MNCDUIT.COM – JAKARTA. Indeks Dolar AS (DXY) kembali menunjukkan kekuatannya, menembus level 100,1 dan mencapai titik tertinggi dalam hampir dua minggu terakhir. Pendorong utama di balik penguatan ini adalah meredanya ekspektasi pasar terhadap pemangkasan suku bunga oleh The Fed.
Menurut data dari Trading Economics, pada hari Kamis (20 November 2025) pukul 16.38 WIB, DXY memang mengalami sedikit pelemahan harian sebesar 0,04% ke level 100,189. Namun, jika dilihat dalam rentang waktu sebulan, indeks ini telah menguat signifikan sebesar 1,27%.
Kondisi ini turut menekan sejumlah mata uang utama di kawasan Asia-Pasifik dan Eropa. Dominasi dolar AS semakin terasa setelah pasar mulai merevisi ekspektasi terhadap kebijakan moneter The Fed. Euro terperosok ke level terendah dalam dua minggu terakhir, dolar Australia menyentuh posisi terlemah dalam tiga bulan, sementara yen berada di level terlemah sejak Januari.
Bloomberg mencatat pada hari Kamis (20 November 2025) pukul 16.37 WIB, beberapa pasangan mata uang asing (Valas) menunjukkan pergerakan sebagai berikut: EUR/USD berada di US$1,1524 per euro, GBP/USD di US$ 1,3071, AUD/USD di US$0,6477, USD/JPY di 157,160, dan USD/CHF di 0,8058.
Tekanan Belum Reda, Rupiah Diproyeksi Melemah Terbatas, Kamis (21/11)
Presiden Komisioner HFX International Berjangka, Sutopo Widodo, menjelaskan bahwa kenaikan DXY memiliki korelasi erat dengan perubahan ekspektasi pasar yang cukup tajam. “Penurunan drastis peluang pemangkasan suku bunga di bulan Desember, misalnya dari 50% menjadi 33%, membuat investor berpandangan bahwa The Fed akan mempertahankan suku bunga tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (20/11/2025).
Lebih lanjut, Sutopo menambahkan bahwa kondisi ini menjadikan aset berbasis dolar AS, seperti US Treasury, semakin menarik, sehingga permintaan terhadap dolar terus meningkat.
Dari sisi fundamental, penguatan dolar mencerminkan adanya perbedaan kebijakan moneter antara Amerika Serikat dan negara-negara lain. “Kuatnya dolar terhadap yen, franc, maupun pound sterling mencerminkan keunggulan fundamental ekonomi AS dibandingkan dengan mitra dagangnya,” imbuh Sutopo.
Meskipun demikian, ia menekankan bahwa arah penguatan dolar selanjutnya akan sangat bergantung pada data ekonomi AS, terutama data ketenagakerjaan. Data ini akan sangat memengaruhi ruang gerak The Fed dalam menahan atau melanjutkan kebijakan pemangkasan suku bunga.
Di sisi lain, Analis Doo Financial Futures, Lukman Leong, berpendapat bahwa ruang penguatan dolar saat ini masih terbatas. “Ekspektasi pasar akan terus berubah seiring dengan rilis data-data ekonomi, terutama data inflasi AS,” katanya.
Ia melihat adanya potensi tren pemangkasan suku bunga yang justru dapat kembali menguat, mengingat adanya pelemahan di pasar tenaga kerja AS. “Menurut saya, prospek pemangkasan suku bunga akan kembali meningkat di masa depan,” prediksi Lukman.
Dalam kondisi pasar yang volatil seperti saat ini, Lukman mengingatkan para investor untuk tidak terburu-buru masuk saat pasar sedang mengalami kenaikan. “Jangan masuk ketika pasar sedang naik atau rally, karena pasar masih akan sangat volatile dan mengalami swing besar, terutama ketika data ekonomi AS dirilis,” pesannya.
Data-data ekonomi tersebut akan datang “seperti tsunami” dan berpotensi memengaruhi pergerakan pasar hingga akhir tahun.
Rupiah Tertekan Penguatan Dolar AS, Waspadai Potensi Risiko Jatuh ke Level Rp 17.000
Sutopo juga menyarankan strategi defensif sebagai opsi terbaik bagi para investor. “Investor cenderung meningkatkan alokasi dana ke aset berbasis dolar, seperti US Treasury atau deposito dolar, karena imbal hasilnya masih sangat atraktif,” ungkapnya.
Investor global juga disarankan untuk memperkuat lindung nilai risiko mata uang guna melindungi portofolio mereka di tengah penguatan dolar.
Terkait pemilihan mata uang, Lukman menilai bahwa dolar saat ini bukanlah pilihan yang ideal untuk dikoleksi. “USD saat ini masih overvalue, jadi menurut saya sebaiknya dihindari, apalagi saat harganya sedang tinggi seperti sekarang,” sarannya.
Ia menilai bahwa euro lebih menarik karena secara data ekonomi menunjukkan kinerja yang sangat baik di antara mata uang negara-negara G7. Selain itu, franc Swiss (CHF) masih menjadi favorit sebagai aset safe haven, sementara yen (JPY) masih tertahan oleh kebijakan dovish dan stimulus fiskal besar-besaran yang diterapkan oleh Jepang. Untuk pound sterling (GBP) sendiri, masih dibayangi oleh isu anggaran, potensi kenaikan pajak, dan gejolak politik.
Indeks Dolar AS (DXY) menguat signifikan hingga menembus level 100,1, didorong oleh meredanya ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Fed. Kondisi ini menekan mata uang utama di Asia-Pasifik dan Eropa, menjadikan aset berbasis dolar AS seperti US Treasury semakin menarik. Penguatan dolar mencerminkan perbedaan kebijakan moneter antara AS dan negara lain, namun arah selanjutnya bergantung pada data ekonomi AS, terutama data ketenagakerjaan.
Para analis memberikan pandangan berbeda terkait prospek dolar. Beberapa menyarankan strategi defensif dengan meningkatkan alokasi dana ke aset berbasis dolar, sementara yang lain menilai dolar overvalue dan menyarankan untuk menghindari pembelian saat harga tinggi. Investor juga disarankan untuk memperkuat lindung nilai risiko mata uang di tengah volatilitas pasar yang dipengaruhi oleh rilis data ekonomi AS.