
Serangan mendadak yang dilancarkan Amerika Serikat (AS) terhadap tiga fasilitas nuklir Iran pada Sabtu (21/6) waktu setempat telah mengguncang pasar global. Presiden AS Donald Trump bahkan mengklaim operasi ini sebagai “sangat sukses” dan menyebut program nuklir Iran telah berhasil dilumpuhkan. Namun, aksi militer signifikan ini, tak pelak, sontak memicu kekhawatiran meluas di kalangan investor, terutama terkait potensi lonjakan tajam harga minyak global dan tekanan tak terhindarkan terhadap nilai tukar rupiah.
Eskalasi ketegangan ini semakin diperburuk dengan dugaan keterlibatan AS dalam konflik yang membara antara Iran dan Israel. Kondisi ini dikhawatirkan akan memperparah situasi geopolitik di Timur Tengah, memicu gelombang ketidakpastian yang berpotensi menggoyahkan stabilitas ekonomi global secara lebih luas.
Kekhawatiran pasar semakin dipertegas oleh analisis Lukman Leong, seorang analis dari Doo Financial Futures, yang memprediksi harga minyak global berpotensi menembus level US$ 80 per barel dalam jangka pendek. Prediksi ini bukan tanpa dasar, mengingat data dari Trading Economics menunjukkan bahwa harga minyak Brent pada Jumat (20/6) telah mencapai US$ 77.27 per barel, angka yang menunjukkan peningkatan 0,74% dari hari sebelumnya dan lonjakan signifikan sebesar 19,04% dalam sebulan terakhir.
Menurut Lukman, lonjakan harga minyak bisa melesat jauh lebih tinggi apabila Iran menunjukkan resistensi yang kuat, ditambah lagi jika negara-negara besar seperti di Eropa, China, dan Rusia, ikut terseret dalam pusaran konflik. Lebih lanjut, potensi gangguan pada produksi dan rantai logistik pasokan, serta absennya respons konkret dari OPEC+, dapat memperparah kondisi pasar, memicu kenaikan harga yang lebih drastis lagi.
Di tengah potensi kenaikan minyak, nilai tukar rupiah juga diperkirakan tidak akan terhindar dari tekanan. Lukman memproyeksikan rupiah akan bergerak di kisaran yang lebih lemah, yakni antara Rp 16.400 hingga Rp 16.500 per dolar AS. Menariknya, dalam kondisi ketidakpastian geopolitik saat ini, investor cenderung mencari ‘aset aman’ (safe-haven assets) seperti yen Jepang (JPY) dan franc Swiss (CHF), alih-alih berinvestasi pada dolar AS, sebagai upaya melindungi portofolio mereka dari gejolak pasar.
Serangan mendadak Amerika Serikat terhadap tiga fasilitas nuklir Iran pada Sabtu (21/6) mengguncang pasar global. Operasi militer ini memicu kekhawatiran meluas di kalangan investor, terutama terkait lonjakan harga minyak global dan tekanan pada nilai tukar rupiah. Eskalasi ketegangan ini dikhawatirkan memperparah situasi geopolitik di Timur Tengah dan menggoyahkan stabilitas ekonomi global.
Analis Lukman Leong memprediksi harga minyak global berpotensi menembus US$ 80 per barel, mengingat harga minyak Brent telah mencapai US$ 77.27 per barel pada Jumat sebelumnya. Lonjakan harga bisa lebih drastis jika Iran menunjukkan resistensi kuat atau negara besar lain terseret konflik. Nilai tukar rupiah diperkirakan melemah di kisaran Rp 16.400 hingga Rp 16.500 per dolar AS. Dalam kondisi ketidakpastian ini, investor cenderung mencari aset aman seperti yen Jepang dan franc Swiss.