MNCDUIT.COM JAKARTA. Gelombang aksi korporasi pembelian kembali saham atau buyback saham oleh sejumlah emiten dengan nilai fantastis menjadi sorotan utama pasar belakangan ini. Fenomena ini diinterpretasikan oleh para analis sebagai indikator kuat bahwa perusahaan-perusahaan tersebut memiliki fundamental yang kokoh, posisi kas yang melimpah, serta valuasi saham yang masih dianggap tergolong murah.
Sebagai contoh konkret, emiten pertambangan batubara raksasa, PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), telah memperoleh persetujuan dari para pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk melakukan buyback saham senilai Rp 2,49 triliun. Manajemen ITMG secara eksplisit menyatakan bahwa salah satu alasan utama di balik keputusan buyback ini adalah keyakinan bahwa harga saham perseroan saat ini belum sepenuhnya merefleksikan nilai fundamental dan prospek jangka panjang perusahaan yang menjanjikan. Pelaksanaan pembelian kembali saham ini akan dilakukan melalui Bursa Efek, baik secara bertahahap maupun sekaligus, dan ditargetkan selesai paling lambat 12 bulan sejak tanggal RUPS Luar Biasa (RUPSLB), sesuai keterangan resmi Manajemen ITMG pada Selasa (4/11/2025).
Tak hanya ITMG, sejumlah emiten kakap lainnya juga turut aktif dalam tren buyback ini. PT Astra International Tbk (ASII), misalnya, belum lama ini mengumumkan rencana untuk melakukan buyback saham dengan alokasi dana maksimal sebesar Rp 2 triliun. Penting untuk dicatat bahwa jumlah buyback tersebut tidak akan melampaui 20% dari modal ditempatkan dan disetor perusahaan, serta memastikan jumlah saham free float pasca-buyback tidak kurang dari 7,5%. Program buyback saham ASII ini dijadwalkan berlangsung dari 3 November 2025 hingga 30 Januari 2026. Sejalan dengan induknya, anak usaha ASII, yaitu PT United Tractors Tbk (UNTR), juga tak ketinggalan menggelar buyback saham dengan jumlah maksimal Rp 2 triliun, yang akan dilaksanakan dari 31 Oktober 2025 sampai 30 Januari 2026. Di sektor perbankan, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) telah menyiapkan dana maksimal Rp 5 triliun untuk aksi korporasi serupa, yang akan berlangsung dari 22 Oktober 2025 hingga 19 Januari 2026.
Melihat fenomena ini, Analis BRI Danareksa Sekuritas, Reza Diofanda, mengungkapkan bahwa masifnya aksi buyback saham oleh emiten besar mencerminkan kombinasi antara kondisi fundamental perusahaan yang kuat, valuasi saham yang dianggap undervalued, serta posisi kas yang sangat solid. Menurutnya, dengan neraca keuangan yang sehat dan cadangan kas yang besar, emiten memiliki keleluasaan untuk melakukan buyback saham tanpa perlu mengganggu arus kas operasional maupun rencana ekspansi bisnis. Selain itu, kondisi pasar yang cenderung berfluktuasi belakangan ini justru menciptakan peluang strategis bagi emiten untuk membeli kembali sahamnya di level harga yang dinilai menarik.
Reza Diofanda menambahkan, “Aksi buyback sering dimanfaatkan manajemen sebagai sinyal kepercayaan terhadap prospek jangka panjang perusahaan dan upaya menjaga stabilitas harga saham di tengah potensi pelemahan likuiditas pasar,” ujarnya pada Jumat (7/11/2025). Senada dengan pandangan tersebut, Analis Korea Investment & Sekuritas Indonesia (KISI), Muhammad Wafi, juga menyatakan bahwa sebagian besar emiten melakukan buyback karena valuasi saham mereka sudah berada di bawah nilai wajarnya. Kondisi ini diperkuat dengan likuiditas pasar yang saat ini cukup tinggi, sehingga sangat mendukung pelaksanaan buyback saham. Wafi juga menegaskan, “Buyback juga bisa membantu menjaga stabilitas harga saham di tengah volatilitas indeks,” imbuhnya pada Sabtu (8/11/2025).
