
MNCDUIT.COM – Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa rencana redenominasi Rupiah tidak akan mengurangi nilai maupun daya beli masyarakat. Kebijakan ini murni bertujuan untuk menyederhanakan jumlah digit pada pecahan uang Rupiah tanpa mengubah nilainya terhadap harga barang dan jasa.
“Redenominasi Rupiah merupakan langkah strategis untuk meningkatkan efisiensi transaksi, memperkuat kredibilitas Rupiah, serta mendukung modernisasi sistem pembayaran nasional,” kata Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso di Jakarta, Senin (10/11).
Denny menjelaskan, proses redenominasi direncanakan secara matang dan melibatkan koordinasi erat antarseluruh pemangku kepentingan. Saat ini, Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2025-2029, sebagai RUU inisiatif Pemerintah atas usulan BI.
Selanjutnya, BI bersama Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan terus melakukan pembahasan mengenai proses redenominasi. Implementasi redenominasi tetap mempertimbangkan waktu yang tepat, dengan memperhatikan stabilitas politik, ekonomi, sosial serta kesiapan teknis termasuk hukum, logistik, dan teknologi informasi.
“Selama proses ini berlangsung, Bank Indonesia akan tetap fokus menjaga stabilitas nilai Rupiah dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional,” tambah Denny.
Di sisi lain, wacana redenominasi menuai beragam pandangan dari kalangan ekonom. Pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan, langkah ini belum menjadi prioritas di tengah kondisi ekonomi yang masih rapuh akibat tekanan daya beli dan stagnasi investasi.
“Masalahnya bukan pada konsep redenominasi, tetapi pada timing dan motivasinya. Saat rakyat masih bergulat dengan harga bahan pokok dan pengangguran meningkat, redenominasi terasa seperti mempercantik dinding rumah yang retak tanpa memperbaiki fondasinya,” ujarnya.
Menurut Achmad, kebijakan ini cenderung bersifat simbolik, lebih menonjolkan gengsi dan citra politik ekonomi ketimbang menjawab kebutuhan riil masyarakat. Dia mengingatkan bahwa redenominasi hanya akan efektif di negara dengan stabilitas makroekonomi dan kepercayaan publik yang kuat, seperti Turki atau Korea Selatan.
“Indonesia belum berada pada tahap itu. Nilai tukar Rupiah masih sensitif terhadap tekanan eksternal, dan masyarakat masih terbiasa dengan nominal besar. Perubahan menjadi Rupiah baru justru berpotensi menimbulkan kebingungan harga dan persepsi inflasi,” jelasnya.
Dia menilai, alih-alih memoles angka Rupiah, pemerintah sebaiknya fokus memperkuat ekonomi riil melalui penciptaan lapangan kerja, pengendalian harga pangan, dan peningkatan kualitas pelayanan publik.
“Martabat Rupiah tidak ditentukan oleh berapa nol di belakangnya, melainkan oleh seberapa kuat rakyatnya menopang perekonomian nasional,” pungkas Achmad.