MNCDUIT.COM, JAKARTA — Kekhawatiran akan dampak kebijakan fiskal dan moneter yang ekspansif sejak kuartal III/2025 terhadap laju inflasi mulai mencuat ke permukaan. Sejak akhir 2024, Bank Indonesia (BI) telah menerapkan kebijakan suku bunga yang longgar dan pro-pertumbuhan. Di sisi fiskal, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa turut menggebrak dengan menginjeksi likuiditas sebesar Rp200 triliun ke Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) pada September 2025, ditambah beragam stimulus ekonomi lain. Namun, seberapa besar kontribusi kebijakan ini terhadap tekanan inflasi?
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2025 menunjukkan inflasi bulanan mencapai 0,21% (month-to-month/mtm) dan inflasi tahunan sebesar 2,65% (year-on-year/YoY). Sementara itu, inflasi tahun berjalan dari Januari hingga September 2025 tercatat 1,82% (year-to-date/ytd). Melihat dinamika ini, Kepala Departemen Riset Makroekonomi dan Pasar Keuangan PT Bank Permata Tbk., Faisal Rachman, memproyeksikan deflasi bulanan sebesar 0,05% pada Oktober 2025 (MtM), dengan inflasi tahunan yang melandai ke 2,65% (yoy) dari bulan sebelumnya.
Faisal menjelaskan bahwa kebijakan ekspansif BI dan Menkeu Purbaya berpotensi menyumbang kenaikan inflasi akibat peningkatan suplai uang di perekonomian. Estimasi dampaknya berada di kisaran 0,3 hingga 0,5 persentase poin. Kendati demikian, ia menilai efek dari melimpahnya likuiditas ini akan terbatas. Alasannya, perekonomian Indonesia masih beroperasi di bawah output gap yang negatif, tekanan terhadap permintaan tetap terkendali, serta potensi normalisasi harga emas di tengah membaiknya sentimen risiko global.
“Kami tidak mengantisipasi inflasi bisa meningkat hingga di atas level 3%,” ujar Faisal Rachman, seorang profesional dengan dua gelar Master dari National University of Singapore dan University of Edinburgh, dalam keterangan tertulisnya pada Jumat (31/10/2025). Dengan pertimbangan tersebut, Bank Permata mempertahankan perkiraan inflasi akhir 2025 di rentang 2% hingga 2,5%, masih dalam target BI (1,5%–3,5%). Secara spesifik, perkiraan inflasi akhir 2025 adalah 2,33%, lebih tinggi dibandingkan 1,57% pada periode yang sama tahun sebelumnya. Prediksi ini juga mempertimbangkan langkah pemerintah yang akan mengendalikan inflasi akhir tahun melalui diskon tiket transportasi saat libur Natal dan Tahun Baru.
: Industri Tekstil Menanti Tangan Dingin Purbaya Sikat Mafia Impor Baju Bekas
Berbeda pandangan, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BCA), David Sumual, menilai ekspansi likuiditas oleh BI dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum menunjukkan indikasi dampak signifikan terhadap inflasi. Meskipun aktivitas belanja masyarakat diperkirakan meningkat sejalan dengan momentum musiman Natal dan Tahun Baru, David melihat kebijakan suku bunga yang longgar, injeksi dana Rp200 triliun ke Himbara, serta berbagai program stimulus belum akan memicu kenaikan harga secara drastis.
: : Purbaya Tinggalkan Burden Sharing, Apa Opsi Menutup Defisit?
“Belum ada indikasi dampak ke inflasi. Harga pangan stabil sementara berbagai produk impor yang deras masuk ke dalam negeri justru harganya relatif stabil turun,” terang David kepada Bisnis. Ia menambahkan, kebijakan fiskal yang ekspansif dari Kemenkeu memang bisa menstabilkan ekonomi dan mencegah penurunan lebih lanjut, namun sifatnya dinilai hanya sementara.
David Sumual mengakui bahwa kebijakan ekspansif fiskal ini dapat membantu pemerintah mencapai target pertumbuhan ekonomi di atas 5,5% (yoy), seperti yang diutarakan Menkeu Purbaya dan jajarannya. Namun, ia memprediksi pertumbuhan ekonomi sepanjang 2025 masih akan berkisar di angka 5%. “Kebijakan-kebijakan ini sifatnya masih ’emergency’ ibarat kafein yang dampaknya hanya temporer. Perlu dilanjutkan dengan kebijakan-kebijakan yang bisa dorong pertumbuhan lebih sustain dalam jangka menengah panjang,” tuturnya.
: : Setelah Purbaya Ultimatum Bursa, BEI Aktif Saring Emiten IPO
Tertahan Pertumbuhan Ekonomi
Menanggapi perdebatan tersebut, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia pada Selasa (28/10/2025) menegaskan bahwa pengaruh suplai uang berlebih terhadap inflasi masih menjadi diskusi di kalangan ekonom. Ia berpandangan bahwa mencetak uang tidak selalu serta-merta mendorong inflasi. Fenomena yang dikenal sebagai demand-pull inflation, menurut Purbaya, tidak akan terjadi apabila laju pertumbuhan ekonomi suatu negara masih berada di bawah potensialnya. Dalam konteks Indonesia, mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu menyebut rata-rata pertumbuhan ekonomi 5% saat ini belum menyentuh level potensial yang seharusnya.
Purbaya menilai, Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi 6% hingga 7% dalam jangka pendek untuk dapat menyerap tenaga kerja di usia produktif ke sektor formal. Angka ini sejalan dengan target pertumbuhan 8% yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto. “Nanti kalau pertumbuhan ekonomi di atas [6%-7%] dalam beberapa tahun baru timbul apa yang disebut demand-pull inflation. Kalau sekarang terlalu dini,” pungkasnya.
Kebijakan fiskal dan moneter ekspansif sejak akhir 2024, termasuk pelonggaran suku bunga BI dan injeksi likuiditas Rp200 triliun oleh Menkeu Purbaya, memicu kekhawatiran kenaikan inflasi. Faisal Rachman dari Bank Permata memprediksi kebijakan ini dapat menyumbang kenaikan inflasi 0,3-0,5 pp, namun dampaknya terbatas karena output gap negatif dan permintaan terkendali, sehingga inflasi akhir 2025 diperkirakan 2%-2,5%. Sementara itu, David Sumual dari BCA berpendapat ekspansi likuiditas belum menunjukkan dampak signifikan, dengan harga pangan dan produk impor yang cenderung stabil.
Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menjelaskan bahwa peningkatan suplai uang tidak selalu menyebabkan inflasi jika pertumbuhan ekonomi masih di bawah potensial. Ia menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini sebesar 5% belum mencapai level potensial yang dibutuhkan, yakni 6-7%. Purbaya menegaskan bahwa inflasi tarikan permintaan baru akan muncul setelah pertumbuhan ekonomi stabil di atas angka tersebut selama beberapa tahun, sehingga saat ini terlalu dini untuk mengkhawatirkan inflasi berlebih.