MNCDUIT.COM, JAKARTA — Bank Indonesia (BI) menyoroti praktik pemberian suku bunga spesial (special rate) kepada deposan besar yang dinilai mengganggu mekanisme pasar dan memperlambat penurunan suku bunga kebijakan ke sektor perbankan. Fenomena ini menjadi perhatian serius karena dapat menghambat efektivitas kebijakan moneter yang telah diambil.
Dalam dokumen Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2025, terungkap bahwa porsi Dana Pihak Ketiga (DPK) yang menikmati special rate mencapai angka signifikan, yaitu Rp2.656,79 triliun per Oktober 2025. Jumlah ini mencerminkan besarnya dampak praktik tersebut terhadap keseluruhan sistem perbankan.
Nilai tersebut setara dengan 27% dari total DPK perbankan nasional. Besarnya proporsi dana dengan biaya tinggi ini menyebabkan biaya dana (cost of funds) perbankan tetap tinggi, meskipun BI telah secara agresif menurunkan suku bunga acuan sebesar 150 basis poin (bps) sepanjang tahun ini. Dengan kata lain, upaya BI untuk menurunkan suku bunga belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat.
Baca Juga: Catat! Ini Sektor Usaha yang Tumbuh Tinggi pada 2026 versi Bank Indonesia
“Fenomena ini menunjukkan adanya distorsi dalam mekanisme pasar. Daya tawar deposan besar yang lebih kuat terhadap bank, ditambah dengan struktur industri perbankan yang kurang efisien akibat terlalu banyaknya jumlah bank, menjadi penyebab utama masalah ini,” demikian pernyataan Bank Indonesia dalam laporannya, dikutip Sabtu (29/11/2025). Kondisi ini menciptakan ketidakseimbangan dalam pasar keuangan.
Data BI menunjukkan bahwa rata-rata suku bunga deposito dengan special rate masih berada di level 5,21% pada Oktober 2025. Sementara itu, suku bunga deposito 1 bulan secara umum telah turun menjadi 4,25% pada periode yang sama. Perbedaan yang signifikan ini mengindikasikan bahwa penurunan suku bunga belum merata dan lebih menguntungkan deposan besar.
Baca Juga: Pidato Lengkap Prabowo di Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2025
Peran Dana Pemerintah
Salah satu temuan menarik dari laporan BI adalah peran entitas pemerintah (BUMN dan Non-BUMN) sebagai kontributor utama dalam fenomena special rate ini. Total dana deposan dari kelompok pemerintah yang menikmati special rate mencapai Rp817,16 triliun, dengan rata-rata suku bunga deposito sekitar 5,10%. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas pengelolaan dana pemerintah dan dampaknya terhadap suku bunga perbankan secara keseluruhan.
Baca Juga: EASE Bank Indonesia Resmi Terintegrasi ke OSS, Urus Izin Bisa Seketika
Kondisi ini menciptakan inefisiensi yang signifikan dalam struktur pendanaan bank. Hal ini tercermin dari melebarnya selisih (spread) antara suku bunga special rate dengan Tingkat Bunga Penjaminan (TBP) Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Inefisiensi ini berpotensi merugikan bank dan nasabah.
“Hal ini tercermin dari besarnya spread antara suku bunga deposito spesial dengan maksimum suku bunga penjamin LPS dengan median sekitar 1,17% sejak tahun 2012 dan bahkan meningkat menjadi 1,71% pada Oktober 2025,” jelas BI. Artinya, risiko yang ditanggung bank untuk mendapatkan dana mahal semakin besar.
Inefisiensi dalam penghimpunan dana ini pada akhirnya berdampak negatif pada penyaluran kredit. Bank terpaksa menetapkan suku bunga kredit yang tinggi untuk menutupi biaya dana yang mahal, ditambah dengan premi risiko dan biaya overhead yang besar. Akibatnya, masyarakat dan pelaku usaha kesulitan mengakses kredit dengan bunga yang terjangkau.
Dampaknya, penurunan suku bunga kredit berjalan sangat lambat. BI mencatat penurunan suku bunga kredit hanya sebesar 20 bps sepanjang tahun berjalan hingga Oktober 2025, jauh tertinggal dibandingkan penurunan BI-Rate. Hal ini menunjukkan bahwa transmisi kebijakan moneter tidak berjalan efektif sebagaimana diharapkan.
Respons Kebijakan
Menanggapi kondisi yang kurang ideal ini, BI akan memperkuat efektivitas Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) melalui jalur suku bunga (interest rate channel). Langkah ini diharapkan dapat mendorong bank untuk lebih responsif terhadap kebijakan penurunan suku bunga.
Melalui mekanisme ini, bank yang lambat menurunkan suku bunganya akan diwajibkan memelihara Giro Wajib Minimum (GWM) yang lebih tinggi. Sebaliknya, insentif pelonggaran likuiditas akan diberikan kepada bank-bank yang terbukti responsif memangkas suku bunga kreditnya sejalan dengan arah kebijakan BI. Dengan kata lain, BI akan memberikan ganjaran dan hukuman untuk mendorong perubahan perilaku bank.
“Bank Indonesia juga akan terus menjalin koordinasi KSSK untuk menempuh langkah-langkah bersama yang diperlukan untuk mempercepat penurunan suku bunga deposan besar (special rate) dan penurunan margin suku bunga kredit,” tegas BI. Koordinasi antar lembaga keuangan ini diharapkan dapat menciptakan solusi yang komprehensif dan efektif untuk mengatasi masalah suku bunga tinggi.
Bank Indonesia (BI) menyoroti praktik pemberian suku bunga spesial kepada deposan besar yang mencapai Rp2.656,79 triliun per Oktober 2025, atau setara 27% dari total DPK. Kondisi ini dinilai mendistorsi mekanisme pasar dan memperlambat penurunan suku bunga kebijakan ke sektor perbankan, menghambat efektivitas kebijakan moneter. Salah satu penyebabnya adalah daya tawar deposan besar dan struktur industri perbankan yang kurang efisien.
Menanggapi hal ini, BI akan memperkuat Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) melalui jalur suku bunga, memberikan insentif dan disinsentif kepada bank berdasarkan responsivitas mereka terhadap penurunan suku bunga. BI juga akan berkoordinasi dengan KSSK untuk mempercepat penurunan suku bunga deposan besar dan margin suku bunga kredit, mencari solusi komprehensif untuk mengatasi masalah ini.