DXY melemah tapi rupiah tertekan, risiko fiskal membayangi nilai tukar pada 2026

Img AA1Jt1ol

MNCDUIT.COM – JAKARTA. Kendati indeks dolar Amerika Serikat (DXY) mengalami tekanan ke level 98 seiring ekspektasi pemangkasan suku bunga The Federal Reserve pada 2026, nilai tukar rupiah belum mampu memanfaatkan momentum tersebut.

Tekanan fiskal domestik, pelemahan penerimaan pajak, serta meningkatnya beban utang pemerintah dinilai menjadi faktor utama yang menahan penguatan rupiah, sekaligus membuat pergerakannya tetap volatile sepanjang tahun depan.

Indeks dolar AS kembali tertekan ke level di bawah 100. Mengutip Trading Economics, Senin (29/12/2025) pukul 18.19 WIB, indeks dolar melemah 1,30% secara bulanan dan 9,55% YtD ke level 98,118.

Ekonom Bright Institute Yanuar Rizky mengatakan, tekanan terhadap DXY diperkirakan masih akan berlanjut, namun ruang pelemahannya dinilai semakin terbatas.

Waspada Tensi Geopolitik, Begini Proyeksi Rupiah untuk Selasa (30/12)

Menurutnya, di tengah ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed pada 2026, pergerakan DXY diproyeksikan tetap volatile dan tidak akan masuk ke fase pelemahan dalam seperti era quantitative easing (QE).

Yanuar bilang, DXY ke depan tidak akan melemah lebih jauh dari level 97. Hal ini seiring kebijakan penurunan suku bunga The Fed yang tidak berada dalam rezim easy money seperti periode 2009–2011.

Selain itu, posisi long pada emas yang masih tinggi mencerminkan sikap pasar global yang tetap berhati-hati terhadap risiko, sehingga membatasi ruang pelemahan dolar AS.

Meski dolar AS melemah, kondisi tersebut belum serta-merta menjadi katalis positif bagi penguatan nilai tukar rupiah. Yanuar menilai nilai keseimbangan (equilibrium) rupiah justru diperkirakan terus bergeser melemah, ini mencerminkan tekanan struktural dari sisi domestik.

“Rupiah tidak punya ruang menguat bahkan saat DXY kembali ke level 97. Nilai keseimbangan barunya terus melemah,” jelas Yanuar kepada Kontan, Senin (29/12/2025).

Rupiah Masih Dibayangi Volatilitas, Meski Indeks Dolar AS Melemah

Menurutnya, tekanan terhadap rupiah terutama berasal dari faktor fundamental dalam negeri. Dari sisi fiskal, pasar menyoroti berlanjutnya tekanan pada penerimaan pajak yang terdampak pelemahan daya beli masyarakat serta penurunan kapasitas produksi sektor formal.

Di saat yang sama, beban pembayaran utang pemerintah yang jatuh tempo terus meningkat, sehingga memperbesar kekhawatiran pelaku pasar terhadap kesinambungan fiskal.

Kondisi tersebut menjelaskan mengapa rupiah masih berada dalam tren pelemahan, meskipun DXY beberapa kali sempat bergerak di bawah level psikologis 100.

“Artinya, pergerakan rupiah saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh sentimen domestik ketimbang faktor eksternal,” tandasnya.

Memasuki 2026, rupiah diperkirakan Yanuar masih bergerak dalam rentang volatilitas yang relatif terkendali. Namun, level Rp 16.700 per dolar AS dinilai menjadi batas bawah. Bank Indonesia (BI) diproyeksikan akan menjaga volatilitas rupiah di kisaran 6% – 7%, melalui stabilisasi pasar keuangan dan intervensi terukur.

Lebih dalam, batas bawah tersebut berpotensi terus bergeser ke atas seiring waktu, dengan kemungkinan penyesuaian pada Maret dan kembali pada Juni 2026. Maka, selama BI memiliki ruang dan kemampuan menjaga stabilitas, pelemahan rupiah diperkirakan masih dapat dikendalikan meski tetap berada dalam tren melemah.

Tetapi, risiko terbesar yang patut diwaspadai adalah munculnya sentimen besar yang dapat memicu tekanan tajam atau crash, terutama yang berkaitan dengan pasar surat utang pemerintah.

“Kunci stabilitas, ada di kemampuan pemerintah dan BI untuk mengelola pasar surat utang, baik dari sisi isu maupun kemampuan likuiditasnya,” pungkasnya.

You might also like