
Di tengah gelombang penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) sepanjang tahun terakhir, sebuah fenomena menarik terjadi di sektor perbankan digital: suku bunga kredit mereka justru tetap tangguh di level tinggi. Bahkan, tak sedikit bank digital yang masih menetapkan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) dua digit, terutama untuk segmen kredit konsumsi serta Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang sangat vital bagi perekonomian.
Sebagai contoh konkret, PT Bank Amar Indonesia Tbk (AMAR) pada April 2025 mematok SBDK di kisaran 9,69% hingga 24,04%. Angka tertinggi ini, yang menyasar kredit mikro UMKM dan konsumsi non-KPR, dipicu oleh tingginya biaya operasional (overhead) yang mencapai 16,21%, sementara margin keuntungan yang diperoleh hanya berkisar 2%.
Fenomena bunga kredit yang bertahan tinggi ini semakin menarik perhatian karena beberapa bank digital justru tercatat menaikkan SBDK mereka. PT Krom Bank Indonesia Tbk (BBSI), misalnya, mengalami peningkatan SBDK dari 8,13%–8,53% pada Januari 2025 menjadi 9,02%–9,45% pada April 2025. Kenaikan ini sejalan dengan peningkatan margin keuntungan yang mereka targetkan. Serupa, PT Bank Jago Tbk (ARTO) juga mencatat kenaikan SBDK untuk kredit korporasi, dari 7,41% menjadi 7,72% pada periode yang sama, meskipun margin keuntungannya tetap stabil di angka 2%.
Mengapa Bunga Kredit Bank Digital Sulit Turun Meski BI Rate Melandai?
Senior Vice President Finance Amar Bank, David Wirawan, menjelaskan bahwa penentuan suku bunga kredit didasarkan pada prinsip risk-based pricing, yaitu penetapan harga berdasarkan tingkat risiko nasabah. Menurutnya, segmen UMKM dan individu yang belum sepenuhnya terlayani oleh perbankan tradisional memiliki risiko bawaan yang lebih tinggi, sehingga memerlukan penyesuaian suku bunga yang proporsional.
David Wirawan juga menegaskan bahwa penyesuaian bunga kredit tidak serta-merta mengikuti pergerakan BI rate. Pihak bank mempertimbangkan berbagai faktor internal, termasuk kesiapan operasional, biaya perolehan dana (cost of fund), serta prospek ekonomi makro yang lebih luas. Amar Bank, imbuhnya, senantiasa berupaya menjaga keseimbangan antara daya saing bunga di pasar dengan prinsip kehati-hatian. Tujuannya adalah agar penyaluran kredit tetap inklusif namun juga berkelanjutan dalam jangka panjang.
Pandangan serupa disampaikan oleh Direktur Utama PT Krom Bank, Anton Hermawan. Ia menjelaskan bahwa penetapan bunga kredit dilakukan secara cermat dan proporsional berdasarkan profil risiko masing-masing nasabah. Demi menjaga kualitas portofolio kredit, penyaluran pinjaman dijalankan secara selektif dan terukur.
Meski BI Rate Turun, Suku Bunga Kredit Bank Digital Tetap Tinggi
PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI) juga mencatat SBDK yang bervariasi, berkisar antara 10% hingga 26,75%. Seperti halnya Amar Bank, kredit konsumsi non-KPR dari Allo Bank tercatat memiliki bunga tertinggi. Hal ini terutama disebabkan oleh beban biaya overhead yang signifikan, mencapai 17,1%, ditambah margin keuntungan sebesar 3,45%.
Direktur Umum Allo Bank, Indra Utoyo, memperkuat argumen mengenai penerapan skema bunga berdasarkan profil risiko debitur. Ia menjelaskan bahwa debitur dengan skor kredit rendah secara otomatis akan dikenakan bunga yang lebih tinggi, sebagai kompensasi atas potensi risiko gagal bayar yang lebih besar. Sebaliknya, nasabah dengan riwayat kredit yang baik atau risiko rendah dapat menikmati bunga yang lebih kompetitif.
Indra Utoyo menambahkan bahwa bank digital seringkali mengenakan risk premium yang lebih tinggi pada jenis kredit tanpa agunan. Langkah ini diambil untuk mengompensasi risiko gagal bayar yang melekat pada pinjaman tanpa jaminan.
Ini Alasan Bank Digital Masih Tawarkan Bunga Tinggi meski BI Rate Dipangkas
Lebih lanjut, Indra Utoyo menekankan bahwa suku bunga bukanlah satu-satunya faktor penentu keputusan nasabah dalam memilih bank digital. Kemudahan proses pengajuan, fleksibilitas tenor pembayaran, serta besaran limit kredit yang ditawarkan juga menjadi pertimbangan penting yang tidak dapat diabaikan oleh para calon peminjam.
Meskipun suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) mengalami penurunan, suku bunga kredit di bank digital tetap tinggi, bahkan tidak sedikit yang mencapai dua digit, khususnya untuk kredit konsumsi dan UMKM. Beberapa bank digital seperti Bank Amar Indonesia mematok SBDK hingga 24,04%, dipicu oleh tingginya biaya operasional. Selain itu, Bank Krom dan Bank Jago juga tercatat menaikkan SBDK mereka pada periode tertentu.
Tingginya suku bunga ini dijelaskan melalui prinsip risk-based pricing, di mana segmen UMKM dan individu yang belum terlayani perbankan tradisional memiliki risiko bawaan yang lebih tinggi. Faktor internal seperti kesiapan operasional, biaya perolehan dana, dan prospek ekonomi makro juga memengaruhi penetapan bunga. Bank digital juga cenderung menerapkan risk premium yang lebih tinggi pada kredit tanpa agunan untuk mengkompensasi potensi gagal bayar.