
Menteri Kebudayaan Fadli Zon dikecam karena pernyataannya yang meragukan adanya pemerkosaan massal saat kerusuhan Mei 1998. Pernyataan ini memicu reaksi keras dari Koalisi Perempuan Indonesia dan Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas, yang menuntut permohonan maaf dari mantan Wakil Ketua DPR periode 2014-2019 tersebut.
“Pernyataan Fadli Zon adalah bentuk pengingkaran terhadap sejarah kelam kekerasan seksual terhadap perempuan dalam transisi politik 1998. Ini melukai para penyintas dan perempuan Indonesia, mengabaikan perjuangan panjang masyarakat sipil mencari keadilan, serta melemahkan komitmen negara terhadap HAM, khususnya hak perempuan,” tegas Koalisi Perempuan Indonesia melalui akun Instagram resmi mereka pada Jumat (14/6).
Dalam konferensi pers, peneliti dan penulis sejarah perempuan Ita Fatia Nadia turut menyuarakan tuntutan agar Fadli Zon meminta maaf kepada para korban. Suara senada juga digaungkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas.
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas bahkan mengajukan 10 tuntutan spesifik kepada Fadli Zon, yang mencerminkan kekecewaan mendalam atas pernyataannya. Tuntutan tersebut meliputi:
Kontroversi bermula dari video wawancara berjudul ‘Real Talk: Debat Panas!! Fadli Zon vs Uni Lubis Soal Revisi Buku Sejarah’ yang tayang di kanal YouTube IDN Times pada 10 Juni. Dalam video tersebut, Fadli Zon menyatakan bahwa masuk tidaknya informasi terkait pemerkosaan massal pada 1998, tergantung pada interpretasi sejarawan yang akan menulis ulang sejarah Indonesia.
“Ada tidak fakta keras. Betul tidak ada pemerkosaan massal? Kata siapa itu? Tidak pernah ada buktinya. Itu adalah cerita. Kalau ada (bukti), tunjukkan. Ada tidak di buku sejarah? Tidak pernah ada. Rumor-rumor seperti itu, menurut saya, tidak akan menyelesaikan masalah,” ujar Fadli Zon dalam perbincangannya dengan Uni Lubis.
Ketika Uli Lubis menyinggung temuan TGPF pada 1998, Fadli Zon menjawab, “Saya pernah membantah itu, dan mereka tidak bisa membuktikan.”
Fadli Zon berpendapat bahwa penulisan sejarah harus dilandasi kejujuran, mengutamakan kepentingan nasional, dan berfungsi mempersatukan Indonesia. Ia mencontohkan bagaimana sejarah kolonial Belanda memandang Bung Tomo sebagai ekstremis atau teroris. “Bagi Indonesia, pahlawan. Belanda mengatakan, Tan Malaka, Soekarno, Bung Hatta, semua itu ekstremis. Jadi, perspektif (dalam menulis sejarah), yakni historiografi Indonesia,” jelasnya.
Laporan TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) yang dibentuk Presiden BJ Habibie pada Juli 1998, mengungkap fakta yang berbeda. TGPF yang terdiri dari berbagai unsur, termasuk pemerintah, Komnas HAM, LSM, dan organisasi kemasyarakatan, bertugas menyelidiki peristiwa Mei 1998, termasuk laporan tentang kekerasan seksual.
Setelah mengumpulkan data dan bukti selama kurang lebih tiga bulan, TGPF merilis Laporan Akhir pada 23 Oktober 1998. Laporan tersebut mencatat adanya tindak kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya, Medan, dan Surabaya. Kekerasan seksual ini meliputi pemerkosaan, pemerkosaan disertai penganiayaan, penyerangan seksual/penganiayaan, dan pelecehan seksual yang terjadi di berbagai lokasi.
TGPF mengidentifikasi 52 korban pemerkosaan, 14 korban pemerkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan sembilan korban pelecehan seksual. Bukti-bukti diperoleh dari keterangan korban, keluarga korban, saksi mata, perawat, psikiater, psikolog, pendamping, rohaniawan, hingga dokter.
TGPF juga menemukan korban kekerasan seksual yang terjadi sebelum dan sesudah Peristiwa Mei 1998, termasuk ratusan korban pelecehan seksual di Medan pada 4-8 Mei 1998, serta kasus-kasus di Jakarta (2 Juli 1998) dan Solo (8 Juli 1998).
Tim tersebut juga menemukan bahwa sebagian besar kasus pemerkosaan adalah gang rape, yang dilakukan di hadapan orang lain.
Pelapor Khusus Komnas Perempuan tentang Kekerasan Seksual Mei 1998 dan Dampaknya menemukan adanya kesengajaan untuk menyasar perempuan beretnis Tionghoa, yang saat itu dikonstruksikan sebagai kambing hitam akibat krisis moneter.
Kesengajaan ini terungkap dari kesaksian seorang perempuan yang selamat dari pemerkosaan karena ibunya yang ‘pribumi’ berhasil meyakinkan pelaku bahwa ia adalah anaknya.
Sayangnya, meskipun temuan TGPF telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung, hingga kini belum ada penyelesaian hukum yang memadai.
Sebagai respons atas tragedi tersebut, Komnas Perempuan dibentuk melalui Keppres No. 181/1998. Memori kolektif atas tragedi ini juga diabadikan lewat Memorial Mei 1998 di Pondok Rangon, yang diresmikan pada 2015 oleh Komnas Perempuan dan Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama.
Pernyataan Fadli Zon yang meragukan adanya pemerkosaan massal pada kerusuhan Mei 1998 menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk Koalisi Perempuan Indonesia dan Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas. Pernyataan tersebut dinilai sebagai pengingkaran sejarah dan melukai para penyintas, serta melemahkan komitmen negara terhadap HAM.
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas mengajukan 10 tuntutan kepada Fadli Zon, termasuk mencabut pernyataan, meminta maaf kepada korban, dan membatalkan pengangkatannya sebagai Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Tuntutan tersebut didasari oleh laporan TGPF yang mengungkap adanya kekerasan seksual dalam peristiwa Mei 1998, yang sayangnya belum ditindaklanjuti secara hukum.