
MNCDUIT.COM JAKARTA. Pergeseran menarik terjadi di pasar saham, dengan sinyal kuat rotasi dana investor dari saham-saham konglomerasi menuju saham blue chips yang lebih stabil. Indikasi ini terlihat jelas dari terkoreksinya harga saham perusahaan-perusahaan konglomerasi yang sebelumnya menjadi motor penggerak IHSG, sementara saham-saham unggulan yang tergabung dalam indeks LQ45 justru menunjukkan kebangkitan.
Pada hari Senin (20/10/2025), indeks LQ45 berhasil menguat dan ditutup pada level 796,31, naik sebesar 3,10%. Secara paralel, IHSG juga mencatatkan kenaikan signifikan sebesar 2,19% ke level 8.088. Namun, dalam rentang waktu satu minggu terakhir, performa keduanya menunjukkan perbedaan. Indeks LQ45 mencatatkan kenaikan tipis sebesar 0,62%, sementara IHSG masih terkoreksi sebesar 2,18%.
Koreksi pada IHSG ini dianggap sebagai hal yang wajar, mengingat saham-saham konglomerasi yang selama ini menjadi pendorong utama justru mengalami tekanan jual selama seminggu terakhir. Sebagai contoh, saham-saham emiten yang terafiliasi dengan konglomerat Happy Hapsoro, seperti PT Rukun Raharja Tbk (RAJA) dan PT Raharja Energi Cepu Tbk (RATU), mengalami penurunan harga yang signifikan, masing-masing sebesar 24,05% dan 23,19% dalam sepekan.
Gelombang penurunan juga melanda emiten-emiten yang terkait dengan Prajogo Pangestu. PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA), PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk (CUAN), PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA), PT Barito Pacific Tbk (BRPT), PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN), dan PT Petrosea Tbk (PTRO) turut mengalami penurunan harga yang cukup besar, masing-masing sebesar 20,18%, 16,61%, 12,73%, 10,45%, 5,60%, dan 3,90%.
Tak hanya itu, perusahaan-perusahaan di bawah naungan Hashim Djojohadikusumo, seperti PT Solusi Sinergi Digital Tbk (WIFI), serta hasil kolaborasi Grup Agung Sedayu-Salim melalui PT Bangun Kosambi Sukses Tbk (CBDK), juga mengalami koreksi harga masing-masing sebesar 16,23% dan 4,28% dalam periode yang sama.
Ada Blue Chip, 4 Saham Bayar Dividen Interim Oktober 2025, Pilih Beli / Jual?
Menurut Investment Analis Infovesta Kapital Advisori, Ekky Topan, fenomena ini dipicu oleh adanya perbedaan valuasi. Harga saham-saham konglomerasi telah melonjak tinggi dalam beberapa minggu terakhir, sementara banyak saham blue chips dengan fundamental yang solid justru mengalami tekanan jual. Akibatnya, investor melakukan pergeseran posisi, mengambil keuntungan (profit taking) dari saham-saham konglomerasi dan mengalihkan investasinya ke saham-saham yang memiliki fundamental kuat.
“Rotasi ini juga didukung oleh sejumlah sentimen domestik, seperti rencana suntikan dana Danantara, penyaluran BLT (bantuan langsung tunai) oleh pemerintah, serta akumulasi yang dilakukan oleh investor institusional lokal,” jelas Ekky kepada Kontan, Senin (20/10/2025).
Analis BRI Danareksa Sekuritas, Reza Diofanda, mengamati adanya peningkatan minat investor terhadap saham-saham sektor perbankan. Pada hari itu, saham-saham perbankan besar (big banks) secara serentak mencatatkan kenaikan harga.
PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) mencatatkan kenaikan harga masing-masing sebesar 5%, 6,17%, 5,14%, dan 6,32%. Dalam sepekan terakhir, keempat saham tersebut juga menunjukkan tren kenaikan masing-masing sebesar 8,25%, 1,90%, 1,10%, dan 3,32%.
Performa Indeks Kompas100 Ungguli Kinerja Blue Chip, Cek Saham Rekomendasi Analis
Salah satu faktor pendorongnya, menurut Reza, adalah ekspektasi penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) sebesar 25 basis poin menjadi 4,50% pada tanggal 22 Oktober 2025. Jika hal ini terjadi, suku bunga yang lebih rendah berpotensi mengurangi biaya pendanaan dan meningkatkan prospek margin keuntungan bagi bank.
“Selain itu, terdapat sentimen positif dari dana pensiun domestik yang mulai meningkatkan alokasi portofolionya ke saham-saham perbankan, sehingga memperkuat arus likuiditas di sektor ini,” tambah Reza.
Reza juga menyoroti bahwa secara valuasi, beberapa saham bank besar masih tergolong rendah dibandingkan dengan rata-rata historisnya. Sebagai contoh, BBCA saat ini diperdagangkan dengan price to book value (PBV) sekitar 3,3 kali, dengan valuasi 2,4 standar deviasi di bawah rata-rata valuasi BBCA dalam 5 tahun terakhir. Hal serupa juga terlihat pada BBTN dan BBNI, yang menunjukkan potensi akumulasi yang tinggi di sektor ini.
