MNCDUIT.COM JAKARTA. Rencana pemerintah untuk menerapkan bea keluar pada ekspor produk emas memicu kekhawatiran di kalangan pelaku pasar, berpotensi memengaruhi kinerja emiten produsen logam mulia. Kekhawatiran ini tercermin dari pergerakan harga saham sejumlah emiten emas setelah pengumuman kebijakan tersebut.
Pantauan Kontan menunjukkan bahwa sebagian besar saham emiten emas mengalami pelemahan pada perdagangan Selasa (18/11/2025). Mari kita lihat lebih detail pergerakan saham-saham tersebut.
Dua emiten Grup Merdeka, PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), mengalami koreksi harga saham sebesar 3,98% ke level Rp 2.170 per saham. Sementara itu, saham PT Merdeka Gold Resources Tbk (EMAS) juga mengalami penurunan sebesar 1,31% ke level Rp 3.780 per saham. Penurunan ini menunjukkan respons pasar terhadap potensi dampak bea keluar emas.
Tak hanya itu, saham PT Archi Indonesia Tbk (ARCI) juga mengalami penurunan tajam sebesar 3,36% ke level Rp 1.150 per saham. Senada dengan itu, harga saham PT J Resources Asia Pasifik Tbk (PSAB) merosot 3,64% ke level Rp 530 per saham. Penurunan serentak ini mencerminkan sentimen negatif yang melanda sektor emas.
Emas Melemah Usai Reli, Tertekan Penguatan Dolar AS dan Sentimen Hawkish The Fed
PT United Tractors Tbk (UNTR), yang memiliki lini bisnis emas, juga terkena imbasnya. Saham UNTR tercatat turun 2,77% ke level Rp 27.250 per saham. Bahkan, saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), salah satu pemain utama di industri emas, turut melemah 1,63% ke level Rp 3.010 per saham. Bagaimana dengan emiten lainnya?
Di tengah gejolak ini, harga saham PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) dan PT Hartadinata Abadi Tbk (HRTA) justru stagnan di level Rp 930 per saham dan Rp 1.295 per saham. Stagnasi ini mungkin mengindikasikan strategi bisnis yang berbeda atau ketahanan terhadap dampak bea keluar.
Analis Fundamental BRI Danareksa Sekuritas, Abida Massi Armand, menjelaskan bahwa koreksi harga saham emiten emas mencerminkan kekhawatiran pelaku pasar terhadap rencana penerapan bea keluar emas. Kebijakan ini, menurutnya, berpotensi menekan proyeksi laba emiten.
Secara teoritis, tarif progresif 7,5%–15% akan secara langsung menurunkan harga jual bersih dan menekan proyeksi laba emiten emas. Namun, dampak kebijakan ini akan bervariasi, tergantung pada tingkat eksposur ekspor masing-masing emiten. Lantas, emiten mana yang paling rentan?
Abida menyoroti PSAB sebagai emiten yang paling rentan karena sekitar 95% pendapatannya berasal dari ekspor. Potensi kehilangan pendapatan PSAB akibat bea keluar bisa mencapai lebih dari 14%. Sebaliknya, emiten yang berorientasi domestik seperti ANTM, dengan tingkat ekspor yang kecil, memiliki risiko yang jauh lebih rendah.
“Sebaliknya, emiten berorientasi domestik seperti ANTM yang ekspornya kecil memiliki risiko yang jauh lebih rendah terhadap penerapan bea keluar,” ujar Abida, Selasa (18/11/2025).
Analis Pilarmas Investindo Sekuritas, Arinda Izzaty, menambahkan bahwa emiten pertambangan seperti BRMS, ARCI, MDKA, EMAS, hingga emiten hilir seperti HRTA diperkirakan hanya merasakan dampak tidak langsung dari implementasi bea keluar ekspor emas. Dalam hal ini, kebijakan tersebut hanya memberi tekanan berupa sentimen negatif sementara.
Mayoritas Saham Emiten Emas Merosot di Tengah Isu Penerapan Bea Keluar Ekspor Emas
Namun, Arinda melihat sisi positifnya. Penerapan bea keluar ekspor emas dapat menjadi momentum penting bagi emiten emas untuk mengalihkan fokus ke pasar domestik dan memperkuat hilirisasi. Bagaimana strateginya?
Seiring kegiatan ekspor yang berpotensi menjadi kurang menarik akibat tambahan biaya, produsen emas berkesempatan menjual lebih banyak produk ke pasar domestik yang permintaannya tinggi, terutama untuk emas batangan dan perhiasan. Hal ini dapat memicu pertumbuhan industri emas lokal.
Kebijakan ini juga dapat memacu percepatan pengembangan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter), produksi minted bar, ataupun produk emas bernilai tambah lainnya. Dengan demikian, industri emas Indonesia dapat menjadi lebih mandiri dan kompetitif.
