Di sektor perbankan, fundamental yang kokoh tak lagi menjadi pengungkit utama pergerakan harga saham. Fenomena ini paling kentara terlihat pada saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang terus menghadapi tekanan, meskipun dari sisi profitabilitas, Bank Central Asia terbilang unggul jauh dibandingkan para pesaingnya.
Kinerja keuangan BCA memang patut diacungi jempol. Selama delapan bulan pertama tahun 2025, bank ini berhasil membukukan laba bersih “bank only” yang fantastis, mencapai Rp 39,06 triliun hingga Agustus. Angka ini merepresentasikan pertumbuhan impresif sebesar 8,52% secara tahunan (YoY), meningkat signifikan dari Rp 35,99 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Laju pertumbuhan laba bersih BCA ini jelas berbeda drastis dengan kondisi para “big banks” lainnya. Sebut saja PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) yang justru mengalami tekanan dengan penurunan laba lebih dari 5% YoY. Bahkan, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) mencatat penurunan paling dalam, mencapai 9,9% YoY, dengan laba Rp 32,6 triliun per Agustus 2025.
Namun, ironisnya, fundamental cemerlang tersebut tidak selaras dengan pergerakan harga saham bank swasta terbesar di Indonesia ini di pasar saham. Pada perdagangan Rabu (1/10/2025), saham BBCA justru ditutup melemah ke level Rp 7.500 per saham, yang menandai harga penutupan terendah sepanjang tahun 2025. Ini menjadi sorotan tajam bagi investor.
Secara kumulatif, sepanjang tahun 2025, saham BCA telah mengalami koreksi sekitar 22,48%. Meskipun demikian, koreksi ini sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan saham big banks lainnya seperti BMRI yang pada periode serupa tercatat turun sekitar 23,16%.
Menanggapi fenomena ini, Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus, menjelaskan bahwa kinerja fundamental BCA sebetulnya masih terbilang sangat solid dan aman. Namun, ia mengakui bahwa kinerja saham saat ini sedang diuji oleh kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil. Lebih lanjut, ia mengindikasikan adanya pergeseran minat investor ke sektor-sektor lain yang dianggap lebih menjanjikan keuntungan di luar perbankan, sehingga saham bank besar seperti BCA turut ditinggalkan.
Nico juga menambahkan, banyak pelaku pasar saham dan investor kini memiliki ekspektasi yang lebih rendah terhadap saham BBCA, meskipun secara fundamental perusahaan tersebut sangat baik dan memiliki potensi valuasi yang kuat di masa depan. Meski demikian, ia optimis bahwa penurunan harga saham BCA ini hanyalah masalah waktu, dan masih ada potensi signifikan bagi BBCA untuk kembali menguat di masa mendatang.
PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menghadapi tekanan pada harga sahamnya meskipun mencatat profitabilitas yang unggul dibanding pesaing. Selama delapan bulan pertama 2025, laba bersih BCA tumbuh 8,52% secara tahunan menjadi Rp 39,06 triliun, berlawanan dengan bank besar lain yang labanya menurun lebih dari 5%. Ironisnya, saham BBCA ditutup melemah ke Rp 7.500 per saham pada 1 Oktober 2025, menandai harga terendah sepanjang tahun dan telah terkoreksi sekitar 22,48% secara kumulatif.
Menurut Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus, fundamental BCA masih sangat solid dan aman. Penurunan harga saham diakibatkan oleh kondisi ekonomi yang belum stabil serta pergeseran minat investor ke sektor lain di luar perbankan. Meski ekspektasi pasar kini lebih rendah, ia optimis potensi penguatan dan valuasi BBCA di masa depan masih signifikan.