ADMR: Harga Komoditas Pengaruhi Kinerja, Ini Rekomendasi Saham Adaro Minerals!

JAKARTA – PT Alamtri Minerals Indonesia Tbk (ADMR), atau yang dikenal sebagai Adaro Minerals, mencatatkan penurunan kinerja yang cukup terasa sepanjang periode Januari hingga September 2025. Dinamika harga hard coking coal global menjadi faktor sentimen kunci yang akan terus membentuk performa ADMR di masa mendatang.

Selama sembilan bulan pertama tahun 2025, Adaro Minerals membukukan pendapatan sebesar US$ 675,1 juta, menunjukkan penurunan 19,7% secara tahunan (yoy). Sejalan dengan itu, laba bersih perusahaan juga tergerus menjadi US$ 204,2 juta, anjlok 38,7% yoy dari periode yang sama tahun sebelumnya.

Analis Ciptadana Sekuritas Asia, Thomas Radityo, menjelaskan bahwa pelemahan laba ini terutama disebabkan oleh kinerja kuartal III-2025 yang kurang memuaskan, meskipun pada kuartal-kuartal sebelumnya perusahaan telah menunjukkan efisiensi operasional yang solid. Pendapatan yang menurun sebagian besar diakibatkan oleh merosotnya harga jual rata-rata (ASP) sebesar 31,5%, meskipun di sisi lain, produktivitas batubara ADMR justru meningkat 12,2%.

Thomas menambahkan, ADMR tetap menunjukkan kedisiplinan dalam pengelolaan biaya, dengan harga pokok produksi (HPP) yang hanya naik tipis 0,7% yoy. Namun, peningkatan biaya karyawan melonjak signifikan hingga 99% yoy menjadi US$ 13,8 juta. Hal ini mendorong total pengeluaran operasional (opex) naik 21,3% seiring dengan upaya Adaro Minerals meningkatkan kapasitas untuk mendukung proyek batubara kokas dan pengembangan aluminium hijau. Akibatnya, laba operasional perusahaan terkoreksi 42,6% yoy menjadi US$ 234,8 juta. Untungnya, peningkatan pendapatan lain-lain sebesar 94,0% yoy mampu sedikit meredam kontraksi laba tersebut.

Melihat ke depan, Managing Director Research & Digital Production Samuel Sekuritas Indonesia, Harry Su, memperkirakan bahwa kinerja ADMR pada kuartal IV-2025 berpotensi tetap solid. Proyeksi ini didukung oleh potensi kenaikan volume penjualan dibandingkan kuartal sebelumnya, seiring dengan membaiknya kondisi cuaca. Secara produksi, per September 2025, ADMR telah mencapai sekitar 84% hingga 91% dari target panduan produksi setahun penuh yang berkisar antara 5,9 juta hingga 6,4 juta ton, menyisakan ruang yang cukup besar untuk peningkatan volume di kuartal terakhir.

Harry Su juga menyoroti tren harga hard coking coal global yang mulai menunjukkan perbaikan, yang berpotensi mendorong kenaikan ASP menjelang akhir tahun. Meski demikian, ia mengingatkan bahwa tantangan utama ADMR di kuartal IV-2025 akan berpusat pada sisi operasional dan biaya. Pada kuartal III-2025, volume penjualan sempat tertekan sekitar 4% secara kuartalan (QoQ) akibat kendala barging atau logistik, meskipun produksi meningkat. Risiko serupa bisa saja muncul kembali jika cuaca memburuk atau terjadi gangguan pada rantai pasok. Selain itu, stripping ratio yang meningkat menjadi 3,8x di kuartal III-2025 dibandingkan 3,3x di kuartal II-2025 juga berpotensi menekan margin kotor, sehingga pengelolaan overburden menjadi aspek krusial yang perlu diperhatikan.

Lebih lanjut, Harry mengatakan bahwa investor perlu mencermati beberapa sentimen utama untuk menilai kinerja ADMR hingga akhir 2025. Selain tren harga hard coking coal global yang sangat mempengaruhi laba perusahaan, perkembangan proyek smelter aluminium PT Kalimantan Aluminium Industry (KAI) juga menjadi katalis penting. Proyek ini ditargetkan mulai berproduksi pada akhir 2025, dan progresnya dinilai strategis karena pasar mulai melihat ADMR bukan lagi sekadar emiten batubara kokas, melainkan juga calon pemain utama di sektor hilir aluminium.

Sejalan dengan pandangan tersebut, Rizal Rafly, Analis Ajaib Sekuritas Asia, menyatakan bahwa proyek KAI sangat relevan dengan kebijakan hilirisasi pemerintah dan bertujuan untuk mengurangi impor aluminium. Proyek ini membuka peluang besar bagi pasokan domestik dan penetrasi pasar ekspor setelah beroperasi penuh. Rizal memproyeksikan harga batubara kokas global akan tetap tinggi dalam waktu dekat, dengan rata-rata sekitar US$ 200 per ton pada tahun 2026, didukung oleh permintaan kuat dari India dan Asia Tenggara di tengah pasokan global yang ketat. Namun, risiko utama seperti volatilitas harga batubara metalurgi, potensi hambatan dalam pelaksanaan proyek, serta pergeseran permintaan di industri baja, terutama di Tiongkok dan India, tetap perlu diwaspadai oleh investor.

Menutup analisisnya, Thomas Radityo memproyeksikan pendapatan ADMR pada tahun 2025 dapat mencapai US$ 946 juta dengan laba bersih sekitar US$ 264 juta. Angka ini dibandingkan dengan pendapatan Adaro Minerals tahun 2024 sebesar US$ 1,15 miliar dan laba bersih US$ 437 juta. Berdasarkan analisis tersebut, Thomas merekomendasikan hold saham ADMR dengan target harga Rp 1.400 per saham. Sementara itu, Harry Su dan Rizal Rafly memiliki pandangan lebih optimis, merekomendasikan buy saham ADMR dengan target harga yang sama, yakni Rp 1.500 per saham.

Ringkasan

PT Alamtri Minerals Indonesia Tbk (ADMR) mencatatkan penurunan kinerja signifikan pada periode Januari-September 2025, dengan pendapatan sebesar US$ 675,1 juta dan laba bersih US$ 204,2 juta. Penurunan ini terutama disebabkan oleh merosotnya harga jual rata-rata (ASP) sebesar 31,5%, meskipun produktivitas batu bara ADMR justru meningkat. Dinamika harga hard coking coal global menjadi faktor kunci yang mempengaruhi performa perusahaan.

Kinerja ADMR diperkirakan akan membaik di kuartal IV-2025 didukung potensi kenaikan volume penjualan dan perbaikan harga hard coking coal global. Proyek smelter aluminium PT Kalimantan Aluminium Industry (KAI) yang ditargetkan berproduksi akhir 2025 juga menjadi katalis penting bagi diversifikasi bisnis ADMR. Namun, tantangan operasional, pengelolaan biaya, serta volatilitas harga batubara metalurgi tetap perlu diwaspadai. Analis memberikan rekomendasi bervariasi antara “hold” dan “buy” untuk saham ADMR.

You might also like