan informasi tanggal 26 Juni 2025.
Prospek Kinerja dan Rekomendasi Saham
Untuk tahun 2025, SRTG akan terus memusatkan perhatian pada optimalisasi peluang pertumbuhan di sektor-sektor strategis, meliputi layanan kesehatan, infrastruktur digital, konsumen, dan energi terbarukan. Fokus ini sejalan dengan strategi jangka panjang Saratoga untuk membangun portofolio yang tangguh dan menciptakan nilai berkelanjutan bagi para pemegang saham. Dalam catatan Kontan, SRTG telah menyiapkan dana investasi sebesar US$ 100 juta hingga US$ 150 juta untuk 2025, angka yang tidak jauh berbeda dari anggaran 2024 sekitar US$ 150 juta. “Kami terus melihat potensi pertumbuhan yang kuat di sektor-sektor tersebut, dan akan terus menerapkan pendekatan investasi yang disiplin, selektif, dan responsif terhadap dinamika pasar guna menjaga kualitas pertumbuhan portofolio dan mendorong penciptaan nilai berkelanjutan,” ungkap Direktur Investasi Saratoga Devin Wirawan dalam keterangan resmi, Kamis (26/6).
Sementara itu, PALM menggunakan pendekatan Mark to Market, yang mencerminkan nilai pasar terkini dari portofolio investasinya. Ellen menjelaskan bahwa sektor investasi PALM yang fokus pada sumber daya alam, teknologi, media, telekomunikasi, serta logistik, masih memiliki potensi menopang kinerja ke depan. Hal ini didasari oleh fundamental emiten yang diinvestasikan PALM yang dinilai masih baik, terutama di tengah kenaikan harga komoditas. Untuk mendukung strateginya, PALM menganggarkan total Rp 800 miliar hingga Rp 1 triliun untuk investasi di tahun 2025, yang dananya akan didapatkan dari penerbitan saham dan obligasi, kas internal, serta pinjaman bank. PALM juga berencana menerbitkan sebanyak-banyaknya 4.719.862.337 saham baru melalui Rights Issue dan/atau sebanyak-banyaknya 1.573.287.445 saham melalui Private Placement. “Namun, untuk nilai private placement dan rights issue akan disampaikan kemudian,” tutur Ellen.
Miftahul Khaer, Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia, berpendapat bahwa dari valuasi dengan kinerja yang masih merugi, agak sulit untuk menggambarkan nilai intrinsik sebenarnya dari saham PALM. Namun, jika dilihat dari segi potensi, PALM masih memiliki ruang pertumbuhan yang kuat di masa mendatang dengan portofolio bisnis yang cukup solid. “Perseroan juga punya potensi pertumbuhan jika rights issue terlaksana mulus dan portofolio investasi mulai menunjukkan kinerja,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (26/6).
Miftahul menambahkan, sentimen positif untuk emiten investasi mencakup pelonggaran market timing di pasar modal dan potensi pemulihan nilai aset. Sebaliknya, sentimen negatif bisa datang dari fluktuasi pasar global serta tingginya ketidakpastian ekonomi dan geopolitik. Jika fluktuasi saat ini mereda dan eksekusi strategi berjalan baik, portofolio mereka bisa mulai menunjukkan performa positif. “Namun, saat ini masih lebih aman jika investor memilih menunggu perkembangan rights issue PALM sebelum ambil aksi,” paparnya, merekomendasikan wait and see untuk PALM.
Direktur PT Rumah Para Pedagang, Kiswoyo Adi Joe, menyoroti bahwa kinerja PALM tertekan lantaran pilihan sektor emiten dalam portofolio investasi mereka kurang terdiversifikasi. Meskipun harga komoditas tengah tinggi, harga saham emiten komoditas masih terpuruk. “Alhasil, portofolio saham yang dimiliki PALM yang kurang terdiversifikasi bisa memberatkan kinerja mereka ke depan,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (25/6). Sebaliknya, portofolio saham SRTG dinilai lebih terdiversifikasi dibandingkan PALM. Meskipun sama-sama didominasi emiten komoditas, kinerja saham emiten di portofolio SRTG pun lebih baik. “Walaupun sama-sama pegang MDKA, tetapi SRTG juga punya AADI dan ADRO,” ungkapnya. Kiswoyo merekomendasikan beli SRTG dan PALM untuk jangka panjang dengan target harga masing-masing Rp 2.500 – Rp 3.000 per saham dan Rp 400 – Rp 500 per saham.
Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, memprediksi kemungkinan masih akan ada potensi perbaikan kinerja para emiten investasi di semester II, namun perbaikannya akan berjalan secara bertahap mengingat situasi yang masih penuh ketidakpastian. Salah satu pendorong kinerja emiten investasi di semester II berasal dari pelonggaran kebijakan moneter Bank Indonesia (BI), yang dapat mengurangi beban biaya dan bunga kredit para emiten. Selain itu, jika prospek ekonomi global membaik, tekanan terhadap pasar negara berkembang juga bisa berkurang dan menstimulasi kinerja IHSG.
Untuk SRTG dan PALM, kinerja portofolio mereka dapat membaik ketika saham emiten komoditas menunjukkan perbaikan. Sementara itu, untuk ASII, kinerja mereka bisa terbantu jika berinovasi untuk mengeluarkan produk electric vehicle (EV) yang mampu bersaing dengan produk serupa dari China. Kinerja EMTK yang didominasi sektor teknologi dan media, bakalan cenderung ditopang oleh segmen over the top (OTT). Nafan merekomendasikan accumulative buy untuk SRTG, ASII, dan EMTK dengan target harga terdekat masing-masing Rp 1.715 per saham, Rp 4.970 per saham, dan Rp 510 per saham.
Emiten investasi diproyeksikan menghadapi tantangan di semester II 2025 akibat ketidakpastian global dan fluktuasi pasar, menekan prospek kinerja portofolio mereka. PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG) mencatat kerugian neto investasi signifikan di kuartal I 2025 namun tetap membagikan dividen dari laba tahun 2024. Sementara itu, PT Provident Investasi Bersama Tbk (PALM) memilih tidak membagikan dividen karena kerugian investasi yang meningkat, dijelaskan sebagai kerugian yang belum terealisasi akibat volatilitas pasar.
SRTG berencana fokus pada optimalisasi pertumbuhan di sektor strategis, sedangkan PALM melihat potensi di sektor sumber daya alam dan teknologi, serta berencana menerbitkan saham baru untuk pendanaan investasi. Analis menyarankan “wait and see” untuk PALM karena perlu menunggu realisasi rights issue dan meredanya fluktuasi pasar. Namun, ada juga rekomendasi beli jangka panjang untuk SRTG dan PALM, serta accumulative buy untuk SRTG, ASII, dan EMTK, mengingat potensi perbaikan kinerja bertahap di semester II 2025.