Dolar AS Perkasa! Rupiah & Mata Uang Komoditas Panik Karena Tarif?

Img AA1JmAz0

MNCDUIT.COM – JAKARTA. Pasar keuangan global menyaksikan fenomena menarik belakangan ini. Sejumlah mata uang komoditas, yang sempat menunjukkan kinerja positif pada paruh pertama 2025, kini justru terperosok dan melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dalam sebulan terakhir. Dinamika ini menjadi sorotan utama bagi para pelaku pasar yang mencermati pergerakan kurs.

Mengutip data dari Bloomberg, tekanan terhadap mata uang komoditas terlihat jelas pada Selasa (29/7). Dolar Selandia Baru (NZD) terkoreksi 0,23% secara harian dan lebih signifikan, 1,70% secara bulanan, mencapai level 1,6790 per dolar AS. Senada, dolar Australia (AUD) juga mengalami penurunan 0,23% dalam sehari dan 0,60% dalam sebulan, bertengger di posisi 1,5370 per dolar AS. Sementara itu, dolar Kanada (CAD) melemah 0,14% secara harian dan 0,80% secara bulanan ke level 1,3758 per dolar AS. Kontras dengan pelemahan ini, indeks dolar AS justru menguat 0,14% dalam sehari dan melonjak lebih dari 1% dalam sebulan terakhir, menembus posisi 98,77, menegaskan dominasinya di tengah gejolak pasar.

Analis Doo Financial Futures, Lukman Leong, menjelaskan bahwa tren pelemahan ini tidak hanya menimpa mata uang komoditas, melainkan juga melanda sebagian besar mata uang global. Sentimen utama yang memicu kondisi ini adalah perkembangan kebijakan tarif dan dampaknya terhadap perekonomian AS. Meskipun AS dan Uni Eropa telah mencapai kesepakatan tarif baru, perhatian pasar global kini terpusat pada kompleksnya hubungan dagang AS dan China, dua kekuatan ekonomi terbesar dunia.

BCA Proyeksikan Likuiditas Valuta Asing Masih Mencukupi

China sebagai konsumen komoditas terbesar dunia, menjadikan perundingan tarif antara kedua negara memiliki signifikansi luar biasa. Setelah mencapai kesepakatan tarif sementara pada Mei lalu yang akan berakhir 12 Agustus mendatang, AS dan China diketahui kembali melanjutkan perundingan krusial di Stockholm, Swedia, pada Senin (28/7). Dalam pertemuan ini, kedua belah pihak mempertimbangkan penundaan penerapan tarif impor selama 90 hari ke depan, sebuah langkah yang dapat meredakan tensi perang dagang.

Di sisi lain, data ekonomi AS yang masih solid, terutama pada sektor ketenagakerjaan, turut menjadi penopang kuat bagi dolar AS. “Yang perlu dicermati adalah tarif terhadap komoditas seperti tembaga, baja, dan aluminium,” ujar Lukman. Ia menambahkan bahwa Kanada, misalnya, sangat bergantung pada ekspor ke AS. Lebih dari 90% aluminium dan baja Kanada, serta 52% ekspor tembaga, dikirim ke AS. Namun, AS berencana memberlakukan tarif impor sebesar 32% terhadap Kanada mulai 1 Agustus, sebuah langkah yang menurut Lukman belum menunjukkan tanda-tanda kesepakatan dan berpotensi besar menekan ekonomi Kanada.

Dolar AS Menguat Ditopang Efek Tarif Terbaru Trump, Rupiah Makin Lesu

Kendati demikian, Lukman menilai dolar Australia dan Selandia Baru masih menunjukkan kinerja yang relatif lebih baik dibandingkan dolar Kanada. Secara umum, Selandia Baru yang dikenal banyak mengekspor komoditas lunak (soft commodity) berpeluang mengisi pasar AS jika ketegangan dagang antara AS dan China semakin memanas. Sementara itu, Australia yang lebih bergantung pada ekspor ke China juga bisa terdampak, meskipun tarif yang dikenakan cenderung lebih rendah. “NZD dan AUD memiliki peluang untuk mengambil alih sebagian pangsa pasar AS jika eskalasi tarif dengan China terus berlanjut,” tambahnya, menggambarkan potensi pergeseran dalam rantai pasok global.

Pengamat mata uang, Ibrahim Assuaibi, menyoroti bahwa tekanan tambahan terhadap mata uang komoditas juga berasal dari situasi geopolitik, khususnya di Timur Tengah. Belum adanya proses rekonstruksi pasca gencatan senjata di wilayah tersebut menyebabkan permintaan komoditas tertahan, sehingga membatasi potensi penguatan mata uang terkait. Selain itu, arah kebijakan moneter Federal Reserve (The Fed) yang belum memberikan sinyal jelas mengenai prospek pemangkasan suku bunga juga turut menopang kekuatan dolar AS. “Ini salah satu alasan utama mengapa dolar AS terus menguat,” jelas Ibrahim, menekankan peran sentral The Fed dalam pergerakan dolar.

Ibrahim memproyeksikan dolar AS berpotensi terus menguat hingga akhir tahun, bahkan memperkirakan indeks dolar bisa kembali menyentuh level 100. Namun, ia juga menekankan bahwa berbagai dinamika politik dan kebijakan, termasuk pernyataan dari mantan Presiden Donald Trump atau kebijakan tarif, bisa berubah dalam waktu singkat, menambah ketidakpastian di pasar keuangan. Dalam proyeksinya, Ibrahim memperkirakan pasangan mata uang USD/AUD akan bergerak di kisaran 0,63094–0,67093, USD/CAD di kisaran 1,3425–1,40370, dan USD/NZD di kisaran 0,5721–0,6170 hingga akhir 2025. Sementara itu, Lukman memprediksi kisaran yang sedikit berbeda, yakni USD/AUD berada di rentang 0,6800–0,7000, USD/CAD di sekitar 1,40000, dan USD/NZD di kisaran 0,6100–0,6300, menunjukkan adanya variasi pandangan di antara para ahli terkait prospek mata uang komoditas ke depan.

Trump Beri Sinyal Akan Pecat Powell, Dollar AS Langsung Terkoreksi

Ringkasan

Mata uang komoditas seperti dolar Selandia Baru (NZD), dolar Australia (AUD), dan dolar Kanada (CAD) telah melemah signifikan terhadap dolar AS dalam sebulan terakhir. Sebaliknya, indeks dolar AS menunjukkan penguatan lebih dari 1% di periode yang sama, menegaskan dominasinya. Dinamika ini dipicu oleh perkembangan kebijakan tarif AS, khususnya kompleksitas hubungan dagang AS dan China, serta data ekonomi AS yang masih solid.

China sebagai konsumen komoditas terbesar dunia menjadikan perundingan tarif AS-China sangat krusial. Analis juga mencatat tekanan tambahan terhadap mata uang komoditas berasal dari situasi geopolitik, yang menahan permintaan komoditas, serta ketidakjelasan sinyal kebijakan suku bunga dari Federal Reserve. Faktor-faktor ini diperkirakan akan terus menopang kekuatan dolar AS hingga akhir tahun.

You might also like