
MNCDUIT.COM – JAKARTA. Dolar Amerika Serikat (AS) menunjukkan penguatan pasca keputusan The Fed untuk mempertahankan suku bunga acuannya. Kendati demikian, proyeksi menunjukkan bahwa reli dolar AS ini mungkin hanya bersifat sementara dan tidak akan bertahan lama.
Berdasarkan data real-time dari Trading Economics pada Kamis (19/6) pukul 13.01 WIB, indeks dolar AS (DXY) tercatat di level 99,06 basis poin (bps). Ini merefleksikan penguatan 0,17% secara harian dan lonjakan impresif 1,17% dalam periode kumulatif sepekan.
Meskipun demikian, optimisme terhadap ketahanan penguatan indeks dolar DXY diredam oleh pandangan Lukman Leong, seorang Analis dari Doo Financial Futures, yang menyatakan bahwa kenaikan ini tidak akan berlangsung lama.
“Situasi ini hanyalah kejadian sesaat (one off situation), yang tidak akan memberikan dukungan berkelanjutan bagi dolar AS dalam jangka panjang,” tegas Lukman dalam wawancaranya dengan Kontan, Kamis (19/6).
Lukman menjelaskan prediksinya didasari oleh keyakinan bahwa The Fed, secara fundamental, masih akan melakukan pemotongan suku bunga sebanyak dua kali di sepanjang tahun ini, dengan masing-masing pemangkasan setidaknya 25 basis poin.
Dolar AS Menguat Tipis Kamis (19/6) Pagi, Waspadai Inflasi & Konflik Timur Tengah
Lebih lanjut, Lukman menyoroti bahwa dolar AS kini sangat tertekan oleh sentimen negatif yang bersumber dari gaya kepemimpinan Presiden AS Donald Trump yang penuh gejolak dan kontroversi. Akibatnya, kepercayaan investor terhadap dolar AS sebagai aset safe haven mulai terkikis.
Implikasinya, meskipun lanskap global diwarnai ketidakpastian, dolar AS tidak lagi menjadi pilihan utama untuk tujuan lindung nilai (hedging). Konsekuensinya, apresiasi nilainya akan sangat terbatas. Pasar justru lebih condong melirik dua mata uang lain sebagai safe haven alternatif, yaitu yen Jepang (JPY) dan franc Swiss (CHF).
“Pelemahan signifikan yang terjadi tahun ini turut dipicu oleh ekspektasi resesi pada ekonomi AS, sebuah konsekuensi dari kebijakan proteksionisme yang diusung oleh Donald Trump,” imbuh Lukman.
Selama belum ada kesepakatan mengenai tarif yang secara definitif mampu meredakan eskalasi perang dagang global, Lukman memperkirakan bahwa dolar AS akan menghadapi kesulitan besar untuk kembali pulih. Faktor lain yang memperberat adalah tren bank-bank sentral dunia yang kini mulai aktif mendiversifikasi cadangan devisanya, tidak lagi terlalu bergantung pada dolar AS.
“Jika tidak ada perkembangan signifikan dan positif terkait isu tarif, DXY berpotensi anjlok ke level 93 basis poin pada kuartal III-2025,” pungkasnya.
Rupiah Spot Dibuka Melemah di Level Rp 16.363 terhadap Dolar AS, Kamis (19/6)
Dolar AS menunjukkan penguatan setelah Federal Reserve mempertahankan suku bunga acuannya, namun kenaikan ini diproyeksikan hanya bersifat sementara. Analis Lukman Leong menyatakan bahwa penguatan ini adalah kejadian sesaat yang tidak akan memberikan dukungan berkelanjutan bagi dolar dalam jangka panjang, didasari keyakinan The Fed masih akan memotong suku bunga dua kali tahun ini.
Pelemahan jangka panjang dolar AS dipengaruhi oleh sentimen negatif kepemimpinan Presiden AS Donald Trump yang mengikis kepercayaan investor terhadap dolar sebagai aset safe haven, membuat pasar beralih ke yen Jepang dan franc Swiss. Dolar juga tertekan oleh diversifikasi cadangan devisa bank sentral dunia dan isu perang dagang yang belum terselesaikan.