Dalam perspektif jangka pendek, aksi buyback saham umumnya dapat memberikan dampak positif bagi emiten yang bersangkutan. Hal ini karena aksi korporasi tersebut berpotensi mendorong sentimen bullish dan meningkatkan earning per share (EPS) melalui pengurangan jumlah saham yang beredar di publik. Namun, di sisi lain, buyback saham secara finansial dapat menyebabkan penurunan kas, meskipun dampaknya dinilai tidak signifikan bagi emiten berkapitalisasi besar. “Buat investor, buyback ini menunjukkan kepercayaan dari manajemen emiten, sehingga bisa menjadi momentum akumulasi,” kata Wafi, menyoroti implikasi bagi para pemegang saham.
Sementara itu, Reza Diofanda menjelaskan bahwa buyback saham bisa memberikan dua efek utama bagi investor. Pertama, secara psikologis, aksi buyback saham akan memperkuat kepercayaan pasar terhadap prospek jangka panjang emiten. Kedua, secara finansial, aksi buyback berpotensi meningkatkan nilai kepemilikan per saham karena jumlah saham beredar telah berkurang. Namun, Reza juga mengingatkan, “Efeknya terhadap harga saham tidak selalu langsung signifikan, tergantung pada skala buyback, kondisi pasar, dan keberlanjutan kinerja fundamental emiten ke depan.”
Reza melanjutkan, tren buyback saham diperkirakan masih akan berlanjut hingga awal tahun depan. Faktor pendorong utamanya adalah posisi keuangan emiten yang solid, volatilitas pasar yang tinggi, serta kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang memberikan fleksibilitas buyback tanpa perlu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Emiten dengan fundamental kuat dari sektor perbankan, otomotif dan alat berat, komoditas energi, serta konsumer primer diproyeksikan akan tetap aktif melakukan buyback saham. Senada, Wafi juga meyakini bahwa tren aksi buyback saham akan terus berlanjut sampai awal 2026, terutama jika volatilitas pasar masih tinggi dan valuasi saham-saham blue chip masih di bawah rata-rata. Menurutnya, emiten yang berpotensi melakukan buyback saham biasanya memiliki posisi kas yang kuat dan arus kas operasi yang positif.
Berdasarkan analisis tersebut, Reza merekomendasikan saham BBCA, UNTR, dan ASII untuk dapat dikoleksi oleh investor, dengan target harga masing-masing di level Rp 10.500 per saham, Rp 29.600 per saham, dan Rp 6.700 per saham. Dia menyarankan investor untuk masuk secara bertahap dan tidak sekadar ikut euforia buyback, mengingat efeknya pada harga saham seringkali hanya bersifat jangka pendek. Setali tiga uang, Wafi juga melihat saham BBCA, ASII, UNTR, dan ITMG masih menarik untuk diakumulasi secara bertahap. Wafi menargetkan saham BBCA dapat mencapai level Rp 10.000 per saham, ASII di level Rp 6.800 per saham, UNTR di level Rp 28.000 per saham, dan ITMG di level Rp 25.000 per saham.
Gelombang aksi buyback saham oleh sejumlah emiten besar seperti ITMG (Rp 2,49 triliun), ASII (Rp 2 triliun), UNTR (Rp 2 triliun), dan BBCA (Rp 5 triliun) menjadi sorotan utama pasar. Analis menginterpretasikan fenomena ini sebagai indikator kuat fundamental perusahaan yang kokoh, posisi kas melimpah, serta valuasi saham yang dianggap murah. Keputusan buyback juga mencerminkan kepercayaan manajemen terhadap prospek jangka panjang perusahaan dan upaya menjaga stabilitas harga saham di tengah fluktuasi pasar.
Aksi buyback ini umumnya memberikan dampak positif berupa sentimen bullish, peningkatan earning per share (EPS), dan nilai kepemilikan per saham bagi investor. Meskipun berpotensi menurunkan kas, dampaknya dinilai tidak signifikan bagi emiten berkapitalisasi besar. Tren buyback saham diperkirakan akan berlanjut hingga awal tahun depan, didorong oleh posisi keuangan emiten yang solid, volatilitas pasar, dan fleksibilitas kebijakan OJK. Investor disarankan untuk mengakumulasi saham-saham seperti BBCA, UNTR, ASII, dan ITMG secara bertahap.