Namun demikian, Managing Director Research and Digital Production Samuel Sekuritas Indonesia, Harry Su, meragukan keberlanjutan kondisi tersebut. Ia menilai bahwa situasi makroekonomi dan kinerja keuangan konstituen LQ45 belum menunjukkan tren perbaikan yang jelas.
“Koreksi saham-saham konglomerasi memang masih dapat berlanjut dalam jangka pendek, namun belum tentu tren ini akan berlanjut secara berkepanjangan,” ujarnya.
Reza juga memiliki pandangan serupa. Ia berpendapat bahwa potensi rebound saham-saham konglomerasi masih terbuka, mengingat sejumlah emiten konglomerasi berpeluang untuk masuk ke dalam indeks global seperti Morgan Stanley Capital International (MSCI) pada bulan November mendatang. Jika hal ini terealisasi, maka akan berpotensi menarik minat investor institusi.
Ekky menambahkan bahwa tren penguatan saham-saham konglomerasi juga belum berakhir, karena secara struktural, banyak emiten konglomerasi masih memiliki proyek ekspansi dan katalis jangka panjang yang menarik.
Rekomendasi Saham
Di tengah kondisi pasar yang dinamis ini, Harry menyarankan agar investor tetap selektif dan tidak terburu-buru untuk mengalihkan portofolio sepenuhnya. Meskipun saham-saham blue chips saat ini terlihat menarik, fluktuasi pasar tetap dapat menghadirkan peluang dan risiko yang berbeda.
“Oleh karena itu, penting untuk menjaga diversifikasi portofolio dan memantau perkembangan kondisi makroekonomi, serta kebijakan-kebijakan yang dapat mempengaruhi kinerja sektor-sektor lainnya, termasuk sektor konglomerasi,” imbuhnya.
Reza menambahkan bahwa investor dapat melakukan rebalancing portofolio secara bertahap dengan fokus pada saham-saham blue chips yang likuid dan memiliki fundamental yang kuat.
Kenaikan harga saham perbankan dapat dimanfaatkan untuk trading jangka pendek, terutama untuk memanfaatkan sentimen penurunan suku bunga acuan BI maupun potensi inflow dari investor institusi seperti dana pensiun, katanya.
Ekky sependapat, dan menyarankan agar momentum ini dapat digunakan untuk melakukan akumulasi bertahap pada saham-saham blue chips, terutama bagi investor yang memiliki orientasi jangka menengah hingga panjang.
“Fase saat ini masih merupakan tahap akumulasi, belum mark up, namun jika sentimen tetap positif, potensi penguatan bisa terlihat dalam beberapa bulan ke depan atau awal tahun mendatang,” katanya.
IMF Prediksi Ekonomi RI 2025 Membaik, Jangan Telat Masuk Saham Blue Chip Bank Ini
Ekky merekomendasikan beberapa sektor yang menarik untuk dicermati, antara lain sektor perbankan, properti, dan konsumsi (seperti rokok, makanan, dan tekstil). Selain itu, sektor energi terbarukan dan bahan baku (seperti baja dan nikel) juga tetap menarik karena prospek jangka panjangnya yang masih solid.
Senada dengan Ekky, Harry juga berpendapat bahwa saham-saham komoditas masih berpotensi untuk melanjutkan reli selama harga global tetap tinggi, terutama emas yang telah menembus rekor baru.
Untuk sektor perbankan, ia memprediksi bahwa tekanan jangka pendek masih akan berlanjut, namun prospek jangka panjang sektor ini akan tetap positif berkat fundamental yang solid dan potensi pemulihan kredit. Sektor konsumer defensif, seperti fast-moving consumer goods (FMCG) dan ritel modern, juga dinilai akan tetap menjadi pilihan yang aman bagi investor di tengah volatilitas pasar.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, Harry merekomendasikan saham BBCA dengan target harga Rp 9.600, PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) Rp 3.900, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) Rp 12.800, PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT) Rp 3.000, dan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) Rp 2.000.
Sementara itu, saham-saham yang bisa dicermati dalam jangka pendek menurut Reza adalah PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), PT MAP Aktif Adiperkasa Tbk (MAPA), BBCA, dan BBTN.
Pergeseran signifikan terjadi di pasar saham, di mana dana investor berotasi dari saham konglomerasi yang terkoreksi tajam menuju saham blue chips yang lebih stabil. Indeks LQ45 dan saham-saham perbankan besar menguat, sementara saham emiten konglomerasi seperti yang terafiliasi dengan Happy Hapsoro dan Prajogo Pangestu mengalami penurunan harga signifikan. Analis menjelaskan pergeseran ini karena perbedaan valuasi, aksi ambil untung, dan pengalihan ke saham berfundamental kuat, didukung sentimen domestik.
Sektor perbankan menjadi fokus utama investor karena ekspektasi penurunan suku bunga acuan BI yang berpotensi meningkatkan margin keuntungan bank. Valuasi beberapa saham bank besar juga masih dianggap menarik dibandingkan rata-rata historisnya. Investor disarankan untuk tetap selektif, mendiversifikasi portofolio, dan mengakumulasi saham blue chips berfundamental kuat secara bertahap. Beberapa sektor yang direkomendasikan termasuk perbankan, properti, konsumsi, energi terbarukan, dan komoditas.