BI Rate Turun, Kapan Suku Bunga Kredit Bank Ikut Turun?

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyoroti fokus utama industri perbankan saat ini: menjaga kualitas penyaluran kredit. Langkah ini menjadi strategi mitigasi penting untuk menghadapi potensi peningkatan risiko kredit, terutama di tengah kondisi perlambatan ekonomi global.

Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, suku bunga kredit perbankan menunjukkan tren penurunan. Secara tertimbang, tercatat penurunan sebesar 11 basis poin (bps) secara tahunan, yakni dari 9,11 persen pada Mei 2024 menjadi 9 persen per Mei 2025. Penurunan ini didorong oleh sektor kredit produktif. Ironisnya, di sisi lain, suku bunga Dana Pihak Ketiga (DPK) justru mengalami kenaikan, dari 2,81 persen pada Mei tahun lalu menjadi 2,88 persen. Kondisi ini mengindikasikan bahwa meskipun terjadi peningkatan pada harga pokok dana kredit (HPDK) yang berpotensi menaikkan suku bunga dasar kredit (SBDK), bank-bank lebih memprioritaskan menjaga stabilitas kualitas kredit. “Bank lebih memprioritaskan untuk tetap menjaga kualitas kredit sehingga meningkatnya SBDK tidak membebani kemampuan membayar debitur,” jelas Dian pada Jumat (1/8).Img AA1JJ1bv

Umumnya, penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) akan direspons dengan penurunan suku bunga kredit, meskipun dengan jeda waktu tertentu. Oleh karena itu, suku bunga kredit diperkirakan masih akan terus menurun sebagai respons terhadap proyeksi penurunan BI rate pada tahun 2025. Dukungan lain datang dari ekspektasi penurunan suku bunga global, khususnya Fed funds rate (FFR) dari The Federal Reserve pada triwulan IV tahun ini. OJK melihat adanya potensi penurunan suku bunga lebih lanjut, namun besarnya ruang penurunan ini sangat bergantung pada struktur biaya masing-masing bank.

Setiap bank memiliki biaya dana atau Cost of Fund (CoF) yang berbeda-beda. Sebagian bank masih sangat mengandalkan dana mahal, seperti deposito berjangka, karena pertumbuhan DPK cenderung melambat. Untuk itu, OJK menekankan pentingnya strategi pendanaan yang efektif. Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) itu menjelaskan, “Bank perlu mengelola strategi pendanaan mereka. Khususnya dengan meningkatkan porsi dana murah, untuk menciptakan ruang penurunan bunga kredit yang lebih signifikan.”

Tantangan lain muncul ketika suku bunga acuan berada pada level tinggi, membuat bank sulit menurunkan bunga simpanan tanpa mengorbankan likuiditas dan berdampak pada Net Interest Margin (NIM) mereka, terutama bagi bank yang bergantung pada dana mahal. Di samping itu, bank juga secara proaktif membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) sebagai antisipasi terhadap potensi peningkatan risiko kredit akibat gejolak perekonomian, yang pada gilirannya dapat meningkatkan risk premium. Oleh karena itu, Dian menegaskan, “Penurunan suku bunga kredit harus tetap mempertimbangkan prinsip kehati-hatian dan kondisi keuangan masing-masing bank, bukan pendekatan homogen.”

Di tengah dinamika industri perbankan, Maybank Indonesia, melalui Presiden Direkturnya Steffano Ridwan, terus memperkuat portofolio kreditnya pada segmen-segmen strategis seperti usaha kecil menengah (UKM), korporasi lokal skala besar, dan ritel. Pertumbuhan kredit pada segmen ritel dan non-ritel community financial services (CFS) tercatat solid sebesar 9,2 persen secara tahunan (YoY), mencapai Rp 84,51 triliun. Kredit segmen non-ritel bahkan melonjak dua digit sebesar 12,1 persen menjadi Rp 37,5 triliun. Steffano Ridwan memaparkan, “Pada semester I 2025, Maybank Indonesia mencatat peningkatan pada pendapatan top line, didorong oleh pertumbuhan kredit yang berkelanjutan pada segmen-segmen utama, sehingga turut mendorong pendapatan bunga yang lebih tinggi dan yield terhadap saldo kredit.” Meskipun demikian, Maybank Indonesia melakukan upaya rebalancing portofolio kredit, yang mengakibatkan total kredit yang dicatat turun tipis 1,1 persen YoY menjadi Rp 121,69 triliun. Penurunan ini terjadi karena kontraksi pada kredit korporasi, meskipun telah diimbangi oleh kinerja positif dari kredit ritel dan non-ritel CFS.

Ringkasan

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyoroti pentingnya menjaga kualitas penyaluran kredit perbankan sebagai mitigasi risiko di tengah perlambatan ekonomi global. Suku bunga kredit perbankan menunjukkan tren penurunan secara tertimbang dari 9,11% menjadi 9% per Mei 2025, didorong oleh kredit produktif. Namun, suku bunga Dana Pihak Ketiga (DPK) justru mengalami kenaikan, mengindikasikan bank memprioritaskan kualitas kredit meskipun ada potensi kenaikan harga pokok dana. Penurunan suku bunga kredit diperkirakan akan terus berlanjut sebagai respons terhadap proyeksi penurunan BI rate pada tahun 2025 dan ekspektasi penurunan suku bunga global.

Setiap bank memiliki struktur biaya dana yang berbeda, sehingga OJK menekankan pentingnya mengelola strategi pendanaan, termasuk meningkatkan porsi dana murah, untuk ruang penurunan bunga yang lebih signifikan. Penurunan suku bunga kredit harus tetap mempertimbangkan prinsip kehati-hatian dan kondisi keuangan spesifik tiap bank, bukan pendekatan homogen. Bank juga membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) sebagai antisipasi risiko kredit. Contohnya, Maybank Indonesia memperkuat portofolio kredit pada segmen strategis seperti UKM dan ritel, menunjukkan pertumbuhan solid pada kredit ritel dan non-ritel CFS.

You might also like