Free Float Bertahap: Strategi BEI Jaga Daya Tarik Bursa Saham?

MNCDUIT.COM JAKARTA. Bursa Efek Indonesia (BEI) terus menunjukkan komitmennya dalam memperdalam pasar modal domestik melalui inisiatif strategis peningkatan porsi free float saham perusahaan tercatat. Targetnya, angka free float yang saat ini sebesar 7,5% akan didorong naik menjadi 10% guna menciptakan pasar yang lebih likuid dan menarik.

Direktur Utama BEI, Iman Rachman, menyoroti sejumlah aspek krusial yang perlu diperhatikan dalam merealisasikan peningkatan free float bagi calon emiten. Salah satu faktor utama adalah kapasitas pasar untuk menyerap saham yang ditawarkan oleh perusahaan baru dalam penawaran umum perdana saham atau initial public offering (IPO). Kemampuan serapan pasar menjadi penentu utama keberhasilan program ini.

Observasi BEI menunjukkan bahwa saham-saham perusahaan tercatat yang nilai kapitalisasi pasarnya terus melesat, umumnya berasal dari emiten yang melantai di bursa dalam kurun waktu kurang dari lima tahun terakhir. Sebagai contoh, saham PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) dan PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) berhasil mencatatkan pertumbuhan signifikan. Di sisi lain, emiten yang telah melakukan IPO lebih dari sepuluh tahun silam, seperti PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP), justru menunjukkan porsi free float yang statis, kurang bergerak di pasar.

Peningkatan free float pasar ini terbukti krusial dalam menarik perhatian investor global. Saham-saham emiten yang baru IPO dalam lima tahun terakhir, berkat free float yang memadai, mampu menembus indeks global bergengsi seperti Morgan Stanley Capital International (MSCI). “Saham yang masuk MSCI sekarang dari emiten yang IPO dalam lima tahun terakhir,” ungkap Iman saat Media Gathering di Ubud, Bali, pada Sabtu (15/11/2025).

Ironisnya, beberapa saham yang dulu menjadi primadona di kalangan investor justru terdepak dari indeks MSCI, menunjukkan dinamika pasar yang terus berubah. Iman pun mempertanyakan implikasinya, “Bagi investor, yang keluar dari MSCI seperti UNVR, HMSP dan INTP dulu jadi saham darling. Nah bagaimana jika aturan free float lebih tinggi, kalau ternyata investor asing tidak masuk juga ke saham tersebut?” Ini menjadi sebuah tantangan serius bagi regulator.

Menyikapi tantangan ini, BEI mengusulkan upaya untuk mempermudah proses rights issue bagi emiten. Mengingat proses rights issue memiliki kesamaan yang signifikan dengan IPO, meliputi Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan persyaratan dokumentasi yang ketat, fasilitasi ini diharapkan dapat membantu emiten yang terhambat regulasi free float untuk memenuhi ketentuan yang berlaku secara lebih efisien.

Pertimbangan penting lainnya bagi BEI dalam penerapan kebijakan free float adalah daya tarik lokasi pencatatan saham. Dengan kondisi pasar yang kondusif dalam lima tahun terakhir, BEI berhasil menarik beberapa korporasi besar untuk mencatatkan sahamnya di pasar domestik. Oleh karena itu, BEI ingin memastikan bahwa penerapan free float secara bertahap, dari 7,5% ke 10%, tetap menjaga daya saing pasar saham Indonesia, khususnya di mata korporasi asing yang mencari opsi pencatatan. “Jangan sampai kita terapkan free float terlalu cepat, tapi ternyata underwriter mau membawa calon emiten listing di luar negeri, seperti Singapura yang free float-nya saat ini 12,5%,” tegas Iman, menekankan pentingnya strategi yang cermat.

Sejalan dengan visi BEI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga tengah merancang kebijakan kenaikan bertahap porsi saham free float di BEI hingga mencapai 25%. Sebagai langkah awal, aturan minimal free float yang saat ini 7,5% akan ditingkatkan menjadi 10% dalam waktu dekat, menjadi salah satu fokus utama OJK di tahun 2026.

Kepala Eksekutif Pasar Modal, Derivatif Keuangan dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi, menegaskan bahwa peningkatan free float merupakan bagian integral dari strategi pendalaman pasar. Ia menyoroti bahwa ketentuan minimal free float sebesar 7,5% di Indonesia masih berada di bawah standar regional, menjadikannya sebuah tantangan yang mendesak untuk ditingkatkan. “Target kami memang 25%, tetapi tidak mungkin langsung karena konsekuensinya cukup banyak. Jadi akan kami lakukan secara bertahap,” jelas Inarno dalam acara media gathering yang sama di Ubud, Bali, pada Sabtu (15/11/2025). Kolaborasi antara BEI dan OJK ini diharapkan dapat memperkuat fundamental pasar modal Indonesia dan menarik lebih banyak investasi, sekaligus meningkatkan daya saing di kancah global.

Ringkasan

Bursa Efek Indonesia (BEI) berencana meningkatkan porsi free float saham perusahaan tercatat dari 7,5% menjadi 10% untuk memperdalam pasar modal domestik, meningkatkan likuiditas, dan menarik investor. Direktur Utama BEI, Iman Rachman, menekankan pentingnya kapasitas pasar dalam menyerap saham IPO. Observasi BEI menunjukkan saham-saham emiten yang baru IPO dalam lima tahun terakhir cenderung memiliki free float yang memadai dan berhasil masuk indeks global seperti MSCI. Sebaliknya, emiten lama menunjukkan porsi free float yang statis.

BEI mempertimbangkan tantangan agar penerapan free float bertahap ini tidak membuat emiten enggan mencatatkan saham di Indonesia dibandingkan bursa lain seperti Singapura. Untuk mengatasi hambatan, BEI mengusulkan fasilitasi proses rights issue yang mirip IPO. Sejalan dengan BEI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menargetkan peningkatan free float bertahap hingga 25% di masa depan, dimulai dengan 10% pada tahun 2026, karena Indonesia masih di bawah standar regional.

You might also like