Emiten hilir seperti HRTA berpotensi diuntungkan karena potensi pasokan bahan baku yang lebih stabil. Sementara itu, ANTM berpeluang memperkuat dominasinya di pasar emas batangan dalam negeri. Ini adalah peluang yang tidak boleh dilewatkan.
“Dalam jangka panjang, kebijakan ini dapat membantu memperbaiki kondisi pasokan emas domestik dan mendukung pengembangan industri emas dari hulu ke hilir,” ungkap Arinda, Selasa (18/11/2025).
Senada dengan Arinda, Abida juga menilai bahwa efek lanjutan kebijakan bea keluar adalah meningkatnya pasokan bahan baku emas di dalam negeri. Dengan pasokan yang memadai, industri emas domestik dapat berkembang lebih pesat.
Ekspor Emas Akan Kena Pajak, Bumi Resources Minerals Pastikan Jual ke Pasar Domestik
Tekanan terhadap profitabilitas ekspor membuat produk seperti dore dan granules lebih mungkin dialokasikan untuk kebutuhan domestik guna mendukung industri pemurnian dan manufaktur emas lokal. Ini adalah langkah strategis untuk memperkuat rantai nilai industri emas.
Lebih lanjut, Abida memperkirakan bahwa koreksi harga saham emiten emas akibat sentimen terkait bea keluar tidak akan berlangsung lama. Pasar akan menyesuaikan diri ketika pelaku pasar sudah mampu membedakan dampak nyata bagi masing-masing emiten. Lantas, bagaimana investor sebaiknya bersikap?
“Investor akan menyesuaikan valuasi berdasarkan tingkat eksposur ekspor, emiten berisiko tinggi seperti PSAB mungkin terkena tekanan lebih lama dibanding ANTM atau HRTA,” imbuh Abida.
Fundamental sektor emas dipandang tetap solid seiring harga emas dunia berada dalam tren bullish dan telah melewati level historis. Abida menyebutkan bahwa konsensus analis memperkirakan harga emas 2026 berada di kisaran US$ 4.275–US$ 5.055 per ons troi. Kenaikan harga komoditas ini menjadi pendorong utama kinerja emiten, sehingga tekanan dari kebijakan bea keluar relatif kecil dibandingkan sentimen harga emas global.
Rekomendasi utama dari Abida jatuh pada saham ANTM yang memiliki valuasi lebih rendah dengan *price to book value* (PBV) di level 1,34 kali dan minim risiko bea keluar, dengan target harga di level Rp 4.100 per saham. ANTM dinilai sebagai pilihan investasi yang menarik.
Harga Emas Antam Hari Ini Anjlok Rp 29.000 Jadi Rp 2.322.000 per Gram, Selasa (18/11)
Saham MDKA juga layak dibeli karena diversifikasi bisnisnya serta estimasi target harga maksimal sekitar Rp 3.858 per saham. Di sisi lain, emiten seperti PSAB yang sangat bergantung pada ekspor, lebih tepat untuk dihindari atau dilakukan aksi ambil untung karena tekanan margin yang besar dari bea keluar. Investor perlu berhati-hati dalam memilih saham.
Sementara itu, Arinda memandang pergerakan harga emas global dan respons manajemen emiten dalam menyesuaikan strategi penjualan akan menjadi faktor stabilisasi sentimen. Bagaimana emiten beradaptasi akan menentukan arah pergerakan saham mereka.
Arinda pun menyebut saham BRMS dan MDKA dapat dipertimbangkan oleh investor dengan target harga masing-masing di level Rp 1.030 per saham dan Rp 3.000 per saham. Ini adalah rekomendasi yang bisa menjadi pertimbangan bagi para investor.
Rencana pemerintah untuk menerapkan bea keluar pada ekspor emas di tahun 2025 telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku pasar, yang tercermin dalam penurunan harga saham sejumlah emiten emas seperti MDKA, EMAS, ARCI, PSAB, UNTR, dan ANTM. Analis menilai bahwa kebijakan ini berpotensi menekan proyeksi laba emiten, terutama bagi mereka yang sangat bergantung pada ekspor seperti PSAB.
Namun, penerapan bea keluar juga dilihat sebagai peluang bagi emiten emas untuk mengalihkan fokus ke pasar domestik dan memperkuat hilirisasi, terutama dengan meningkatnya pasokan bahan baku dalam negeri. Analis merekomendasikan saham ANTM dan MDKA untuk dibeli, sementara saham PSAB sebaiknya dihindari karena tingginya risiko bea keluar. Harga emas global dan adaptasi strategi penjualan emiten akan menjadi faktor stabilisasi sentimen.