
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Sejumlah emiten BUMN Karya masih menunjukkan perolehan kontrak baru yang rendah hingga Mei 2025, jauh di bawah target yang telah ditetapkan untuk tahun ini. Kondisi ini menyoroti tantangan signifikan yang dihadapi sektor konstruksi milik negara.
Di antara deretan emiten tersebut, PT Pembangunan Perumahan Tbk (PTPP) mencatatkan kinerja yang relatif paling memuaskan dengan akumulasi kontrak baru sebesar Rp 7,65 triliun per Mei, mencapai sekitar 26,9% dari target tahunan. Selanjutnya, PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) membukukan perolehan Rp 3,37 triliun, diikuti oleh PT Adhi Karya Tbk (ADHI) dengan Rp 2,6 triliun.
Namun, ada pula emiten yang menghadapi tantangan lebih berat. PT Waskita Karya Tbk (WSKT), misalnya, hingga Mei baru meraup kontrak baru senilai Rp 1,2 triliun, yang hanya sekitar 2,68% dari target ambisius Rp 44,7 triliun. Demikian pula anak usaha WIKA, PT Wijaya Karya Gedung Tbk (WEGE), yang baru mendapatkan Rp 100 miliar, setara 2,79% dari target Rp 3,58 triliun.
Senior Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, Sukarno Alatas, menyoroti bahwa capaian kontrak baru BUMN Karya hingga Mei 2025 ini justru mengalami penurunan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Menurutnya, kondisi ini dipicu oleh belum adanya kejelasan arah kebijakan pemerintah terkait kelanjutan pembangunan infrastruktur di tahun ini.
“Peluang BUMN Karya untuk mencapai target Nilai Kontrak Baru (NKB) tahun 2025 cukup menantang dan berpotensi sulit terpenuhi, kecuali ada akselerasi signifikan dalam perolehan kontrak di sisa tahun ini,” jelas Sukarno kepada Kontan, Senin (16/6).
Wijaya Karya (WIKA) Bukukan Kontrak Baru Rp 3,37 Triliun hingga Mei 2025
Sukarno menambahkan, kontribusi anak usaha seperti WEGE, WTON, WSBP, dan ADCP dinilai belum cukup dominan untuk mendongkrak kinerja induknya. Ia menjelaskan, performa anak-anak usaha BUMN Karya saat ini cukup bervariasi, sehingga sulit untuk disimpulkan memberikan kontribusi besar secara menyeluruh terhadap induk usaha.
Di sisi lain, upaya restrukturisasi utang yang dijalankan oleh beberapa BUMN Karya seperti WIKA dan WSKT, termasuk anak usahanya, dinilai memberikan ruang napas dalam jangka pendek. Proses ini terbukti berhasil menurunkan beban utang atau liabilitas di kuartal I 2025.
“Restrukturisasi utang sebagai obat jangka pendek, namun belum sepenuhnya mengubah arah fundamental keuangan mereka secara signifikan dalam semester I tahun ini,” ungkapnya.
Waskita Karya (WSKT) Raih Nilai Kontrak Baru Rp 1,2 Triliun per Mei 2025
Meskipun demikian, potensi risiko pembiayaan di semester II 2025 masih terbuka lebar bagi BUMN Karya. Sukarno menyebutkan bahwa tekanan utama masih berasal dari likuiditas yang ketat, belum pulihnya arus kas, serta beban utang yang masih tinggi.
Secara sentimen positif, kinerja BUMN Karya dapat ditopang oleh kelanjutan proyek strategis nasional (PSN), dorongan proyek IKN, serta sinergi antar-BUMN dan upaya efisiensi operasional. Faktor-faktor ini berpotensi memberikan angin segar di tengah tekanan.
Namun, di sisi lain, beberapa sentimen negatif juga membayangi. Ketidakjelasan kebijakan infrastruktur, beban utang yang membelit, potensi penurunan laba, masalah likuiditas, dan risiko perlambatan ekonomi global bisa menjadi hambatan serius bagi pemulihan kinerja mereka.
Dari perspektif saham, Sukarno merekomendasikan hold untuk saham ADHI dan PTPP. Ia memberikan target harga ADHI di kisaran Rp 286 – Rp 300, dengan level support pada Rp 252 dan Rp 246. Sementara itu, target harga PTPP dipatok di Rp 470 – Rp 500, dengan level support di Rp 436 dan Rp 424.
“Untuk strategi jangka pendek, belum ada sinyal beli yang kuat. Investor sebaiknya wait and see terlebih dahulu,” pungkas Sukarno, menyarankan kehati-hatian di pasar saham BUMN Karya.
Hingga Mei 2025, sejumlah emiten BUMN Karya menunjukkan perolehan kontrak baru yang rendah, jauh di bawah target tahunan. PT Pembangunan Perumahan Tbk (PTPP) mencatat kinerja paling memuaskan dengan Rp 7,65 triliun, sedangkan PT Waskita Karya Tbk (WSKT) dan anak usaha WIKA, PT Wijaya Karya Gedung Tbk (WEGE), menghadapi tantangan lebih berat. Penurunan perolehan kontrak baru dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya ini dipicu oleh belum adanya kejelasan arah kebijakan pemerintah terkait kelanjutan pembangunan infrastruktur.
Upaya restrukturisasi utang oleh beberapa BUMN Karya memberikan ruang napas jangka pendek, namun belum mengubah fundamental keuangan secara signifikan. Potensi risiko pembiayaan di semester II 2025 masih terbuka lebar akibat likuiditas ketat dan beban utang yang tinggi. Investor disarankan untuk ‘wait and see’ di pasar saham BUMN Karya, dengan rekomendasi ‘hold’ untuk saham ADHI dan PTPP.