LQ45 Loyo? Analis Ungkap Saham Laggard & Rekomendasi Terbaru!

Img AA1EKPVL

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Di tengah gejolak pasar saham yang tak menentu, sejumlah saham berkinerja di bawah rata-rata atau dikenal sebagai saham laggard terpantau menjadi beban signifikan bagi pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang tahun 2025 berjalan. Fenomena menariknya, mayoritas saham pemberat ini justru berasal dari jajaran elit indeks LQ45, menunjukkan adanya tekanan pada emiten-emiten berkapitalisasi besar.

Data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) secara gamblang menunjukkan PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) memimpin daftar saham laggard teratas di IHSG. Emiten yang bergerak di sektor energi panas bumi ini telah mengalami penurunan harga saham yang mencolok sebesar 31,54% secara year to date (ytd). Hingga Kamis (5/6) lalu, harga saham BREN berada di level Rp 6.350 per saham, dengan kontribusi negatif terhadap IHSG mencapai 113,13 poin.

Tren pelemahan juga merambah sektor perbankan dengan dua bank besar turut menjadi pemberat. PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) mencatatkan penurunan harga saham 10,96% ytd, mencapai level Rp 5.075 per saham, yang berdampak pada penyusutan bobot kontribusi ke IHSG sebesar 55,80 poin. Tak jauh berbeda, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) juga mengalami pelemahan harga saham 7,75% ytd menjadi Rp 8.925 per saham, mengurangi bobot IHSG sebanyak 47,53 poin.

Selain itu, saham PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PANI) menunjukkan kinerja yang kurang memuaskan dengan anjloknya harga sebesar 31,87% ytd ke level Rp 10.900 per saham hingga Kamis (5/6), dan mengurangi 21,55 poin dari bobot IHSG. Tak ketinggalan, PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) juga mengalami koreksi harga saham 6,78% ytd ke level Rp 7.900 per saham, dengan bobot yang berkurang 19,53 poin.

Daftar sepuluh besar saham laggard berdasarkan kinerja harga sejak awal tahun juga dihuni oleh nama-nama besar lain seperti PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO), PT United Tractors Tbk (UNTR), PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT), PT Astra International Tbk (ASII), dan PT Alamtri Resources Indonesia Tbk (ADRO). Kehadiran emiten-emiten ini menegaskan tekanan yang dialami oleh saham-saham unggulan di bursa.

Menyoroti penyebab di balik fenomena ini, Chief Executive Officer (CEO) Edvisor Provina Visindo, Praska Putrantyo, menjelaskan bahwa salah satu sentimen pemicu utama pelemahan saham-saham berkapitalisasi besar adalah ketidakpastian ekonomi global. Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, dengan kebijakan tarif impor yang saling dilemparkan, memicu kekhawatiran perlambatan ekonomi global. Kondisi ini mendorong investor untuk mengalihkan modal ke aset minim risiko atau safe haven seperti emas, yang pada gilirannya menekan pasar saham Indonesia.

“Situasi ini menyebabkan banyak saham di Indonesia turun cukup dalam, sehingga membuat IHSG tertekan,” jelas Praska pada Kamis (5/6). Ia menambahkan, sentimen domestik juga turut berperan, termasuk pelemahan daya beli masyarakat, ketatnya likuiditas perbankan, serta suku bunga acuan yang masih cenderung tinggi. Faktor-faktor ini secara kumulatif memperlemah kinerja beberapa sektor industri, yang kemudian tercermin pada pelemahan saham-saham terkait dan berdampak pada IHSG.

Di sisi lain, Praktisi Pasar Modal sekaligus Founder WH-Project, William Hartanto, memberikan pandangan bahwa pelemahan saham-saham dalam daftar top laggard tidak semata-mata disebabkan oleh faktor fundamental. Menurutnya, penyebabnya bervariasi, mulai dari tekanan jual bersih (net sell) yang dilakukan investor asing hingga risiko rotasi sektor dalam pasar.

Meskipun demikian, William optimistis terhadap potensi pemulihan saham-saham laggard ini. Ia melihat aksi korporasi, seperti pembagian dividen, sebagai salah satu penopang utama yang dapat mendorong kenaikan harga saham. “Kami juga belum melihat adanya saham baru yang berpotensi menjadi laggard di sisa tahun ini,” imbuhnya pada Kamis (5/6), memberikan sinyal positif bagi investor.

Senada dengan pandangan tersebut, Analis Korea Investment and Sekuritas Indonesia (KISI), Muhammad Wafi, menyatakan bahwa peluang perbaikan harga saham-saham laggard sangat terbuka. Kunci utamanya terletak pada adanya capital inflow yang signifikan ke pasar saham Indonesia. Selain itu, Wafi juga menyoroti sejumlah sentimen positif lain yang berpotensi memacu pemulihan, antara lain rotasi sektoral, stabilitas geopolitik, pemulihan harga komoditas global, serta ekspektasi berlanjutnya tren penurunan suku bunga acuan.

Mengingat kondisi tersebut, Wafi menyarankan para investor untuk tetap cermat dan selektif dalam berinvestasi pada saham-saham yang saat ini berstatus laggard. Investor diharapkan fokus pada aspek fundamental saham yang bersangkutan. “Kondisi fundamental yang baik dapat menjadi alasan untuk masuk pada saat harga saham tersebut murah atau diskon,” tegasnya pada Kamis (5/6), menekankan pentingnya strategi value investing.

Berdasarkan analisis dan proyeksi, sejumlah rekomendasi saham diberikan oleh para ahli. Muhammad Wafi merekomendasikan pembelian saham BMRI dengan target harga Rp 5.500 per saham, UNTR di Rp 23.800 per saham, AMMN di Rp 8.700 per saham, dan ASII di Rp 5.000 per saham.

Sementara itu, Praska Putrantyo juga merekomendasikan beli saham BMRI dengan target Rp 5.900 per saham, BBCA di Rp 9.600 per saham, dan ASII di Rp 5.000 per saham. Praska menekankan bahwa investor dapat memilih saham-saham laggard dengan fundamental yang kuat sebagai peluang untuk melakukan strategi bottom fishing, yakni membeli saat harga sedang di titik terendah.

Di lain pihak, William Hartanto merekomendasikan pembelian saham BREN dengan target harga di kisaran Rp 7.000–8.200 per saham. Ia juga merekomendasikan BBCA dengan target Rp 9.500 per saham, AMRT di kisaran Rp 2.800–3.300 per saham, dan ADRO di level Rp 2.700 per saham, melengkapi pilihan bagi para investor yang ingin memanfaatkan momentum pemulihan.

Ringkasan

Sejumlah saham berkinerja di bawah rata-rata atau saham *laggard*, mayoritas dari indeks LQ45, menjadi beban signifikan bagi pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang tahun 2025 berjalan. PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) memimpin daftar ini dengan penurunan 31,54% ytd, diikuti oleh bank besar seperti PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang juga melemah. Fenomena ini juga mencakup saham seperti PANI dan AMMN, serta emiten LQ45 lain seperti GOTO dan ASII.

Pelemahan saham-saham ini dipicu ketidakpastian ekonomi global dan faktor domestik seperti daya beli yang lemah. Namun, para analis optimistis terhadap potensi pemulihan saham *laggard* melalui aksi korporasi dan aliran modal signifikan ke pasar. Investor disarankan untuk fokus pada fundamental yang kuat, dengan beberapa rekomendasi saham meliputi BMRI, BBCA, UNTR, AMMN, ASII, BREN, AMRT, dan ADRO sebagai peluang beli.

You might also like