Batubara Suram? Intip Prospek, Kinerja, & Saham Rekomendasi Analis!

MNCDUIT.COM JAKARTA. Tekanan hebat yang menghantam industri batu bara tidak hanya dirasakan oleh para produsen, tetapi juga oleh emiten yang bergerak di sektor jasa kontraktor pertambangan. Situasi ini memunculkan tantangan sekaligus peluang bagi para pelaku industri.

Abida Massi Armand, Analis Fundamental BRI Danareksa Sekuritas, memprediksi penurunan produksi batu bara nasional sebesar 11% secara tahunan (yoy) menjadi 739,5 juta ton pada tahun 2025. Angka ini jauh di bawah target yang ditetapkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). Bahkan, pemerintah memperkirakan produksi batu bara nasional pada tahun 2026 akan berada di bawah 700 juta ton. Penurunan produksi ini terjadi seiring dengan harga batu bara yang cenderung stabil di kisaran US$ 100—US$ 130 per ton, menciptakan sentimen negatif yang cukup kuat di pasar.Img

Penurunan volume produksi batu bara ini berpotensi mengurangi *backlog* pekerjaan dan menekan *stripping ratio* di lokasi tambang bagi emiten jasa pertambangan. “Hal ini berisiko menyebabkan penurunan tingkat utilisasi alat berat, yang menjadi kerugian bagi kontraktor dengan biaya tetap modal yang tinggi,” ujar Abida pada Senin (24/11).

Sentimen negatif ini diperburuk dengan adanya rencana mandatori penggunaan B50 untuk alat berat pertambangan, yang diperkirakan dapat meningkatkan biaya operasional hingga US$ 2 per ton. Kenaikan biaya ini berpotensi menekan margin EBITDA emiten jasa pertambangan, terutama ketika harga batu bara sedang lemah, sehingga pemilik tambang cenderung enggan melakukan penyesuaian tarif jasa.

Menurut Abida, emiten jasa pertambangan yang masih sangat bergantung pada segmen batu bara termal domestik dan kurang efisien akan sangat rentan terhadap kombinasi risiko penurunan volume produksi dan tekanan biaya yang membengkak. Kondisi ini menuntut perusahaan untuk beradaptasi dan mencari strategi baru agar tetap kompetitif.

Harga Batu Bara Tembus US$111 per Ton, Begini Proyeksinya Sampai Akhir Tahun

Analis Pilarmas Investindo Sekuritas, Arinda Izzaty, menilai bahwa secara keseluruhan, kinerja emiten jasa pertambangan berisiko melemah akibat adanya tekanan kontrak dari pemilik tambang, baik dalam bentuk pengurangan volume kerja maupun renegosiasi tarif. Oleh karena itu, emiten perlu mengambil langkah antisipasi yang tepat.

Untuk mengatasi pelemahan harga dan produksi batu bara, emiten jasa pertambangan perlu menerapkan beberapa strategi secara konsisten. Pertama, melakukan penyesuaian kontrak untuk memastikan bahwa komponen biaya seperti BBM, suku cadang, dan biaya pemeliharaan dapat diimplementasikan melalui skema *cost-plus* atau *pass-through* agar margin laba tetap terjaga. Kedua, emiten perlu lebih selektif dalam memilih proyek, dengan fokus pada pelanggan yang memiliki cadangan batu bara besar, biaya produksi rendah, dan ketahanan finansial ketika harga komoditas terkoreksi. Ketiga, diversifikasi bisnis menjadi langkah strategis, misalnya ekspansi ke jasa tambang nikel, bauksit, emas, ataupun jasa infrastruktur pertambangan.

“Diversifikasi ini akan mengurangi ketergantungan pada siklus batu bara dan menciptakan sumber pendapatan yang lebih stabil,” jelas Arinda pada Selasa (25/11).

Arinda melanjutkan, peluang bagi emiten jasa pertambangan untuk kembali mencetak pertumbuhan pendapatan dan laba bersih tetap terbuka pada tahun 2026, meskipun kondisi pasar batu bara melemah. Emiten dengan skala besar, efisiensi tinggi, dan portofolio kontrak jangka panjang dinilai masih dapat menjaga utilisasi alat berat maupun stabilitas arus kas.

Di sisi lain, emiten yang memiliki diversifikasi bisnis, misalnya PT United Tractors Tbk (UNTR) yang memiliki segmen emas, konstruksi, hingga energi terbarukan, atau PT Petrosea Tbk (PTRO) yang mulai aktif masuk ke segmen mineral dan migas, diperkirakan lebih unggul karena memiliki *buffer* pendapatan ketika salah satu segmen bisnis melemah.

Sementara itu, menurut Abida, prospek di segmen jasa pertambangan cenderung lebih eksklusif, berpihak pada emiten yang memiliki pendorong pertumbuhan yang spesifik. Transformasi yang dilakukan perusahaan menjadi kunci utama.

Kinerja Pendapatan dan Laba ABM Investama (ABMM) Terkikis pada Kuartal III-2025

Hal ini terlihat dari beberapa emiten yang sedang bertransformasi, misalnya PTRO yang memproyeksikan peningkatan pendapatan di atas 40% per tahun selama 2025—2026, atau PT Darma Henwa Tbk (DEWA) yang diproyeksikan mencatat pertumbuhan laba bersih yang agresif berkat didorong oleh peningkatan margin struktural dari *in-house contracting*.

“Emiten dengan lini diversifikasi bisnis yang beragam relatif akan lebih unggul, karena mereka mampu memitigasi risiko ganda, yaitu risiko penurunan volume nasional dan risiko harga komoditas yang lemah,” terang Abida.

Abida menyebut, rekomendasi saham emiten jasa pertambangan saat ini bersifat sangat selektif. Investor perlu cermat dalam memilih saham yang memiliki fundamental kuat dan prospek pertumbuhan yang jelas.

PTRO direkomendasikan beli dengan target harga di level Rp 10.000 per saham berkat dukungan strategi pertumbuhan anorganik, peningkatan margin yang massif dari proyek *Engineering, Procurement, and Construction* (EPC), serta ekspansi global.

Harga Batu Bara Koreksi, Laba BUMI Ambles 76,1% pada Kuartal III-2025

Rekomendasi beli juga disematkan pada saham UNTR dengan target harga Rp 32.200 per saham. UNTR dipandang sebagai saham defensif yang menarik bagi investor jangka panjang. Diversifikasi bisnis yang solid menjadi daya tarik utama UNTR.

Di lain pihak, Arinda menyebut saham UNTR dan DEWA dapat dicermati oleh investor dengan target harga masing-masing di level Rp 30.750 per saham dan Rp 490 per saham. Pilihan saham ini menawarkan peluang menarik bagi investor yang ingin berinvestasi di sektor pertambangan.

Rekomendasi Saham United Tractors (UNTR): Tantangan Batu Bara & Peluang Diversifikasi

Ringkasan

Industri batu bara mengalami tekanan yang dirasakan oleh produsen dan emiten jasa kontraktor pertambangan. Analis memprediksi penurunan produksi batu bara nasional hingga tahun 2026, yang berpotensi mengurangi pekerjaan dan menekan stripping ratio. Sentimen negatif diperburuk dengan rencana mandatori penggunaan B50 untuk alat berat pertambangan, yang diperkirakan dapat meningkatkan biaya operasional.

Emiten jasa pertambangan perlu menerapkan strategi seperti penyesuaian kontrak, seleksi proyek dengan cermat, dan diversifikasi bisnis ke sektor lain seperti nikel atau infrastruktur pertambangan. Emiten dengan skala besar, efisiensi tinggi, dan portofolio kontrak jangka panjang serta diversifikasi bisnis seperti UNTR dan PTRO dinilai lebih unggul. Rekomendasi saham saat ini bersifat selektif, dengan PTRO dan UNTR menjadi pilihan menarik bagi investor.

You might also like